Jakarta, detiksatu.com _Reshuffle yang dilakukan oleh Presiden Prabowo kepada Menteri Keuangan direspon negatif oleh pasar, di mana Indeks Harga Saham Gabungan anjlok sebesar 1,28%. Respon pasar yang negatif ini merupakan hal yang lumrah terjadi, karena para invetor tidak ingin mempertaruhkan sahamnya jika kepemimpinan yang baru mengambil langkah yang bisa merugikan investor. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah kebijakan yang diambil oleh Menteri Keuangan berpengaruh signifikan terhadap pasar saham? Sebagai bahan informasi, Menteri Keuangan mempunyai pengaruh terhadap pasar modal terutama yang berkaitan dengan kebijakan fiskal seperti anggaran, perpajakan, serta regulasi, yang seringnya memengaruhi sektor atau saham tertentu secara langsung di mana efeknya bisa berlangsung dalam waktu singkat atau panjang.
Nah salah satu contoh dampak dari kebijakan Menkeu ialah tentang kenaikan cukai rokok, yang pada akhirnya membuat harga saham perusahaan rokok mengalami penurunan. Namun, regulasi seperti pemberian intensif pajak membuat pasar merespon positif. Hal ini menandakan bahwa Menkeu mempunyai pengaruh terhadap dunia pasar modal, sehingga pergantian kepemimpinan di Kementerian Keuangan yang direspon negatif oleh pelaku saham merupakan sesuatu yang sangat lumrah terjadi.
Tapi yang menjadi pertanyaan sesungguhnya yaitu, bagaimana reaksi pasar saham jika kepemimpinan di dalam Kemenkeu dipegang oleh sosok yang dekat dengan salah satu oligarki besar di Indonesia?
Luhut Binsar Pandjaitan
Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang baru, memiliki hubungan yang erat dengan Luhut Binsar Pandjaitan di mana hubungan kerja antara Purbaya dan Luhut dimulai pada 2015, ketika Luhut menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam). Pada periode November 2015 hingga Juli 2016, Purbaya dipercaya sebagai Staf Khusus Bidang Ekonomi di bawah kepemimpinan Luhut, dan peran ini menunjukkan bahwa Purbaya telah menjadi bagian dari lingkaran kepercayaan Luhut, memberikan nasihat ekonomi untuk mendukung kebijakan strategis di tingkat nasional.
Ketika Luhut beralih menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) pada Juli 2016, Purbaya turut "diboyong" untuk mengisi posisi penting. Dari Juli 2016 hingga Mei 2018, Purbaya menjabat sebagai Staf Khusus Bidang Ekonomi di Kemenko Marves. Tak berhenti di situ, pada Mei 2018 hingga September 2020, Purbaya dipromosikan menjadi Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, masih di bawah komando Luhut. Posisi ini menegaskan peran Purbaya sebagai salah satu figur kunci dalam tim Luhut, yang fokus pada pengelolaan isu strategis seperti kedaulatan maritim dan energi, dua sektor vital bagi pembangunan Indonesia.
Kedekatan mereka juga terlihat dari keterlibatan Purbaya dalam lingkaran relawan politik Bravo Lima, sebuah kelompok yang dekat dengan Luhut, yang menunjukkan dimensi hubungan yang tidak hanya profesional tetapi juga memiliki nuansa politis. Pengalaman Purbaya mendampingi Luhut dalam berbagai jabatan strategis, mulai dari Kepala Staf Presiden, Menko Polhukam, hingga Menko Marves, memperkuat persepsi bahwa Purbaya adalah "orangnya Luhut" di ranah birokrasi.
Ketika Luhut diangkat sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dan Penasihat Khusus Presiden bidang Digitalisasi dan Teknologi Pemerintahan pada Oktober 2024 oleh Presiden Prabowo Subianto, pengaruhnya di pemerintahan tetap signifikan. Penunjukan Purbaya sebagai Menteri Keuangan, memunculkan spekulasi bahwa hubungannya dengan Luhut menjadi salah satu faktor pendukung. Meski Purbaya memiliki rekam jejak akademik dan profesional yang kuat—lulusan Teknik Elektro ITB dan Doktor ekonomi dari Purdue University—banyak yang menduga bahwa "restu" Luhut turut memuluskan jalannya menuju kursi Menteri Keuangan.
Namun, kedekatan ini juga memicu pertanyaan, apakah penunjukan Purbaya murni berdasarkan kompetensinya, atau ada dorongan kuat dari Luhut, yang dikenal sebagai mentor politiknya?
Pengaruh Oligarki terhadap Pengelolaan Anggaran Negara
Berdasarkan jejak historis kedekatan antara Purbaya dan Luhut Pandjaitan, ada satu kekhawatiran saya mengenai pengangkatan Purbaya sebagai Menteri Keuangan, yaitu potensi konflik kepentingan dalam anggaran belanja negara di mana, sebagai Menteri Keuangan, Purbaya memegang otoritas besar dalam menyetujui anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) melalui proses Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L). Masalahnya, Luhut yang menjabat sebagai Ketua DEN sekaligus juga sebagai oligarki, berpotensi melahirkan perilaku kolusi dan nepotisme terutama dalam penentuan pemegang tender pada suatu proyek yang diadakan oleh K/L. Nah untuk memahami potensi yang akan terjadi, ada beberapa teori yang bisa kita pelajari untuk mempertajam analisis kita sebagai masyarakat sipil.
