Ustadz Ismail Asso: Agama dan Budaya Hubula

Redaksi
September 22, 2025 | September 22, 2025 WIB Last Updated 2025-09-22T12:04:25Z

Oleh: Ismail Asso*


Hari Selasa (2/9/25) di Suny Hotel Abepura Kota Jayapura, membahas buku, Ibu Yulia Sugandi judul:"Manusia Hugula, Makna Martabat Kolektif Suku Hubula di Lembah Palim, Papua".

Sebagai bagian dari Suku Hubula, saya memberikan apresiasi dan ucapan terimakasih serta rasa penghargaan tinggi kepada Penulis Buku dan Panitia Penyelenggara, Papua Democratic Institute (PD-Institute) yang berkenan mengundang sebagai salah satu pembicara dalam seminar.

Penelitian Adat Budaya Orang Hubula, pasca Kongres ke II Presedium Dewan Papua (PDP) di GOR, Jayapura Papua, menurun malah tidak pernah ada lagi. Pemerintah memberlakukan Otonomi Khusus Papua Tahun 2001. Ada kekhawatiran spionase asing sehingga pintu masuk peneliti Budaya dari luar (asing) ke Papua ditutup Pemerintah Pusat.

Dalam kurun waktu kekosongan 25 tahun Otsus Papua berjalan tidak ada peneliti antropologi dari luar dan dalam. Dalam situasi seperti itu, Ibu Yulia Sugandi, hadir melakukan penelitian budaya Orang Hubula.

Maka muncul sambutan luar biasa tinggi, dibuktikan banyaknya peserta umum dan mahasiswa ambil bagian membahas buku Orang Hubula di Sunny Hotel, Abepura, Kota Jayapura, Papua.

Sebelum Otsus Papua, antropolog luar dan dalam (Indonesia) banyak melakukan penelitian budaya Hugula (Lembah), misalnya Koenjraningrat (1994): Membangun Masyarakat Majemuk. Astrid Susanto-Sunaryo, Penyunting (1996), Kebudayaan Jayawijaya, kumpulan tulisan, Myron Bromley (1993), Sedikit Mengenai Religi Balim Selatan dll. 

Pasca Otsus Papua, Pemerintah Pusat menutup rapat Pintu kunjungan antropolog luar apalagi Media Massa dan Wisatawan Asing, berdampak penelitian Budaya Hugula Palima yang kaya dan unik seperti diakui Ibu Prof Astrid Susanto: 
"Meneliti Kebudayaan Suku Dani Lembah Balim Jayawijaya Papua penuh mysteri (rahasia), bagai Sumur, semakin dalam tanpa habis", semakin menurun.

Agama dan Budaya Hugula

Panitia Penyelenggara, PD-Institut, mengundang Pembicara berdasar aliansi persebaran Adat-Budaya penduduk Hugula Palima. Ada pembicara Wilayah Lembah Tengah Wouma: Itlay-Ikinia, Lahowan-Matuan, Wuka-Hubi, Itlay-Haluk, Itlay-Hisage dll.

Wilayah Lembah Utara, Pater Doga dari Gereja Katolik Roma, meliputi Wilayah Adat Tulem (Tengah): Doga-Kurisi, Logo-Mabel, Siep-Kossy, Hubi-Ikinia dll.

Wilayah Adat bagian Tenggara Barat panitia mengundang seorang aktifis Perempuan Hubula, Ibu Hubi, beliau ini mewakili seluruh perempuan Hugula (Lembah) Palima meliputi: Hubi-Kossy, Kossy-Hilapok, Meage-Elopere dan Wilayah Lembah bagian sebelah Barat.

Dari Selatan Lembah Palima, Wilayah Adat Walesi: (Assoliepele, Yelipele-Elokpere, Lani-Wetapo, Lani - Matuan, dan Wilayah Adat Assolokobal: (Asso-Lokobal, Asso-Wetapo, Asso-Wetipo, Kuan -Wetapo, Meage-Wetapo, Mulac-Wetipo, Asso-Matuan, Wuka-Wetapo, Lani-Lokobal dll).

