Untuk memahami budaya Islam Indonesia secara utuh, kita perlu melihat definisinya, wujudnya, dan bagaimana para ahli memaknai pertemuan antara Islam dan budaya lokal.
Secara umum, Koentjaraningrat, antropolog besar Indonesia, mendefinisikan budaya sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar.” Artinya, budaya adalah sesuatu yang hidup, diwariskan, dan terus mengalami perubahan.
Sementara itu, Clifford Geertz, antropolog yang meneliti Jawa, mengatakan bahwa budaya adalah “jaringan makna tempat manusia menafsirkan kehidupannya.” Dalam konteks Islam Indonesia, jaringan makna ini dibangun melalui tafsir ajaran Islam yang berdialog dengan tradisi Nusantara.
Untuk budaya Islam, Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bahwa budaya Islam adalah “peradaban yang dibentuk oleh adab”—yakni tata moral, intelektual, dan spiritual yang dipandu oleh tauhid. Ini berarti budaya Islam bukan hanya soal bentuk luar (busana, seni, artefak), tetapi kerangka nilai yang menata kehidupan manusia.
Azyumardi Azra, sejarawan Islam Indonesia, menyebut bahwa Islam di Nusantara berkembang melalui proses “islamisasi kultural”—bukan pemaksaan. Ia menyatu dengan tradisi lokal secara halus (soft penetration), sehingga melahirkan budaya yang khas: Islami, tetapi tetap Indonesia.
Mattulada, antropolog Bugis, menambahkan bahwa budaya Islam di Indonesia tidak menghilangkan identitas lokal, melainkan memperhalus dan menuntun tradisi tersebut agar selaras dengan nilai tauhid.
Dengan demikian, budaya Islam Indonesia adalah harmoni antara nilai universal Islam dan kreativitas lokal yang tumbuh dari pengalaman sejarah masyarakat Nusantara.
Budaya Tulis: Sumbu Peradaban Ilmu
Budaya tulis adalah salah satu pilar utama budaya Islam Indonesia.Tradisi ini sudah berkembang sejak kedatangan Islam ke Nusantara pada abad ke-13–16, terutama melalui jaringan ulama yang belajar ke Timur Tengah.
Azyumardi Azra, dalam konsep “Jaringan Ulama Nusantara”, menjelaskan bahwa ulama Nusantara abad ke-17 hingga 19 seperti Syekh Yusuf al-Makassari, Abdul Rauf Singkel, dan Ar-Raniri menghasilkan karya tulis yang menghubungkan Indonesia dengan pusat-pusat ilmu di Makkah dan Madinah.
Di abad ke-19, ulama seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi menjadi rujukan dunia Islam. Karya-karya mereka—dalam fikih, tasawuf, akidah, dan tafsir—ditulis dalam bahasa Arab dan beredar sampai ke Mesir, Hijaz, dan India.
Di pesantren, budaya tulis berkembang melalui penyalinan kitab, ta’liq, hâsyiyah, hingga penulisan risalah. Inilah yang membuat pesantren menjadi “fabrik budaya ilmiah” yang terus hidup hingga kini.
Budaya Baca: Tradisi Iqra’ yang Menjadi Identitas Pesantren
Di dunia Islam, membaca adalah perintah pertama. Tradisi ini tumbuh kuat di Indonesia melalui pesantren. Sistem bandongan dan sorogan memperlihatkan betapa budaya baca telah menjadi bagian inti kehidupan santri.
Menurut Martin van Bruinessen, pesantren adalah “lembaga pembaca kitab paling aktif di dunia Islam Asia Tenggara.” Ribuan kitab dibaca, dikaji, disimak, dan dikomentari secara turun-temurun.
Namun, tantangan era digital menurunkan minat baca generasi muda. Ini dapat melemahkan budaya ilmu umat Islam. Maka perlu dilakukan: penguatan perpustakaan masjid dan pesantren, digitalisasi manuskrip ulama Nusantara, gerakan literasi berbasis komunitas Muslim, dan program baca-kritik kitab klasik dan kontemporer.
