Pemuda Bapakisme: Dari Rengasdengklok ke Ruang Rapat Ormas

Redaksi
Oktober 31, 2025 | Oktober 31, 2025 WIB Last Updated 2025-10-31T02:08:30Z
Pemuda Bapakisme: Dari Rengasdengklok ke Ruang Rapat Ormas

“Gw dulu jadi ketua ormas pemuda,” kata seorang bapak dengan dada membusung, sambil menyeruput kopi sachet tiga sendok gula.
Aku hanya mengangguk sopan. Dalam hati, ingin rasanya bertanya, “Pak, masih nyebut diri pemuda di umur segitu, nggak ingat pasal UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan?” Tapi, ya sudahlah — tradisi menghormati yang lebih tua sudah jadi bagian dari kurikulum wajib sejak Orde Baru.

Padahal, kalau kita tarik ke masa lampau, pemuda itu dulu betul-betul pemuda. Mereka bukan sibuk rebutan jabatan di ormas atau ngejar “jatah proyek”, tapi menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok Bayangkan, nyulik dua tokoh paling penting negeri ini demi satu hal yaitu kemerdekaan.
Sekarang? Paling banter nyulik mic di rapat musyawarah supaya bisa pidato lebih lama.

Kalau dulu semangat pemuda adalah bara yang membakar kolonialisme, kini semangat itu berubah jadi “api unggun”—hangat di lingkaran sendiri, tapi tak cukup kuat menerangi jalan perubahan. Di banyak daerah, organisasi kepemudaan lebih sering jadi tempat latihan menjadi “bapak kecil”: sibuk memimpin, lupa mendengar.

Dari Revolusi ke Rapat Koordinasi

Masuklah kita ke era Orde Baru, masa ketika semua organisasi dari karang taruna sampai posyandu harus tunduk pada satu komando: kekuasaan.
Pemuda tidak lagi dibina untuk berpikir, melainkan untuk baris-berbaris dalam keseragaman. Dalam bahasa sopan-santun, mereka “dibimbing”. Dalam praktiknya, mereka dilatih untuk diam.

Di masa itu, organisasi pemuda disterilkan dari ide bebas diganti dengan struktur yang berlapis-lapis dan penuh laporan kegiatan, tanda tangan, stempel, dan tentu saja, ketua yang wajib dihormati.
Kalau di zaman perjuangan pemuda menculik, di zaman Orba pemuda dicukupkan: cukup loyal, cukup manut, cukup hormat.

“Bapakisme” menjadi warisan struktural yang masih hidup hingga kini. Pemimpin dianggap tak bisa salah, sementara anggota dianggap anak yang belum waktunya bicara. Maka jadilah organisasi yang lebih mirip keluarga besar ketimbang forum ide. Semua tunduk pada “bapak ketua”, walau kadang “bapak” itu baru saja naik jabatan lewat lobi-lobi warung kopi.

JJ Rizal menyebut fenomena ini sebagai “pemuda bapakisme”: generasi muda yang lebih sibuk mencari restu senior daripada merumuskan gagasan. Pemuda yang kehilangan fungsi kritis, dan lebih suka mengulang pidato daripada menulis sejarahnya sendiri.

Syahrir, Hatta, dan Bayangan Fasisme.

Jauh sebelum istilah “bapakisme” populer, Sutan Syahrir sudah resah. Dalam esai-esainya, ia menyinggung bahaya “mental fasisme” — pola pikir tunduk, seragam, dan takut berbeda.
Masyarakat yang terbiasa diperintah akan kehilangan kemampuan untuk berpikir merdeka

Syahrir paham betul: kebebasan tidak cukup diperjuangkan dengan senjata, tapi harus dijaga dengan nalar. Dan nalar itu, katanya, hanya tumbuh dalam suasana dialog.
Sayangnya, di negeri ini, “dialog” lebih sering berarti menunggu giliran bicara bukan mendengarkan.

Bung Hatta pun mengingatkan hal serupa. Dalam tulisannya tentang pentingnya kaderisasi partai, ia menegaskan: pemuda bukanlah pelengkap, melainkan penerus ideologi bangsa. Tanpa pendidikan politik yang sehat, pemuda akan tumbuh menjadi penonton demokrasi, bukan pelakunya.

Namun, dalam banyak organisasi hari ini, kaderisasi justru diganti dengan lomba loyalitas.
Yang paling keras tepuk tangannya di rapat sering dianggap paling pantas jadi penerus.
Dan seperti itu, mental “barisan” terus diwariskan dari satu generasi pengurus ke generasi berikutnya. Seperti warisan tanah yang tak pernah diukur ulang.

Budi Utomo dan Cermin Perubahan.

Kalau kita mundur sedikit ke sejarah kebangkitan nasional, Budi Utomo (1908) sering disebut tonggak kebangkitan pemuda. Organisasi itu sebenarnya lebih elit ketimbang revolusioner.
Anggotanya kebanyakan priyayi Jawa, dan orientasinya lebih pada pendidikan ketimbang politik. Tapi, dari sinilah lahir kesadaran baru bahwa pemuda bisa menjadi aktor perubahan, asalkan berani berpikir merdeka.

