Jakarta ,detiksatu.com– Kini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali bernyanyi. Bila sebelumnya bernyanyi entah lagu apa yang disertai dengan joget-joget, kini DPR bernyanyi “lagu” pembatalan kenaikan tunjangan perumahan 50 juta rupiah per bulan.
Aksi bernyanyi dan joget-joget wakil rakyat itu telah memicu amarah rakyat. Gelombang aksi demonstrasi pun digelar. Penjarahan tak terelakkan. Rumah Eko Patrio dan Uya Kuya, dua anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) pun menjadi korban.
Merasa terancam, DPR kemudian mengubah nyanyiannya menjadi “lagu” pembatalan tunjangan perumahan yang mencapai Rp50 juta per bulan per orang. Mereka koor. Seluruh fraksi setuju tunjangan yang memicu kemarahan rakyat itu dibatalkan.
“Wakil rakyat bukan paduan suara. Hanya tahu nyanyian lagu setuju,” sindir Iwan Fals dalam lagunya “Wakil Rakyat” (1987).
Lagu yang dinyanyikan secara koor belakangan ini memang berbeda 180 derajat dengan lagu sebelumnya, yang juga dinyanyikan secara koor. Lagu sebelumnya adalah para wakil rakyat setuju dengan tunjangan sewa rumah itu.
Bahkan saking setujunya, mereka sampai meradang ketika publik menyatakan ketidaksetujuannya. Ahmad Sahroni, misalnya. Anggota DPR yang juga Bendahara Umum Partai Nasdem ini menyatakan mereka yang menolak tunjangan perumahan DPR adalah orang tolol sedunia.
Nafa Urbach, artis yang juga Bendahara Fraksi Partai Nasdem DPR menyatakan tunjngan perumahan DPR itu hak mereka. Apalagi kondisi lalu-lintas Kota Jakarta selalu macet.
Sontak, pernyataan kedua politisi Nasdem itu memicu kemarahan publik. Rumah keduanya pun menjadi sasaran penjarahan, meskipun untuk rumah Nafa Urbach massa salah sasaran.
Seperti Eko Patrio dan Uya Kuya, Sahroni dan Nafa Urbach pun dinonaktifkan partainya dari DPR. Pun Wakil Ketua DPR dari Golkar, Addies Kadir yang juga dinonaktifkan partainya karena pernyataannya tentang tunjangan DPR memicu kegaduhan publik.
Yang belum dinonaktifkan partainya adalah Rahayu Saraswati dari Partai Gerindra, serta Sadarestuwati dan Denny Sitorus dari PDIP. Sara yang juga keponakan Presiden Prabowo Subianto itu kedapatan joget-joget bersama Sadarestuwati dalam Sidang Tahunan MPR 2025, 15 Agustus lalu, dan Deddy melecehkan profesi tukang becak dan lain-lain yang ia sebut rakyat jelata, sehingga dirinya tak mau disamakan dengan rakyat jelata itu.
Ihwal sindiran Iwan Fals bahwa wakil rakyat bukan paduan suara, ternyata kondisi demikian pun masih terjadi hingga kini, bukan hanya di era Orde Baru saat lagu Iwan Fals itu dirilis. Bahkan kini lebih parah lagi ketika DPR sudah dikuasai oleh oligarki.
Dari delapan fraksi yang ada di DPR, semua tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju Plus yang mendukung pemerintahan Prabowo. Kecuali PDIP. Itu pun Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sudah menyatakan mendukung Prabowo meskipun dari luar pemerintahan.
Praktis, kini DPR menjadi lembaga tukang stempel pemerintah. Apa pun keputusan pemerintah, DPR selalu menyetujuinya. Seperti koor paduan suara.
Begitu pun kini ketika Prabowo sudah meminta pembatalan tunjangan perumahan DPR, semua wakil rakyat koor setuju. Apalagi setelah ada tekanan massa. Padahal sebelumnya DPR ngptot mau tunjangan. Sampai akhirnya rakyat murka.
Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan & Survei Indonesia (KSI)