Karena banyak pembicara ditambah sound sistem yang kurang baik, diskusi yang idealnya sangat bagus karena dihadiri peserta dari kalangan umum dan mahasiswa ditambah lagi banyaknya pertanyaan peserta, terasa jadi kurang maksimal mengekspolarasi berbagai persoalan Budaya Hubula Palima.

Tulisan ini ingin menambah sebagai elaborasi catatan dari seminar buku, Ibu Yulia Sugandi judul: Orang Hubula, Makna Martabat Kolektif Suku Hubula Lembah Palim, Papua.

Sebelum membahas isi buku, sebagai pengantar peserta diajak nonton video singkat Film dokumenter. Disitu ditampilkan sosok Petugas Agama (dari Eropa) bersama beberapa Orang Lembah Balim mengadakan ritual pesta Adat Budaya.

Nampak cerita singkat dalam film itu Petugas Agama (PA) tengah berupaya mencoba memasukkan unsur nilai asing yang dia bawa (agama) dari luar kedalam Adat Budaya Manusia Hugula. Misalnya Ye (batu) dan Su (noken), kedua alat transaksi secara barter dalam traknsaksi budaya Orang Hugula, diplesetkan jadi nama Yesus. 

Akulturasi dan inkulturasi Budaya Hugula (Lembah) Palima oleh agama (khususnya Katolik) dimulai sejak lama ketika agama ini hadir di Lembah Palima. Dalam berbagai praktek Ibadah dan simbol Adat Budaya Lembah diadopsi oleh Gereja Katolik sebagai bagian dari ritual ibadah didalam kegiatan kerohanian.

Berbeda dengan Agama Islam dan Kristen Protestan yang melarang bahkan agama yang disebut terakhir membumihanguskan seluruh tatanan warisan leluhur Adat Budaya Orang Hugula Palima, Papua Pegunungan. Gereja Protestan menganjurkan bahkan memaksa Orang Hugula, penganut - umatnya, Jemaat Gereja, membuang dan membumihanguskan seluruh benda keramat warisan leluhur diganti dengan sistem kepercayaan (agama) yang mereka bawa-ajarkan.

Demikian dengan agama Islam, tidak secara terbuka tapi ajaran paling inti sebagai dasar keyakinan bagi penganut agama paling dasar mengajarkan bahwa dosa paling besar adalah dosa musyrik, percaya selain Allah SWT, sebagi satu-satunya Tuhan semesta alam adalah dosa besar. ("Inna Syirka Ladhulmum 'Adhiim. Arti: Menyekutukan Allah SWT adalah dosa paling besar". QS, Luqman: 12).

Bahkan Budaya Hugula dalam segela bentuk pesta dan transaksi ekonomi berbagai daur ulang kehidupan Orang Hubula, babi menjadi sentral dalam berbagai situasi. Islam agama yang mulai dianut Orang Hugula secara tidak langsung babi yang dilarang agama Islam secara mutlak akan menghilangkan kalau bukan menghancurkan adat budaya Lembah Palima.

Dalam kunjungan terkahir Myron Bromley seorang Pendeta juga ahli bahasa dan Budaya di Distrik Assotipo (Asso-Wetipo), Hitigima tempat pertama dimana beliau ditugaskan sebagai Pendeta datang tinggal sebagai Missionaris menyebarkan Agama Kristen Protestan. Menyampaikan permohonan maaf dan meminta agar penganut Kristen Protestan, Kristen Katolik dan Islam, agar menjaga kerukunan.

Mengapa Myron Bromley meminta maaf? Karena sebagai seorang ahli budaya yang puluhan tahun hidup bersama masyarakat Hugula, beliau sangat paham, bahwa penganut agama Katolik Hepuba, penganut Kristen Protestan Hitigima dan Penganut Islam Walesi adalah satu keturunan keluarga. Bahkan lebih jauh seluruh Lembah Palima masih satu keluarga besar sebagai satu kesatuan adat Budaya. 

Permohonan maaf karena perbedaan agama berpotensi konflik soal keyakinan, tanah lokasi tempat Ibadah dan seterusnya. Dia -dan kelompok semua pembawa agama -merasa telah bersalah pergi meninggalkan konflik ditengah satu keluarga karena perbedaan agama yang mereka bawa tanamkan dalam satu kesatuan Adat Budaya Hugula Bagian Selatan. Inti pesan terakhir Myron Bromley adalah menjaga kerukunan keluarga berbeda agama Aliansi Besar Suku Assolokobal.