Ironisnya, semangat itu kini justru terperangkap dalam formalitas. Setiap tahun kita memperingati Hari Sumpah Pemuda dengan pidato panjang, spanduk warna-warni, dan lomba pidato bertema “Inovasi dan Kolaborasi Pemuda untuk Indonesia Emas”.
Tapi sesudah itu, semua kembali ke rutinitas lama: rapat, seremonial, dokumentasi, dan tentu saja acara foto bersama dengan pose salam tiga jari.
Revolusi direduksi jadi momen unggahan di Instagram.

JJ Rizal menulis tdalam media tentang “Generasi 1998 yang durhaka terhadap Sumpah Pemuda”. Judulnya memang keras, tapi menggambarkan kekecewaan kolektif: bahwa semangat perlawanan kini berubah jadi semangat administrasi. Kita lebih sibuk menyusun proposal kegiatan ketimbang menyusun gagasan perubahan.

Pemuda Bapakisme di Era Digital

Zaman memang berubah. Dulu, pemuda harus punya manifesto. Sekarang, cukup punya konten viral.
Tapi di balik wajah modern itu, struktur lama masih hidup.
Bapakisme hanya berganti ruang dari ruang rapat ke grup WhatsApp, dari stempel basah ke tanda centang biru.
Masih ada “bapak” yang memutuskan mana narasi yang boleh diunggah, dan mana yang “terlalu berisiko”.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia berakar pada budaya hierarkis yang menolak pembaruan kecuali lewat restu senior.
Seolah perubahan harus lewat izin, bahkan untuk bermimpi pun, harus menunggu giliran.

Namun, sejarah selalu punya cara untuk berputar. Dari Budi Utomo hingga Sumpah Pemuda, dari Orde Baru hingga era digital, setiap generasi akan melahirkan segelintir anak muda yang berani berkata “tidak”. Mereka mungkin minoritas, tapi selalu menjadi titik balik sejarah.

Menculik Ulang Semangat Kemerdekaan.

Kini, ketika banyak “pemuda abadi” masih nyaman memimpin organisasi hingga rambut memutih, mungkin kita perlu aksi penculikan baru , bukan terhadap orang, tapi terhadap semangat.
Menculik kembali semangat keberanian berpikir, keberanian menolak tunduk, dan keberanian menertawakan kekuasaan.

Kalau dulu Soekarno dan Hatta diculik demi kemerdekaan, mungkin sekarang kita perlu menculik ulang gagasan itu dari tangan para “bapak” yang tak pernah pensiun dari panggung pemuda.
Sebab yang tua bukan hanya umur, tapi juga cara berpikir.

Dan barangkali, generasi muda masa kini bukan perlu pidato baru, melainkan keberanian untuk berhenti meniru.

Penutup Reflektif

Pada akhirnya, menjadi muda bukan soal angka, tapi keberanian menolak menjadi tua sebelum waktunya.
Bapakisme bisa menua dalam tubuh organisasi, tapi tak akan pernah membusukkan ide jika masih ada yang berani berpikir merdeka 100 persen 
Mungkin sudah waktunya pemuda berhenti memanggil sebutan “bapak”, dan mulai menyapa dirinya sendiri: “penggerak.”

Referensi

Bung Hatta dan Pentingnya Kaderisasi Partai. (2020, 29 April). Berdikari Online. Diakses dari https://www.berdikarionline.com/bung-hatta-dan-pentingnya-kaderisasi-partai/

Giring Ganesha Kembali Lontarkan Pernyataan Bernada Menyerang, JJ Rizal: Pemuda Dari Bapakisme. (2022, 14 Januari). Frekuensi News. Diakses dari https://www.frekuensinews.com/nasional/pr-2892251691/

Hatta dan Bahaya Mental Fasisme. (t.t.). Merdika.id. Diakses dari https://merdika.id/sjahrir-dan-bahaya-mental-fasisme/

Kaum Muda Seharusnya adalah Sutan Sjahrir. (2020, 24 Agustus). KBA News. Diakses dari https://kbanews.com/pilihan-redaksi/kaum-muda-seharusnya-adalah-sutan-sjahrir/

Mengapa Para Pemuda Menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok? (2022, 29 April). Kompas.com. Diakses dari https://www.kompas.com/stori/read/2022/04/29/110000679/

Penerbit Buku Marjinkiri. (t.t.). Politik Jatah Preman. Diakses dari https://marjinkiri.id/product/politik-jatah-preman/

Ruang Guru. (t.t.). Sejarah Kelas 11: Mengenal Organisasi Kebangsaan Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Partij. Diakses dari https://www.ruangguru.com/blog/sejarah-kelas-11-mengenal-organisasi-kebangsaan-budi-utomo-sarekat-islam-indische-partij

SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL DAERAH JAMBI. (t.t.). Repositori Kemendikdasmen. Diakses dari https://repositori.kemendikdasmen.go.id/7432/1/SEJARAH%20KEBANGKITAN%20NASIONAL%20DAERAH%20JAMBI.pdf

Generasi Muda 1998 Durhaka Terhadap Sumpah Pemuda. (2012, 27 Oktober). Tribunnews. Diakses dari https://m.tribunnews.com/nasional/2012/10/27/

Novita sari yahya 
Penulis dan peneliti
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pemuda Bapakisme: Dari Rengasdengklok ke Ruang Rapat Ormas

Trending Now

Iklan

iklan