Islam tidak lahir sebagai agama yang anti-hidup berdampingan. Sejak awal, umat Islam hidup bersama pemeluk keyakinan lain dengan prinsip keadilan dan kebaikan. Namun, Islam juga bukan agama yang mengaburkan batas aqidah demi diterima lingkungan. Di sinilah konsep tasyabbuh bil kuffar menjadi penting untuk dipahami bukan sebagai alat menghakimi, tetapi sebagai penjaga identitas iman
Tasyabbuh bukan sekadar meniru secara fisik, melainkan mengikuti simbol, ritual, dan ekspresi yang menjadi ciri khas keyakinan lain. Ketika perayaan keagamaan diperlakukan sebagai budaya semata, batas antara menghormati dan mengafirmasi keyakinan perlahan menghilang. Yang berbahaya bukan penolakan terang-terangan terhadap Islam, melainkan normalisasi halus yang membuat umat merasa canggung dengan identitasnya sendiri.
Proses ini sering terjadi tanpa disadari. Dimulai dari alasan sopan santun, berlanjut pada keinginan agar tidak dianggap fanatik, lalu berujung pada anggapan bahwa semua keyakinan sama saja. Padahal, aqidah dalam Islam bukan urusan privat yang bisa dinegosiasikan sesuai situasi sosial. Ia adalah fondasi cara pandang hidup, yang menentukan sikap, pilihan, dan arah keberpihakan.
Perayaan Tahun Baru pun sering diposisikan sebagai peristiwa universal yang netral. Padahal, kalender, cara merayakan, dan nilai yang menyertainya lahir dari peradaban sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Ketika umat Islam ikut larut tanpa sikap kritis, yang terjadi bukan sekadar ikut bergembira, tetapi ikut mengafirmasi nilai hidup yang menjauhkan manusia dari orientasi akhirat.
Islam sejatinya tidak kekurangan momen, makna, dan cara bersyukur. Rasulullah Saw tidak pernah membangun umat dengan cara meniru tradisi di luar Islam demi pengakuan sosial. Beliau justru menanamkan kepercayaan diri terhadap jati diri Islam tegas dalam aqidah, lembut dalam akhlak, dan adil dalam interaksi.
Menjaga jarak dari perayaan agama lain bukanlah bentuk kebencian. Ia adalah kejujuran iman. Islam mengajarkan untuk berbuat baik kepada siapa pun, menjaga hubungan sosial, dan berlaku adil, tanpa harus mencampuradukkan keyakinan. Menghormati tidak selalu berarti ikut merayakan, dan toleransi tidak menuntut penghapusan batas aqidah.
Di tengah arus globalisasi yang menekan umat agar selalu menyesuaikan diri, sikap paling dewasa adalah tetap tenang dan berprinsip. Bukan dengan suara keras, bukan dengan caci maki, tetapi dengan kesadaran penuh bahwa iman memiliki garis yang tidak untuk dilanggar. Karena umat yang kuat bukanlah yang paling pandai meniru, melainkan yang tahu kapan harus berkata: ini bukan bagian dari keyakinanku. Wallahu a’lam bishowab.

