Munasabah Ayat QS. Āli ‘Imrān Ayat 133
Para ulama tafsir sepakat bahwa tidak terdapat riwayat sabāb nuzūl yang khusus dan sahih berkaitan dengan QS. Āli ‘Imrān ayat 133. Namun, kajian terhadap munāsabah keterkaitan antar ayat dalam struktur Al-Qur’an menunjukkan bahwa ayat ini memiliki hubungan tematik yang kuat dengan ayat-ayat sebelumnya.
Menurut al-Ṭabarī, susunan ayat-ayat dalam rangkaian ini menggambarkan peralihan dari peringatan terhadap orang-orang kafir dan ahli maksiat menuju dorongan dan motivasi spiritual bagi orang-orang beriman agar tetap teguh dan bersegera menuju ampunan Allah.
Ibn Kathīr juga menekankan bahwa ayat ini hadir setelah uraian yang cukup panjang tentang ancaman bagi pelaku kekufuran serta gambaran kehancuran umat-umat terdahulu sebagai akibat dari penyimpangan mereka. Oleh karena itu, ayat 133 ini berfungsi sebagai kompensasi retoris: setelah ancaman (tarhīb), Allah kemudian mengemukakan harapan (targhīb) berupa janji ampunan dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Pergantian nada dari ancaman menuju janji kebaikan ini merupakan strategi pedagogis Al-Qur’an yang bertujuan agar manusia tidak terjerumus ke dalam keputusasaan, melainkan terdorong menuju amal saleh dan taubat.
Masjid di lokasi bencana banjir bandang di Dusun Landuh, Kab. Aceh Tamiang, Aceh, yang belum dapat difungsikan. [Foto: FB Anies Baswedan]
Al-Rāzī menambahkan bahwa munāsabah ayat ini dapat dibaca sebagai upaya Al-Qur’an untuk menunjukkan kesempurnaan keseimbangan etis antara keadilan dan rahmat. Setelah menyinggung sifat Allah yang membalas kezaliman dan kekufuran, ayat 133 menegaskan sifat-Nya sebagai pemberi ampunan yang luas dan pemilik surga yang disediakan khusus untuk orang-orang bertakwa.
Dengan demikian, keterkaitan ayat ini bukan sekadar kronologis, tetapi juga ideologis—membentuk kerangka teologis tentang bagaimana seorang mukmin harus memahami hubungan antara ancaman dan harapan dalam ajaran Islam.
Sementara itu, dalam perspektif al-Qurṭubī, munāsabah ayat ini juga memperlihatkan pola penyampaian yang bersifat tadarruj (bertahap). Setelah manusia disadarkan tentang bahaya kekufuran, mereka kemudian diarahkan kepada jalan keselamatan, yaitu mempercepat langkah menuju ampunan Ilahi. Pola ini menegaskan bahwa ajaran Al-Qur’an tidak hanya mengkritik perilaku destruktif, tetapi juga memberikan alternatif yang konstruktif bagi pembentukan moralitas umat.
Dengan demikian, munāsabah QS. Āli ‘Imrān ayat 133 dapat disimpulkan sebagai bentuk transisi retoris dan teologis dari ancaman menuju janji kebaikan, yang berfungsi menguatkan motivasi spiritual kaum beriman sekaligus menegaskan keseimbangan antara targhīb dan tarhīb sebagai metode pendidikan Qur’ani.
Penafsiran QS. Āli ‘Imrān Ayat 133 Menurut Para Mufassir
Ayat ini dimulai dengan perintah سَارِعُوا yang berasal dari akar kata س ر ع yang bermakna cepat, bergegas, atau berlomba. Para mufassir menegaskan bahwa bentuk fi‘l amr (kata kerja perintah) dalam ayat ini menunjukkan iltizām (tuntutan yang tegas) dan bukan sekadar anjuran.
Dengan demikian, perintah untuk bergegas menuju ampunan Allah bukan hanya menggambarkan keutamaan amal saleh, tetapi juga menegaskan bahwa perjalanan spiritual seorang mukmin haruslah bersifat aktif, progresif, dan kompetitif dalam kebaikan.
Di antara ulama tafsir klasik yang memberikan penjelasan mendalam tentang ayat ini adalah al-Ṭabarī, Ibn Kathīr, al-Rāzī, dan al-Qurṭubī.