Kebijaksaan Missionaris Barat

Terakhir sebelum kembali ke negara asal beberapa missionaris Barat yang telah lama membawa missi penyebaran agama di Lembah (Hugula) Palima, memberikan pesan semacam rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten Jayawijaya. Agar semua peralatan warisan leluhur manusia Hugula (Lembah) Palim, dikumpulkan dari masing-masing Honai Adat kemudian disarankan pada pemerintah agar di Museumkan. 

Dengan ungkapan ini: Terimakasih kami telah memiliki benda-benda keramat ini dan kami mencintai ini telah memilikinya, karena kami cinta kami ingin menyimpan disini (didalam museum), di Wesagaput.

Dalam kenyataannya benda yang diserahkan bukan benda asli tapi benda imitasi, tidak semua dikumpulkan, yang diserhkan ke pemerintah bukan benda asli tapi benda serupa yang bukan asli untuk memenuhi tuntutan Gereja dan Pemerintah. 

 Benda-benda sacral itu masih disimpan diberbagai Honai Adat sampai dewasa ini, dan ada dua jenis Honai Adat, yakni Honai Besar yang disitu tempat umum clan suku bahkan bisa beberapa moety menyimpan benda-benda sacral dalam satu Honai Besar. 

Isi dalam Honai Klen ini terutama Tugi Mugu, Ap Warek (asal mula terjadinya perang suku), sebagai simbol dan patokan peperangan di seluruh Honai Adat Hugula. Selain Hareken (batu hitam), didalam “Honai kokma” (Honai besar), adalah tempat penyelenggaraan berbagai pesta besar klen suku.

Selain Honai besar ada Honai kecil, Honai paling sacral (rahasia), dan Honai kecil ini letaknya harus tersembunyi, tidak boleh nampak pihak lain selain moety pemilik, Honai Kecil biasa dinamai Hun Aila (rumah Dia YangMaha Besar) yang itu haram, tabu (pantangan), bagi wanita dan anak lelaki yang belum diinisiasi (Ap Waya OwanHagarelek), melihat apalgi memasuki pekarangan Honai Paling Sacral dan rahasia ini. Honai ini hanya dimiliki dan boleh dimasuki satu Moety sebagai pemilik. Benda yang tersimpan didalamnya adalah benda yang dibawa pertama kali ketika manusia muncul keluar dari Goa.

Konsepsi Tuhan Maha Segala diluar, Maha Mengatasi, berkemampuan diluar kemampuan manusia inilah dianggap konsep kepercayaan sebagai Tuhan Maha Segala dalam konsepsi Orang Hubula. Dalam tulisan: Sedikit Religi Baliem Selatan, Myron Bromley (1993), menyebut Perang bagi manusia Hubula menyerupai agama, mengupas sedikit tentang kepercayaan Orang Hubula. Tapi sejatinya konsepsi kepercayaan lebih dari malah sudah ada sebelum terjadi perang suku ketika manusia mulai bubar saling berperang dari kondisi kehidupan bersama diyakin terjadi awal mula di Wiama (sekitar Hebupa) Assolokobal. Ini versi cerita Baliem Selatan.

Benda yang tersimpan didalam Honai keramat kecil dan rahasia moety ini adalah potongan tubuh manusia asal bernama Naruekul (Narue Kut), burung putih sejenis burung Kasuari (Yakop), sebagai symbol, tapi cerita sebenarnya manusia yang dibunuh dan potongan-potongan tubuhnya dibagi seluruh moety (marga) membawa pergi tersebar seluruh arah lokasi kelak jadi tempat pemukiman hingga hari ini di selurug Lembah dan Papua Pegunungan.

Ketika mereka jalan tersebar segala arah Lembah (Hugula) dan sekitarnya disitu mereka istirahat dan bikin api, tempat pertama persinggahan itulah dianggap tempat keramat (sacral) sebagai milik moety (marga), keturunan itu hingga dewasa ini. 

