Presiden Prabowo Mangkir Dari Agenda Sidang Gugatan Rp,5000 Triliun Di PN Jakarta Pusat Terkait Status Ibukota

Redaksi
November 15, 2025 | November 15, 2025 WIB Last Updated 2025-11-15T00:52:42Z
Jakarta, detiksatu.com — Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dilaporkan tidak menghadiri agenda sidang perkara perdata yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor Perkara: 663/Pdt.G/2025/PN Jkt Pst, dalam perkara gugatan senilai Rp 5.000 triliun yang diajukan oleh warga negara Syakur Ali Mahdi (asal Kota Malang, Jawa Timur) dan Advokat M. Taufik Budiman (asal Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat). Pada(13/11/25)
Sidang yang dijadwalkan pada Kamis, 13 November 2025 tersebut merupakan lanjutan dari sidang pertama pada 14 Oktober 2025, yang sebelumnya ditunda karena ketidakhadiran tergugat, yakni Presiden RI. Ketidakhadiran Presiden untuk kedua kalinya ini menuai kekecewaan mendalam dari pihak penggugat dan kuasa hukumnya, yang menilai bahwa sikap tersebut tidak mencerminkan teladan sebagai kepala negara dalam menghormati proses hukum.

Gugatan Terkait Kejelasan Status Ibu Kota Negara Antara DKI Jakarta dan IKN

Dalam berkas gugatan yang diajukan ke PN Jakarta Pusat, Presiden RI diminta untuk bersikap tegas dan menetapkan secara jelas status antara DKI Jakarta dan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia.

Tim kuasa hukum penggugat dari SUPER Indonesia (Suara Pengacara Rakyat Indonesia) — terdiri dari Panardan, S.H., Agus Salim, S.H., dan M. Rusli Efendi, S.H., M.H. — menegaskan bahwa hingga kini belum ada Keputusan Presiden (Keppres) yang secara resmi menetapkan pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke IKN, sehingga secara hukum dan konstitusional DKI Jakarta masih memegang status ibu kota negara.

> “Presiden seharusnya tidak membiarkan bangsa ini hidup dalam ketidakpastian hukum. Sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, beliau wajib memberikan arah yang tegas: apakah ibu kota negara tetap di Jakarta atau sudah sah berpindah ke IKN. Rakyat menunggu kepastian, bukan sekadar retorika pembangunan,” tegas Panardan, S.H., selaku kuasa hukum penggugat.

Juru Bicara SUPER Indonesia: ‘Negara Tidak Bisa Dijalankan di Atas Kebingungan Hukum’

Juru bicara SUPER Indonesia, M. Rusli Efendi, S.H., M.H., menyampaikan pernyataan keras bahwa satu tahun masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto belum menunjukkan ketegasan dalam menentukan arah tata kelola pemerintahan pusat.

> “Negara tidak bisa dijalankan di atas kebingungan hukum. Hingga hari ini, Sekretariat Negara masih di Jakarta, sementara proyek IKN terus dipaksakan berjalan tanpa Keppres pemindahan ibu kota. Ini ibarat satu tubuh dengan dua kepala — absurd secara administrasi, kabur secara hukum, dan berpotensi menimbulkan kekacauan konstitusional,” tegas Rusli Efendi dengan nada keras.

> “Jika Presiden tidak segera mengambil keputusan tegas, maka rakyat akan terus terjebak dalam ketidakpastian status ibu kota. Kita ini negara hukum, bukan negara proyek. Jangan sampai hukum dikorbankan demi pencitraan pembangunan,” lanjutnya.

Rusli juga menambahkan, konsep “Twin Cities” antara DKI Jakarta dan IKN yang dijalankan saat ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas, melainkan hanya bersifat administratif dan politis.

> “Konsep kembar itu bagus untuk kota wisata, tapi bukan untuk ibu kota negara. Negara hanya bisa punya satu ibu kota, satu pusat pemerintahan, dan satu dasar hukum yang tegas,” pungkasnya.

Landasan Hukum yang Dilanggar

Penggugat menilai bahwa pemerintah belum melaksanakan amanat undang-undang secara utuh, sebagaimana diatur dalam:

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, yang menegaskan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara hanya dapat dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres);

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 2022, yang memperkuat ketentuan tersebut dan memberikan dasar hukum yang lebih tegas terhadap tata cara pemindahan Ibu Kota Negara.

Pasal 4 ayat (1) huruf (a) UU IKN menegaskan bahwa pembentukan IKN tidak serta-merta mengalihkan kedudukan, fungsi, dan peran Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke IKN, sampai Keppres tentang pemindahan secara resmi diterbitkan.

Tuntutan Ganti Rugi dan Kepastian Hukum

Dalam gugatan senilai Rp 5.000 triliun, penggugat menilai adanya kerugian konstitusional dan administratif terhadap rakyat Indonesia akibat ketidakjelasan status hukum DKI Jakarta dan IKN, yang berdampak pada tata kelola pemerintahan, legitimasi lembaga negara, serta kejelasan kebijakan publik.

> “Negara hukum harus berjalan berdasarkan kepastian hukum, bukan sekadar simbol politik pembangunan. Presiden memiliki kewajiban konstitusional untuk menegaskan di mana sesungguhnya Ibu Kota Negara Republik Indonesia berkedudukan,” tutup Panardan, S.H.

Penegasan Akhir

Kasus ini menjadi ujian serius terhadap komitmen pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam menegakkan konstitusi dan supremasi hukum.
Ketidakhadiran Presiden dalam dua kali panggilan sidang menimbulkan pertanyaan publik: apakah hukum masih berlaku sama bagi semua warga negara, atau ada pengecualian bagi penguasa?

Rakyat menunggu jawaban.
Hukum harus berdiri di atas kekuasaan, bukan di bawahnya.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Presiden Prabowo Mangkir Dari Agenda Sidang Gugatan Rp,5000 Triliun Di PN Jakarta Pusat Terkait Status Ibukota

Trending Now

Iklan

iklan