Ketika seseorang dengan penuh keyakinan meminta saya menjadi konsultan proyek agrikultur, saya sempat terdiam cukup lama. Bukan karena terharu, melainkan bingung tentang apa yang membuat mereka berpikir saya memahami soal padi, irigasi, atau tanah subur yang mulai kehilangan humusnya? Saya bukan sarjana pertanian. Saya tidak pernah menanam padi, kecuali pohon ketidaktahuan yang tumbuh di kepala saya sendiri.
Namun, mungkin memang begitulah cara dunia bekerja: terkadang orang yang tidak tahu apa-apa justru dipercaya untuk menasihati mereka yang menanam kehidupan. Ironi bukan?
Beberapa tulisan saya tentang petani lahir bukan dari laboratorium, melainkan dari rasa prihatin. Saya menulis tentang petani sebagaimana seseorang menulis surat cinta untuk kekasih yang terlupakan dengan harapan ia akan kembali dipedulikan. Saya percaya bahwa menjadi bangsa agraris bukan sekadar label pada buku pelajaran, melainkan panggilan etis untuk menghormati tanah, sawah, dan tangan-tangan yang menggarapnya.
Ketika dr. Sagaf Yahya mendirikan Partai Parindra di Jambi pada tahun 1940, petani bukan sekadar konstituen, melainkan kader perjuangan. Pertanian menjadi prioritas politik, bukan basa-basi kebijakan. Saat itu, nasionalisme tidak diukur dari pidato, melainkan dari sejauh mana orang mencangkul dengan hati dan menanam dengan harapan.
Kini, delapan dekade kemudian, nasionalisme agraris tampaknya telah berubah bentuk: dari sawah ke seminar, dari lumpur ke laporan, dari petani ke investor.
Proyek Agrikultur dan Dilema Nasionalisme
Ketika saya diminta bergabung dalam proyek agrikultur dengan investor asing, saya tidak langsung menolak. Saya justru berpikir: mungkin ini kesempatan untuk membuktikan bahwa nasionalisme bisa hadir dalam bentuk kesediaan untuk belajar, meskipun dari nol.
Saya memang pernah terlibat dalam pemetaan filantropi kesehatan Indonesia (2018 ). Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa filantropi bukan semata-mata soal memberi, tetapi tentang memahami kebutuhan riil manusia. Karena itu, saya melihat proyek agrikultur ini bukan hanya urusan bisnis atau teknologi, melainkan peluang untuk menerapkan konsep filantropi agrikultur membantu petani melalui solidaritas, inovasi, dan digitalisasi desa.
Namun, idealisme sering kali bertemu dengan realitas.
Potensi ekonomi agrikultur Indonesia sangat besar. Kontribusinya terhadap ekonomi nasional mencapai dua digit, tetapi di balik angka itu tersimpan paradoks yang nyata. Jutaan petani gurem hanya memiliki lahan sempit, dengan pendapatan yang tidak sebanding dengan kerja keras mereka. Sektor ini masih bergantung pada tenaga kerja tradisional, minim inovasi, dan rentan terhadap perubahan iklim serta fluktuasi harga pangan global.
Jadi, ketika saya mendengar istilah “investor asing”, saya tidak langsung gembira. Saya justru bertanya: apakah mereka datang untuk menanam padi, atau menanam modal demi panen keuntungan?
Petani, Teknologi, dan Kondisi Petani.
Saya teringat percakapan dengan seorang petani di Jambi yang berkata lirih:
> “Sekarang sawah sudah tinggal foto di album. Anak-anak kami kerja di kota, sawah kami jadi kavling perumahan.”
Ugkapan itu terdengar seperti satire paling menyakitkan bagi bangsa yang katanya agraris.
Kondisi petani di Indonesia semakin sulit di tengah ancaman perubahan iklim dan ketahanan pangan. Suhu meningkat, curah hujan tak menentu, dan siklus panen semakin pendek. Para petani menua, tetapi regenerasi hampir tidak terjadi. Hanya sebagian kecil petani berusia muda, sementara mayoritas adalah generasi senja yang menanam bukan untuk masa depan, melainkan demi bertahan hidup.
Ironinya, di tengah menurunnya minat menjadi petani, kita justru sibuk membangun konsep “smart farm” dan “digitalisasi desa”. Slogan-slogan itu terdengar indah, tapi seperti menumbuhkan daun, bukan akar.
Saya bukan anti-teknologi. Tapi saya percaya bahwa teknologi tanpa empati hanya akan melahirkan kesenjangan baru antara mereka yang paham algoritma dan mereka yang masih berjuang memahami cuaca.
Filantropi Agrikultur: Dari Desa ke Dunia Digital
Dalam pengalaman saya di bidang filantropi, saya belajar bahwa pemberdayaan tidak bisa datang dari atas tapi harus tumbuh dari bawah.
Konsep filantropi agrikultur yang saya bayangkan bukan sekadar bantuan modal, melainkan ekosistem solidaritas: pengusaha kota membantu petani desa bukan karena belas kasihan, tetapi karena kesadaran bahwa rantai pangan adalah rantai kehidupan.
Desa tidak boleh hanya menjadi objek digitalisasi, melainkan subjek pengetahuan. Digitalisasi pertanian seharusnya membantu petani memahami cuaca, harga pasar, pupuk, dan bibit melalui aplikasi yang sederhana, bukan memperumit mereka dengan laporan daring yang tak terbaca.