Sehingga bicara soal Tanah hak kepemilikan paling dasar dan pertama adalah moety (marga), keluarga yang singgahi atau melewati istirahat bikin api itulah pemilik tempat atau lokasi keramat tanah. Lokasi tempat sacral, berupa pohon, sungai, batu atau goa sebagai tempat persinggahan pertama diyakini sebagai tempat sacral (suci) milik keturunan hingga hari ini Orang Hugula masih diyakini demikian.

Dalam cerita mytologi Lembah Bagian Selatan, meyakini bahwa mereka muncul pertama disekitar Wesapot, keluar dari Goa, asal usul kejadian manusia pertama. Wesa artinya bisa berarti: Haram, sacral, tabu, rahasia, dilarang, tersembunyi, rahasia, suci). Apot artinya pungung. Jadi Wesapot artinya pungung rahasia. Karena dipercaya asal usul manusia muncul pertama dari lobang goa sekitar daerah ini. 

Diyakini asal usul kejadian semua manusia berasal dari sini dan tkeluar dari Goa disekitar tempat ini (Wesapot), lalu menyebar keberbagai arah dan lokasi diseluruh Lembah (Hugula) Palim dan Papua Pegunungan secara keseluruhan diyakini demikian hingga hari ini.


Selain lokasi ini beberapa klen Orang Hugula mempercayai lokasi lain disekitar tempat tinggalnya, misalnya Agus Alue Alua menyebut lokasi manusia pertama muncul keluar dari Goa di Sekitar Kurulu. Dan manusia terakhir keluar bernama Naruekul dalam versi Orang Hubula Utara dinamai Nakmaturi. Ada versi menyebut lokasi di Seima, Maima dll.

Perbedaan versi dan tempat tidak menghilangkan homogenitas essensi cerita mythologi kepercayaan sama dan praktek adat budaya diseluruh Hugula. Heterogenitas lokasi dan nama manusia awal yang dibunuh lebih pada logat dan saking rahasianya lokasi sehingga disembunyikan tempat aslinya ditunjuk tempat lain yang bukan sesungguhnya sebagaimana karakteristik budaya Lembah Palim yang tidak bisa diberitahukan kepada pihak luar selain satu moety (satu keturunan marga).

Benda-Benda Keramat

Diatas sudah dijelaskan bahwa ada dua Honai yakni Honai Besar atau Honai Umum milik Klen, bentuk bangunannya juga berukuran besar karena didalmnya terdapat berbagai benda sacral milik beberapara Moety dalam satu klen misalnya Klen atau marga Asso. Meskipun tak selalu tapi pada umumnya Honai Besar adalah milik bersama beberapa Moety dari Satu Klen Besar Asso. Demikian Honai Besar milik klen Lokobal atau Wetipo.

Kadangkala didalam Honai Keramat Besar didalamnya ada berbeda marga dan benda kemarat masing-masing marga tersimpan dalam satu Honai besar milik bersama. Ini disebabkan pada masa perang, keluarga menyelamtkan diri membawa serta benda keramat miliknya dan bertemu dengan marga lain atau diselamatkan oleh marga lain dan bersepakat mengikat diri menjadi satu keluarga besar dan menyimpan benda keramat milik pribadi didalam satu Honai Besar secara Kolektif tanpa bercampur didalam masing -masing lemari (Kakok).

Adapaun benda-benda keramat (sacral) yang disimpan secara bersama didalam Honai besar oleh klen besar berupa dan terutama Ap Warek. Ap Warek adalah koleksi arwah berupa anak panah (tok), tombak (sege), bukti tombak atau anak panah korban yang pernah dibunuh oleh klen pada peperangan suku.

Karena itu Honai Besar juga biasa atau bisa disebut dengan Tugi Aila (Arti: Rumah atau Honai Perang). Karena didalam kelompok satu Honai pernah secara bersama perang dan menyimpan semua bukti korban didalam Honqi Besar disebut Tugi Aila atau Mugu Aila.

Mugu arti secara bahasa terbaring Aila (rumahnya), Mugu Aila berarti; Rumah tempat terbaring korban pertama Klen sebagai penyebab utama perang Suku bermula dan tempat koleksi klen bukti korban musuh berupa tombak dan anak panah semua tersimpan didalam Honai Besar.