Budaya tulis ini menjadi ruh peradaban Islam Indonesia: menulis untuk menjaga ilmu, menulis untuk berdakwah, dan menulis untuk membentuk kesadaran sosial.
Budaya baca adalah fondasi bagi kecanggihan berpikir dan kedewasaan spiritual umat.
Budaya Batik: Estetika Tauhid dalam Kain Nusantara
Batik adalah salah satu bukti akulturasi kreatif antara Islam dan budaya lokal. Ketika Islam berkembang di Jawa, seni batik mendapatkan sentuhan nilai-nilai tauhid: larangan menggambar makhluk bernyawa melahirkan motif geometri, flora, dan kaligrafi.
Menurut H.J. de Graaf, masuknya Islam memperhalus motif batik pesisir dan keraton. Sementara Siti Nuraini, peneliti batik Islam, menyebut bahwa batik menjadi ‘bahasa estetika dakwah’ karena sarat simbol religius.
Batik Trusmi di Cirebon memiliki motif bernuansa tasawuf seperti Mega Mendung yang melambangkan keteduhan jiwa. Batik Pekalongan memperlihatkan keterbukaan budaya dengan motif dari Arab, Turki, dan India.
Dengan demikian, batik bukan sekadar kain, tetapi jejak spiritual dan kreativitas Islam Nusantara.
Budaya Kuliner: Identitas Islam dalam Rasa dan Tradisi
Kuliner juga menjadi bagian penting budaya Islam Indonesia. Prinsip halal, thayyib, dan adab makan membentuk kebiasaan masyarakat Muslim Nusantara.
Islam mengajarkan moderasi, berbagi, menghormati tamu, dan menjadikan makanan sebagai sarana mendekatkan persaudaraan.
Contoh budaya kuliner Islami:
Nasi kebuli, martabak Arab, soto Madura, rawon, sate Padang, dan berbagai hidangan berbasis rempah yang dipengaruhi budaya Timur Tengah, Gujarat, dan India.
Tradisi buka puasa bersama, sedekah makanan, dan nyadran yang telah mengalami Islamisasi.
Industri halal food yang berkembang pesat di kota-kota besar.
Antropolog kuliner Fadly Rahman menyebut bahwa kuliner Nusantara modern tidak bisa dipisahkan dari jaringan perdagangan Muslim sejak abad ke-15. Inilah yang membentuk identitas kuliner halal khas Indonesia.
Budaya Pejuang: Spirit Tauhid dan Etos Pembebasan
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa ulama adalah aktor penting dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Spirit tauhid melahirkan budaya keadilan, keberanian, dan anti-penindasan.
Tokoh-tokoh pejuang Islam seperti: Sultan Iskandar Muda, Fatahillah, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Tjokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, menunjukkan bahwa nilai Islam melahirkan etos perjuangan yang kuat.
Sejarawan Taufik Abdullah menyebut perjuangan para ulama sebagai “visi moral yang memadukan keimanan dan kebangsaan.” Sementara Kuntowijoyo melihatnya sebagai “pemaknaan sejarah yang digerakkan oleh nilai profetik.”
Budaya pejuang ini membentuk karakter umat Islam sebagai penjaga keadilan sosial dan kemerdekaan bangsa.
Budaya Islam Nusantara ini perlu terus dikembangkan terutama untuk generasi muda. Pengembangan batik, arsitektur masjid modern, film Islami, musik religi, kuliner halal, dan fashion syar’i bisa menjadi motor ekonomi budaya. Selain itu, manuskrip ulama, musik tradisi Islam, arsip sejarah, dan karya seni Nusantara harus diselamatkan dalam bentuk digital.
Budaya Islam Indonesia adalah permadani luas yang dihiasi nilai spiritual, tradisi ilmu, seni tinggi, dan etos perjuangan. Ia terbentuk oleh dialog produktif antara ajaran Islam dan budaya Nusantara selama berabad-abad. Para ulama, seniman Islam, cendekiawan, dan masyarakat perlu menjadikannya sebagai rumah besar tempat nilai, kreativitas, dan identitas dirawat dan dikembangkan. Wallahu alimun hakim. []

