Ketika Air Menggenang, Hati Nurani pun Menyala

Redaksi
Desember 06, 2025 | Desember 06, 2025 WIB Last Updated 2025-12-05T19:29:13Z
Jakarta,detiksatu.com _ Agama bukan hanya hadir untuk menegur. Ia juga menjadi sandaran emosional yang paling kokoh ketika manusia jatuh pada titik terendah

Banjir Besar yang Menguji Sumatra

Hujan deras yang turun tanpa henti sejak akhir November itu mula-mula hanya dianggap sebagai ritme alam menjelang penghujung tahun. Namun dalam hitungan hari, debit air melampaui batas kewajaran.

Sungai meluap, tanggul runtuh, dan akhirnya banjir besar menyapu wilayah Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat—menenggelamkan rumah, kebun, jalan raya, dan sebagian harapan warganya. Potret warga mengevakuasi diri dengan perahu karet dan serpihan kayu berseliweran di beranda media sosial. Di sisi lain, para relawan memanggul karung sembako, menyusuri genangan yang berubah seperti danau.



Di tengah kecemasan fisik dan kehilangan, ada keresahan lain yang pelan-pelan muncul: di mana posisi manusia di hadapan bencana? Dan apa sebenarnya pesan moral dari banjir besar yang menyapu sebagian besar Sumatra ini?

Air Bah dalam Teks Suci: Peringatan Moral Sepanjang Zaman

Dalam peradaban manusia, banjir selalu lebih dari sekadar fenomena alam. Ia adalah simbol, pertanda, sekaligus panggilan kesadaran. Hampir semua tradisi keagamaan mengabadikan kisah air bah dalam teks sucinya.

Dalam Al-Qur’an, cerita tentang Nabi Nuh menempati ruang moral yang luas—bukan hanya tentang penyelamatan, melainkan tentang keras kepala manusia yang menolak kebenaran. Surah Hud ayat 44 menggambarkan saat air diperintah surut dan bahtera berhenti di atas Bukit Judi. Itu bukan hanya akhir dari tragedi, tapi momen penghabisan bagi kaum yang zalim dan mula bagi tatanan baru umat manusia.

Surah Al-Ankabut ayat 14 memberi gambaran lebih pedih: Nuh berdakwah hampir satu milenium, namun hanya sedikit yang mempercayainya. Sementara Surah Ar-Rum ayat 41 memperluas maknanya: kerusakan yang muncul di darat dan laut adalah akibat ulah tangan manusia sendiri—sebuah ayat yang ironisnya terasa semakin relevan pada era krisis iklim sekarang.

Dalam Alkitab, kisah Nuh juga muncul dengan pesan serupa: Tuhan mendatangkan air bah untuk memusnahkan kejahatan manusia, namun kemudian mengikat janji baru bahwa bumi tak akan lagi dimusnahkan dengan banjir. Kisah serupa juga hidup dalam Epos Gilgamesh di Mesopotamia dan dalam tradisi Hindu melalui Matsya Purana—menunjukkan bahwa banjir besar adalah narasi global yang melampaui agama dan budaya.

Membaca Bencana dengan Kacamata Baru

Namun ketika banjir besar datang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada tahun ini, kita berada dalam zaman yang menuntut penafsiran ulang. Tidak cukup memaknai bencana sebagai azab, sebagaimana sebagian terburu-buru menyimpulkan.

Tafsir semacam itu terlalu menyederhanakan, bahkan berbahaya: ia membuat kita lupa bahwa banyak faktor bencana justru lahir dari keputusan manusia—penebangan hutan yang membabi buta, alih fungsi lahan yang ultra-cepat, pembangunan tanpa etika ekologis, serta perubahan iklim yang semakin ekstrem.

Pendekatan moral agama yang lebih dewasa ditawarkan oleh para pemikir kontemporer: bencana adalah ujian, bukan kutukan; peringatan, bukan hukuman semata; panggilan untuk memperbaiki diri dan lingkungan, bukan menuding kesalahan pihak lain.

Etika Ekologis dalam Ajaran Agama

Islam, misalnya, menyediakan perangkat analitis yang lebih progresif melalui maqâṣid al-syarî‘ah. Dalam kerangka itu, menjaga kehidupan (hifz al-nafs), menjaga harta (hifz al-mâl), dan menjaga lingkungan hidup yang menopang kehidupan manusia dapat menjadi landasan tindakan kolektif. Bencana bukan alasan untuk pasrah, melainkan momentum untuk mengaktifkan perintah moral menjaga bumi.

Di Aceh, para ulama pernah menegaskan hal ini setelah tsunami 2004: bahwa alam bukan musuh, tetapi cermin bagi perilaku manusia. Setiap kerusakan lingkungan adalah bagian dari tanggung jawab moral yang gagal. Kini, dua dekade kemudian, banjir yang melanda Sumatra seperti membuka kembali lembar peringatan itu: manusia lupa, dan alam berbicara.

Ketika Solidaritas Mengalir Bersama Air

Meskipun demikian, agama bukan hanya hadir untuk menegur. Ia juga menjadi sandaran emosional yang paling kokoh ketika manusia jatuh pada titik terendah. Banyak penelitian pasca-bencana Aceh menunjukkan bahwa keyakinan religius membantu para penyintas mengatasi trauma. Doa, zikir, kebersamaan, dan solidaritas terbukti mempercepat pemulihan batin.

Fenomena ini kembali terlihat dalam bencana banjir kali ini. Bantuan datang bukan hanya dari lembaga pemerintah, tetapi juga dari pesantren, gereja, organisasi zakat, komunitas lintas iman.

Dari kantong-kantong masyarakat kecil terkumpul sedekah yang kadang lebih tulus dibanding sumbangan institusi besar. Di mushala yang terendam air, anak-anak tetap belajar mengaji di lantai panggung. Di gereja-gereja yang belum terendam, ruang ibadah berubah menjadi posko darurat.

Inilah wajah religiusitas Indonesia yang sering terlupa: bukan sekadar soal doktrin, tetapi soal empati dan gerak manusia.

Pelajaran Besar dari Genangan

Dengan segala refleksi itu, banjir Sumatra kali ini semestinya menjadi titik balik. Narasi kuno tentang Air Bah tak lagi bisa dibaca secara harfiah. Ia harus menjadi inspirasi moral: bahwa ketika manusia membiarkan ketidakadilan ekologis terjadi, alam pun meminta bagian.

Dalam situasi seperti ini, agama dapat memainkan tiga fungsi sekaligus. Pertama, memberi makna spiritual bagi penderitaan—bahwa setiap ujian membawa peluang untuk memperbaiki diri. Kedua, mendorong solidaritas sosial—karena menolong sesama adalah kewajiban moral lintas agama. Ketiga, membangkitkan kesadaran ekologis—bahwa menjaga hutan, sungai, dan gunung adalah bagian dari ibadah.

Jika tiga fungsi itu bekerja serentak, tragedi banjir bukan hanya meninggalkan luka, tetapi juga pelajaran. Banjir mungkin merendam rumah dan sawah, tetapi ia tak mampu menenggelamkan kesadaran manusia yang bersedia belajar dari masa lalu—baik dari teks kuno maupun dari penderitaan hari ini.

Ketika air menggenang, nurani menyala. Dan di sanalah masa depan Sumatra, dan masa depan kita, sesungguhnya sedang ditulis.[]
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Ketika Air Menggenang, Hati Nurani pun Menyala

Trending Now

Iklan

iklan