Ada peniliti asing memperkirakan bahwa agama dan perang bagi suku di Hibula serupa atau dengan kata lain bagi orang Hubula Perang Suku adalah Agama. Perang Suku bagi Orang Hubula semacam Agama. Perang semacam agama bagi Orang Hugula. Pernyataan ini mungkin mengandung skeptisme bagi normalitas kehidupan umum, karena itu perlu didalami lebih dalam Budaya Orang Hugula. Dengan redaksi lain para peneliti sering menyatakan bahwa perang suku bagi Orang Hubula sebagai bagian dari kesuburan.

Mungkin karena itulah secara bijaksana para ahli antropologi yang notabene mereka juga sebagai para Missionaris menganjurkan agar pemerintah dan Gereja mengumpulkan benda sacral milik Suku Hibula berupa Hareken, Tugiken, Ap Warek dikumpulkan untuk dimuseumkan dengan ungkapan bijak: 

"TerimKasih kami telah memiliki benda-benda ini dan kami cinta karena itu kami ingin menitipkan ini disini (didalam Museum di Wesagaput"). 

Adapun benda sacral yang dimuseumkan milik Moety dan Klen turun-temurun Orang Hubula didalam Honai Kanekala (Honai Besar) Mugu Aila yang disitu tersimpan seluruh benda-benda Keramat warisan leluhur manusia Hugula (Lembah) Palima berupa Hareken {Har-Eken: Batu Hitam}, Tugiken {Tugi-Eken: Simbol atau Tanda Awal Perang}, Suken {Su-Eken: Isi Kantong/Noken}.

Miisionaris memberikan rekomendasi ke Pemerintah membuat Meseum di Wesagaput (dekat sebelah Bandara Kota Wamena), agar seluruh benda sacral milik suku Hugula, terutama Wenj-Oak (tanda korban musuh perang suku) agar disimpan disitu. 

Ini berarti agama hadir di Hubula ingin menghapus Budaya perang suku dengan cara semua Ap Warek (Tanda- berupa anak-panah- Korban Musuh Yang pernah dibunuh) dimuseumkan sebagai tontotan wisatawan.

Pemerintah dengan progresifitas program pembangunan dan agama (tiga agama besar; Islam Kristen dan Katolik) berperan aktive menghapus seluruh tatanan Adat Budaya Orang Hugula dengan memuseumkan di Wesagaput. 

Meskipun agama yang disebut terakhir ini terkesan meminjam simbol simbol budaya dipakai dalam ritual agama tetapi essensi pesan hakekatnya mengubah kepercayaan Orang Hubula terhadap keyakinan dan kepercayaan asli dengan kepercayaan baru dan palsu bukan Asli Milik Orang Hubula.

Anomali Budaya 

Menurut KBBI, anomali berarti ketidaknormalan, keanehan, atau penyimpangan dari yang sudah ada atau dari kondisi normal. 

Upaya tak senonoh orang asing hadir mau memasukkan nilai asing dari luar (nilai agama) kedalam Adat Budaya Lembah Palima (Palim, nama Sungai Besar Lembah, Ima, dari dua kata I [air] Ma [tempat] berarti tempat sekitar Sungai Palim, penyebutan Palima bermakna orang yang bertempat tinggal disekitar Sungai Palim) sepenuhnya anomali, tak senonoh, jorok, kurang sopan, malah kurang ajar, karena demikian mereka merusak tatanan Adat Budaya lokal.

Akulturasi dan inkulturasi demikian sejatinya memperkosa Adat Budaya manusia Lembah Palima. Semua pihak asing manapun mencoba memasukkan unsur-unsur agama didalam adat budaya asing manapun dari dunia manapun sepnuhnya anomali karena tak senonoh. 

Revitalisasi Budaya

Berbagai gempuran dari berbagai arah dan tujuan secara aktive Budaya Orang Hugula dewasa ini telah dan sedang dalam proses menuju penghancuran dan pemusnahan. Sebagai bagian dari masyarakat global tak terkecuali Orang Hubula sendiri mulai mengubah diri dari pola kehidupan primitive zaman batu generasi kini sedang melangkah menuju memasuki zaman era tekhnologi informasi canggih masa kini. 

