Kita sering diberi tahu oleh orang tua kita bahwa orang-orang yang memiliki perilaku aneh, kebiasaan yang tidak normal, dan yang memiliki kekuatan super, adalah kekasih Tuhan. Namun, apakah deskripsi yang demikian ini sudah tepat untuk menjelaskan siapa itu kekasih Tuhan?
Siapa itu Wali (Kekasih Tuhan)?
Sebagian dari kita (orang-orang awam) mungkin memahami wali sebagai manusia yang memiliki kekuatan superhero, seperti bisa terbang, berjalan di atas air, menggandakan diri, dan sebagainya. Pemahaman yang demikian ini kurang tepat dan cenderung reduktif. Sebab, pada hakikatnya—jika merujuk kepada Al-Qur’an—wali atau kekasih Tuhan adalah mereka yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Jadi, siapa pun yang terhimpun di dalam dirinya iman dan takwa, maka ia adalah wali Allah—meskipun ia tidak pernah terlihat terbang.
Sebagaimana difirmankan Allah dalam Surah Yunus, ayat 62-64:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ * لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (di akhirat).”
Terkait ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan informasi dari Allah tentang siapa wali-Nya, yakni mereka yang beriman dan bertakwa.
Dalam sebuah hadis, Nabi menjelaskan:
وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال:(إنَّ اللَّه قال: مَن عادَى لي ولِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْب) رواه البخاري. قال ابن حجر: “قوله: (من عادى لي وليا) المراد بولي الله العالم بالله المواظب على طاعته المخلص في عبادته”
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi ﷺ bersabda, ‘(Allah berfirman): Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya.” (Hadis Riwayat Bukhari). Imam Ibnu Hajar menjelaskan: “Sabda-Nya: ‘(Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku)’, yang dimaksud dengan wali Allah adalah orang yang berilmu tentang Allah, konsisten dalam menjalankan ketaatan, dan ikhlas dalam ibadah kepada-Nya.”
Ibnu Taimiyah juga menjelaskan terkait siapa itu wali, beliau berkata:
بَلْ يُعْتَبَرُ أَوْلِيَاءُ اللَّهِ بِصِفَاتِهِمْ وَأَفْعَالِهِمْ وَأَحْوَالِهِمْ الَّتِي دَلَّ عَلَيْهَا الْكِتَابُ وَالسُّنَّة، وَيُعْرَفُون بنُور الإيمان والقرآن وبِحَقائقِ الْإيمان الباطِنة وشرائعِ الإِسلام الظَّاهر
“Sebaliknya, wali-wali Allah itu dinilai (dikenal) dari sifat-sifat mereka, perbuatan-perbuatan mereka, dan keadaan-keadaan mereka yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka dikenal dengan cahaya keimanan dan Al-Qur’an, dengan hakikat-hakikat keimanan yang batin, serta dengan syariat-syariat Islam yang tampak (zahir).”
Hakikat Karamah: Bukan Sekadar Kekuatan Super
Para ulama mendefinisikan karamah sebagai keistimewaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, berupa sesuatu yang melampaui apa yang konvensional atau yang terjadi pada umumnya, seperti terbang, menggandakan diri, menempuh perjalanan jauh hanya dengan durasi waktu singkat, dan sebagainya. Anugerah ini merupakan manifestasi dari pertolongan dan cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya.
Namun, yang dimaksud dari “melampaui yang konvensional” tidak hanya terbatas pada kekuatan-kekuatan superhero, melainkan lebih dari itu: sebuah kedekatan dengan Sang Kekasih (Allah). Sehingga, tak mengherankan jika para ulama mengatakan, “Istiqamah lebih utama dari seribu karamah.” Hal ini dikarenakan istiqamah (konsisten dalam bertakwa kepada Allah) merupakan wujud kedekatan seorang hamba dengan Sang Penciptanya. Berbeda dengan kekuatan superhero, yang itu tidak mutlak menjadi indikator kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya.
Mari kita ambil contoh para penyihir pada zaman Nabi, Labid bin al-A’sam, yang mampu menyihir (santet) Nabi dengan bantuan setan. Kita semua juga tahu, bahwa kelak ketika Dajjal datang, ia akan mampu menurunkan hujan dan menghidupkan orang mati. Namun, dengan keajaiban yang ia miliki, apakah itu merupakan tanda bahwa ia adalah kekasih Tuhan? Bukankah malah sebaliknya?
Keajaiban yang dimiliki manusia bukanlah ukuran kedekatan ia dengan Sang Pencipta. Namun, ketakwaanlah yang menjadi ukuran. Kita jarang mendengar cerita-cerita karamah para sahabat Nabi, tetapi justru orang-orang saleh yang hidup pada masa setelahnya yang lebih sering kita dengar memiliki keajaiban-keajaiban “superhero.”
Namun, apakah ini menunjukkan bahwa orang-orang saleh yang hidup setelah sahabat lebih utama dari sahabat? Jelas tidak. Karena sebagaimana disabdakan Nabi: “Seutama-utama masa adalah masaku, kemudian masa setelahku, dan masa setelahnya, dan seterusnya.” Wallahu a’lam.