Dalam studi desentralisasi dan pembangunan, menjelaskan bagaimana elite lokal atau nasional "menangkap" (capture) proses pengambilan kebijakan, termasuk budgeting publik, untuk kepentingan pribadi. Lanskap Elite Capture ini menyoroti peran asimetri kekuasaan dan informasi, di mana elite memanipulasi alokasi dana untuk memperkuat dominasi mereka, sering kali melalui desentralisasi yang justru memperlemah pengawasan pusat. Sebagai contoh, dalam kasus pengadaan laptop merk Fafifu, Elite Capture Theory mengilustrasikan bagaimana Sodikin sebagai elite "menangkap" tender melalui saham Fafifu Corp, sementara Menkeu yang dekat dengan Sodikin berpotensi menyetujui anggaran melalui penelaahan RKA-K/L tanpa meritokrasi. Persetujuan ini menciptakan bias dalam participatory budgeting, di mana dana pendidikan dialihkan untuk keuntungan oligarki, bukan siswa.
Sedangkan dalam pandangan Crony Capitalism, menggambarkan sistem di mana kesuksesan bisnis bergantung pada relasi dekat dengan pemerintah (cronyism), membentuk negara oligarkis di mana elite menguasai sumber daya untuk mempertahankan kekuasaan. Teori yang berkaitan dengan oligarchy ini, menekankan bagaimana elite yang ada di Indonesia pasca-Suharto masih mendominasi politik melalui bisnis, menghasilkan korupsi sistemik di sektor strategis. Di Indonesia, crony capitalism terlihat dalam aliansi Jokowi-Luhut, di mana pengaruh oligarki memperkuat ketimpangan.
Nah dalam kasus laptop Fafifu, Sodikin mewakili crony capitalism dengan memiliki saham di Fafifu Corp sekaligus memengaruhi kebijakan, sementara kedekatan dengan Menteri Keuangan berpotensi mengalirkan anggaran ke jaringan oligarki melalui kendali Menkeu atas RKA-K/L. Hal ini menciptakan oligarchic state di mana transparansi rendah dan akuntabilitas lemah, seperti dalam polarisasi politik yang terjadi di Indonesia saat ini.
Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, pelaku pasar modal atau investor akan sangat jeli melihat situsi politik yang terjadi saat ini, terutama setelah terjadi pergantian kepemimpinan di Kementeria Keuangan, kenapa? Karena kebijakan Menteri Keuangan sering kali memicu reaksi pasar secara instan. Misalnya, pengumuman kenaikan cukai rokok sebesar 23% oleh Sri Mulyani Indrawati pada September 2019 menyebabkan saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) anjlok hampir Rp10.000 per lembar saat pembukaan perdagangan berikutnya, dari Rp68.800 menjadi Rp59.050. Di sisi lain, isu pergantian Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan memicu ketidakpastian politik yang signifikan dimana investor asing melakukan net sell (penjualan bersih) secara berturut-turut, menyebabkan fluktuasi pasar saham yang tajam. Sementara itu, regulasi Menteri Keuangan juga membentuk kerangka hukum pasar modal melalui koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Misalnya, perubahan aturan tentang penerbitan saham atau pengawasan emiten dapat meningkatkan efisiensi pasar, tetapi jika dianggap terlalu ketat (seperti regulasi anti-manipulasi), bisa menimbulkan volatilitas sementara.
Menteri Keuangan, melalui kebijakan fiskal dan regulasi juga memengaruhi pasar modal, sering kali dengan efek yang berbeda namun saling melengkapi dengan Bank Indonesia. Misalnya dalam hal kebijakan anggaran seperti alokasi untuk infrastruktur atau subsidi, memengaruhi pertumbuhan sektor tertentu, yang tercermin pada harga saham. Kebijakan moneter Bank Indonesia maupaun kebijakan fiscal Kemenkeu sama-sama berkontribusi terhadap volatilitas return saham. Maka dengan demikian, respon pasar saham yang negative saat pergantian Menkeu adalah sesuatu yang normal terjadi karena para investor tidak ingin mengambil resiko yang lebih jauh, sehingga langkah menarik investasi di bursa saham merupakan langkah yang bijak sembari mengamati kebijakan yang seperti apa lagi yang akan diambil oleh Menteri Keuangan.
Kesimpulan
Pergantian Menteri Keuangan yang menempatkan Purbaya Yudhi Sadewa, figur yang dekat dengan Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai pengganti Sri Mulyani Indrawati memicu reaksi negatif di pasar modal, dengan anjloknya IHSG sebesar 1,28%. Respon ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap potensi ketidakpastian kebijakan fiskal dan pengaruh oligarki dalam pengelolaan anggaran negara. Kebijakan Menteri Keuangan, seperti cukai rokok atau insentif pajak, terbukti memiliki dampak signifikan terhadap harga saham sektor tertentu, sementara koordinasi dengan Bank Indonesia memperkuat efeknya pada volatilitas pasar secara keseluruhan. Kedekatan Purbaya dengan Luhut, yang berperan sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional dan tokoh oligarki, menimbulkan kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan, sebagaimana dijelaskan oleh teori Elite Capture dan Crony Capitalism.
Fenomena ini menggambarkan risiko penyalahgunaan anggaran melalui RKA-K/L untuk kepentingan jaringan oligarki, seperti dalam kasus pengadaan laptop Fafifu. Oleh karena itu, reaksi negatif pasar saham terhadap pergantian Menteri Keuangan adalah hal yang wajar, mengingat investor cenderung menghindari risiko di tengah ketidakpastian politik dan potensi kolusi. Untuk menjaga stabilitas pasar modal, transparansi dan akuntabilitas dalam kebijakan fiskal menjadi krusial, terutama di bawah kepemimpinan yang terkait erat dengan elite politik dan bisnis.
Ditulis oleh Hara Nirankara