Perlu disampaikan bahwa semua peradaban dunia terus berkembang, terus akan berubah, Filosof Yunani menyebut Panta Rei, yang abadi perubahan itu sendiri, didunia ini tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri yang terus-menurus berubah seiring waktu. Demikian demikian dengan Adat Budaya Orang Hubula dan sistem kepercayaan tentu seiring waktu dan generasi terus akan berubah. 

Jangankan kepercayaan pada mytologi Orang Hugula Palima, kepercayaan terhadap Tuhan, belahan dunia Barat, lebih cenderung munculnya gejala atheisme. Atheis dari kata A (tidak), Theis (Tuhan), jadi tidak percaya Tuhan. Gejala secularisme menghegemoni alam pikiran dunia Barat.

Kecenderungan umum Orang Barat lebih percaya pada materialisme, kebendaan, lebih percaya pada Science dan tekhnology (ilmu pengetahuan) dan mengabaikan kehidupan sesudah mati. Dunia Barat umumnya pada masa kini jarang ke Gereja lagi. Banyak Gereja kosong jadi museum karena jarang dikunjungi umatnya.

Lima hari kerja dari Senen sampai Jumat Weekand, orang-orang Barat tidak pergi Ibadah Hari Minggu ke Gereja. Mereka berlibur (3 Hari ) Jumat Sore sampai Minggu Sore. Weekand sibuk memikirkan rekreasi ke Pantai atau naik Gunung bersama keluarga kalau bukan ke diskotik mencari hiburan malam. Demikian gejala umum dunia Barat yang cenderung atheis. Mereka kurang taat pergi ibadah ke Gereja setiap Hari Minggu.

Demikian kepercayaan Orang Hugula, mulai terkikis dengan adanya kepercayaan baru dari agama menggantikan kepercayaan lama Orang Hugula. Ditambah lagi dengan program pemerintah dengan pendidikan sekolah mengubah pola pikir generasi muda Orang Hubula hari ini.

Harapan dan keyakinan mempertahankan nilai-nilai lama sulit dipertahankan dengan adanya agama dan pemerintah dengan berbagai program pembangunan dan kepercayaan baru semakin memarginalkan pola hidup dan kebiasaan lama Orang Hubula khususnya dan Papua secara keseluruhan.

Dalam situasi seperti ini tidak bisa tidak pemerintah dan kaum intelektual perlu melakukan upaya me-reitalisasi adat Budaya. Pembangunan berpola dan berdasarkan susunan dan tatanan Adat Budaya akan membantu sedikit bisa menyelamatkan nilai nilai par exalance warisan leluhur.

Tidak semua warisan leluhur itu postif ada hal negative misalnya perang suku harus diganti dengan nilai postif, atau memotong jari tangan kerika berduka juga harus diubah. Dua contoh ini cukup menyebut bahwa tak semua tradisi lama postif tapi ada yang harus diubah dan tak semua tradisi modern postif dan baik.

Untuk itu usaha kita kedepan adalah merevitalisasi nilai lama yang baik dipertahankan dan dilestarikan dan nilai baru yang lebih baik kita adopsi dan jadikan sebagai nilqi sendiri dalam membangun masyarakat Hubula sekarang dan kedepan.


Ismail Asso, Anggota MRP PP Pokja Agama Unsur Agama Islam

Daftar bacaan:

 1. Manusia Hugula, Makna Martabat Kolektif Suku Hubula di Lembah Palim, Papua". Yulia Sugandi, (2025).
 2. Koenjaraningrat, et.al, Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1994.
 3. LKPJ Bupati Wamena Kabupaten Jayawijaya Tahun Anggaran 2006.
 4. Lokobal, Nico A. et.al. Nilai-Nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua. Jayapura: Biro Peneliti

5.Moleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2008.

6. Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito, 1992

7. Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: PT. Abadi, 2002.

8. Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

9. Spradley, James P. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

10. Sunaryo, Astrid S. Susanto.

Kebudayaan Jaya Wijaya Dalam Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.

11. Sunaryo, Astrid S. Susanto.

Membangun Masyarakat Pedesaan Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena, Irian Jaya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Ustadz Ismail Asso: Agama dan Budaya Hubula

Trending Now

Iklan

iklan