Hambatan utama sektor agrikultur di Indonesia masih sama dari tahun ke tahun: ketergantungan pada metode tradisional, keterbatasan akses modal dan teknologi, serta distribusi hasil pertanian yang tidak merata. Potensi besar ini belum diimbangi dengan tata kelola yang adil dan kolaboratif.
Inilah celah yang seharusnya diisi oleh gerakan filantropi berbasis teknologi membantu petani mendapatkan akses terhadap pengetahuan.
Transformasi Filantropi Digital di Desa Agraris
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul inisiatif-inisiatif baru di sektor agrikultur yang menggabungkan semangat filantropi dan teknologi digital. Model seperti crowdfunding pertanian memungkinkan masyarakat kota membantu petani secara langsung melalui investasi berbasis kepercayaan. Sistem ini menawarkan harapan baru: petani memperoleh modal tanpa terjebak dalam rantai tengkulak, sementara masyarakat kota dapat berkontribusi pada ketahanan pangan secara nyata.
Namun, keberhasilan digitalisasi pertanian tidak bisa diukur hanya dari seberapa banyak aplikasi diluncurkan, melainkan sejauh mana petani mampu memanfaatkannya. Masalah literasi digital masih menjadi tantangan besar. Banyak petani belum terbiasa dengan sistem daring, bahkan untuk sekadar mengakses informasi harga pasar atau bibit unggul.
Transformasi digital di bidang pertanian bukan hanya soal koneksi internet, melainkan koneksi sosial antara kebijakan, teknologi, dan manusia. Filantropi digital hanya akan bermakna jika disertai empati: ketika algoritma mampu memahami kesunyian ladang dan kesabaran para petani.
Jika suatu hari seluruh desa terhubung dengan internet, biarlah sinyal yang datang bukan hanya membawa pesan instan, tapi juga kesadaran bahwa pertanian adalah identitas bangsa, bukan sekadar sektor ekonomi.
Nasionalisme Agraris
Kadang saya tersenyum sendiri ketika mendengar istilah “ketahanan pangan nasional”. Betapa kokoh bunyinya. Namun kenyataannya, harga beras naik, pupuk langka, dan sebagian lahan subur telah berubah fungsi. Swasembada pangan yang kerap dijanjikan sering kali hanya menjadi retorika, bukan realitas.
Sektor pertanian masih bergantung pada cuaca dan impor bahan pokok. Kebijakan yang berubah-ubah mengikuti arah politik membuat para petani bingung menentukan langkah. Maka, kalau saya akhirnya menerima tawaran menjadi konsultan proyek agrikultur, itu bukan karena saya ahli, melainkan karena saya ingin melihat dari dalam: bagaimana idealisme bisa bertahan hidup di antara laporan laba-rugi.
Mungkin peran saya bukan memberi nasihat teknis, tapi menjadi suara kecil yang mengingatkan bahwa pertanian bukan sekadar komoditas, melainkan identitas bangsa. Bahwa mencintai petani adalah bagian dari mencintai Indonesia.
Refleksi: Nasionalisme di Tengah Lahan yang Menyempit
Saya tahu, menulis tentang pertanian tidak akan menurunkan harga pupuk atau menambah luas sawah. Tapi menulis berarti menolak lupa bahwa ada jutaan petani yang masih menanam, meski mereka tahu hasilnya belum tentu cukup untuk hidup layak.
Nasionalisme sejati bukan soal berapa besar investasi asing yang masuk, tapi sejauh mana kita menjaga martabat petani sendiri.
Jadi, ketika saya berdiri di tengah ladang nanti mungkin dengan sepatu yang tidak cocok untuk berdiri di lumpur maka saya akan tetap merasa bangga. Karena di antara tanaman padi yang bergoyang tertiup angin, saya bisa melihat refleksi dari bangsa ini: sederhana, rapuh, tapi tetap hidup.
Dan kalau ada yang bertanya, “Mengapa Anda bersedia ikut proyek ini tanpa keahlian?”
Saya akan menjawab:
> “Karena keahlian bisa dipelajari, tapi keberpihakan tidak. Saya berpihak kepada tanah, kepada petani, kepada Indonesia.”
Daftar pustaka
Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Sensus Pertanian 2023: Profil Petani Indonesia.
Kompas.com. (2022). Potensi Ekonomi Agrikultur Indonesia: Peran, Hambatan, dan Strategi.
https://amp.kompas.com/skola/read/2022/08/08/153000469/potensi-ekonomi-agrikultur-indonesia-peran-hambatan-dan-strategi
CNN Indonesia. (2023). Ekonomi Agrikultur: Faktor Pendorong hingga Contoh.
https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20230727100058-569-978408/pengertian-ekonomi-agrikultur-faktor-pendorong-hingga-contoh
Universitas Gadjah Mada (UGM). (2024). Kondisi Petani di Tengah Ancaman Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan.
https://ugm.ac.id/id/berita/kondisi-petani-makin-sulit-di-tengah-ancaman-perubahan-iklim-dan-persoalan-ketahanan-pangan/
RMOL.id. (2025). Isapan Jempol Swasembada Beras Amran Sulaiman.
https://rmol.id/publika/read/2025/10/30/685005/isapan-jempol-swasembada-beras-amran-sulaiman
Novita sari yahya
Penulis dan peneliti.

