Paradoks "Ijazah Jokowi" SP3, Gelar Perkara dan Eggi Sudjana Jadi Tersangka

Redaksi
November 18, 2025 | November 18, 2025 WIB Last Updated 2025-11-18T11:12:47Z
Jakarta,detiksatu.com _Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo semakin menyerupai labirin hukum (lorong penuh liku) yang membingungkan publik. Apa yang mulanya hanyalah perdebatan akademik tentang keaslian sebuah ijazah, hari ini berubah menjadi drama hukum penuh paradoks, laporan dihentikan, tapi pelapor justru jadi tersangka. Publik pun bertanya, apa yang sebenarnya sedang diuji? bukti, logika, atau keberanian?

Pertama, perlu diluruskan hal mendasar terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) hanya berlaku pada tahap penyidikan, bukan penyelidikan. Artinya, kalau suatu kasus belum naik ke tahap penyidikan, tetapi diterbitkan SP3, maka secara hukum tindakan itu cacat prosedur.

Bareskrim pernah menerbitkan SP3 untuk laporan dugaan ijazah palsu Jokowi padahal perkara tersebut belum masuk tahap penyidikan, masih sebatas penyelidikan awal. Di dalam SP3 itu disebutkan alasan penghentian karena “bukti tidak cukup”, tetapi secara prosedural justru penyidik belum berada pada tahap untuk menilai alat bukti secara yuridis, sehingga penerbitan SP3 tersebut dianggap prematur.

Hal inilah yang membuat sejumlah ahli, termasuk pihak pelapor, Eggi Sudjana, menyatakan bahwa SP3 tersebut cacat hukum dan harus dicabut.

Bagaimana mungkin sebuah perkara hukum tentang keaslian ijazah diselesaikan tanpa pernah menampilkan dokumen fisik yang menjadi inti perkara?

Pada gelar perkara khusus 9 Juli 2025, para pelapor, termasuk Eggi Sudjana, meminta bukti ditunjukkan ijazah asli Jokowi. Namun hingga gelar perkara selesai, tidak pernah ditampilkan.

Jika objek inti pembuktian tidak pernah hadir, maka seharusnya fakta hukum belum dapat dinyatakan tuntas. Secara logika, justru pemegang dokumen, dalam hal ini mantan Presiden Jokowi yang semestinya terang benderang membuktikan keaslian, bukan sekedar menyerahkan fotokopi, legalisir, atau sampul skripsi.

Sungguh ironis, pada 7 November 2025, Polda Metro Jaya justru menetapkan delapan orang sebagai tersangka, salah satunya Eggi Sudjana. Padahal, rangkaian peristiwanya sangat jelas, sebagai pelapor, Eggi meminta verifikasi keaslian ijazah, gelar perkara dilakukan, bukti asli tidak ditampilkan. Malahan yang terjadi SP3 diterbitkan atas alasan bukti tidak cukup, lalu kemudian pelapor berubah menjadi tersangka.

Pertanyaan paling dasar adalah, bagaimana seseorang dapat dianggap memfitnah, bila objek yang disebut “fitnah” belum pernah dibuktikan benar atau palsu?

Jika ijazah asli tidak pernah diperlihatkan, maka klaim “fitnah” belum dapat dikonstruksikan. Karena unsur fitnah mensyaratkan adanya fakta objektif yang bertentangan dengan tuduhan.

Dengan kata lain, Eggi Sudjana justru dihukum karena mempertanyakan sesuatu yang belum pernah dibuktikan kebenarannya. Maka yang terjadi tuduhan tersangka itu keblinger.

Analogi tuduhan itu seperti menghukum seseorang yang bernyebut “air ini keruh” sementara gelasnya tidak pernah diperlihatkan?

Gelar perkara khusus seharusnya menguji bukti material ijazah fisik, bukti digital foto, data legalisir, rekaman, bukti historis, catatan akademik.

Namun yang terjadi, gelar perkara justru berakhir pada keputusan siapa yang menyebarkan narasi, bukan apa yang sesungguhnya terjadi.

Maka wajar publik bertanya, “kalau gelar perkara soal keaslian ijazah, tetapi ijazah asli tak pernah dibawa, lalu apa yang sebenarnya sedang digelar?”

Kasus ini menjelaskan dua hal besar, bahwa hukum bukan sekedar prosedur, namun soal moral keadilan. SP3 prematur bukan hanya kesalahan administratif, tapi merusak logika publik terhadap sistem hukum, khususnya pelaksana hukum. Ketika pelapor berubah menjadi tersangka tanpa kedudukan objek perkara diverifikasi, pertanyaan besarnya adalah, apakah hukum sedang membela kebenaran atau sebaliknya?

*Penutup*

Kasus ini mungkin akan terus bergulir, bahkan masuk ke pengadilan. Rakyat hanya butuh satu bukti untuk mengakhiri semua perdebatan, tunjukkan ijazah asli Joko Widodo dalam proses pembuktian resmi.

Jika itu dilakukan, selesai sudah polemik. Tetapi selama objek inti pembuktian tetap tidak hadir, publik berhak mempertanyakan, dan hak itu tidak bisa di SP3-kan. Sebab dalam negara hukum, keraguan rakyat tidak bisa dihentikan hanya dengan surat perintah.

Tim Redaksi 
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Paradoks "Ijazah Jokowi" SP3, Gelar Perkara dan Eggi Sudjana Jadi Tersangka

Trending Now

Iklan

iklan