Jakarta, detiksatu.com || SHM dan SHGB tak berdaya ulah mafia tanah di duren sawit Tantang wibawa hukum. Dugaan praktik mafia tanah kembali mencuat dan kali ini terjadi di kawasan strategis Ibu Kota. Seorang pemilik lahan sah berinisial S melaporkan penguasaan tanah miliknya oleh pihak lain yang mengklaim kepemilikan tanpa dasar hukum yang jelas. Kasus ini menjadi sorotan karena objek sengketa telah memiliki Sertipikat Hak Milik (SHM) dan Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang sah dan terdaftar secara resmi di negara.
Laporan tersebut saat ini tengah ditangani Unit Harta Benda (Harda) I Polres Metro Jakarta Timur, setelah dilimpahkan dari Polda Metro Jaya, sebagaimana tercantum dalam Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP) Nomor: STTLP/B/8675/XII/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA. Objek tanah yang disengketakan berlokasi di Jalan Kolonel Sugiono Nomor 3, RT 03 RW 01, Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Berdasarkan dokumen kepemilikan yang dimiliki pelapor, lahan tersebut sebagian berstatus SHGB dan sebagian SHM, dengan batas-batas yang jelas serta tercatat dalam administrasi pertanahan negara.
Namun ironisnya, sertipikat resmi tersebut seolah tidak memiliki kekuatan. Saat pemilik hendak memanfaatkan lahannya sendiri, ia justru tidak dapat mengakses tanah tersebut karena telah dikuasai oleh pihak lain. Lahan itu disebut dijaga dan ditempati oleh orang-orang suruhan dari pihak yang mengklaim tanah, meski tidak mampu menunjukkan dasar hukum kepemilikan yang sah.
Kuasa hukum pemilik lahan, Christin Sukmawati, S.H., M.H., menegaskan bahwa kliennya adalah pemilik sah berdasarkan hukum dan dokumen negara yang tidak terbantahkan.
“Klien kami memiliki sertipikat resmi yang terdaftar. Namun faktanya, ia tidak bisa menguasai tanahnya sendiri. Ini sangat memprihatinkan dan menunjukkan bagaimana mafia tanah masih leluasa beroperasi,” ujar Christin kepada awak media.
Christin juga mendesak aparat penegak hukum agar bertindak tegas dan tidak ragu menangkap pihak-pihak yang diduga terlibat.
“Kami berharap pelaku pengrusakan, penyerobotan, serta pihak-pihak yang diduga menjadi bagian dari mafia tanah segera ditangkap dan diproses hukum. Kasus ini adalah ujian bagi wibawa hukum dan perlindungan hak milik warga negara,” tegasnya.
Di sisi lain, pengacara dari pihak yang mengklaim tanah tersebut, yang diketahui bernama Imalasari Eman, memilih bungkam saat dimintai keterangan.
“Saya punya hak untuk tidak menjawab,” ujarnya singkat sebelum meninggalkan lokasi.
Upaya pemilik lahan untuk menegaskan kepemilikan juga sempat dilakukan dengan pemasangan plang kepemilikan tanah di lokasi. Namun, plang tersebut dilaporkan dicabut secara paksa dan dirusak. Seorang pria bernama Matsani Saputra disebut sebagai pihak yang melakukan pencabutan dan perusakan tersebut. Saat dimintai keterangan oleh awak media, Matsani enggan berkomentar dengan alasan dilarang oleh kuasa hukumnya.
Fakta lain yang semakin memperkeruh keadaan terungkap pada Sabtu (27/09/2025). Lahan tersebut diketahui telah ditempati oleh pihak lain, bahkan telah berdiri usaha warung makan yang beroperasi di atas tanah sengketa. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai bagaimana lahan bersertifikat resmi dapat dimanfaatkan pihak lain tanpa izin pemilik sah.
Saat dikonfirmasi, pemilik warung mengaku hanya diminta untuk tinggal dan membuka usaha di lokasi tersebut oleh seseorang. Ia mengaku tidak mengetahui secara pasti status hukum tanah itu.
“Saya cuma diminta tinggal dan buka warung di sini,” ujarnya singkat.
Kasus ini kembali menelanjangi modus klasik mafia tanah, di mana lahan yang telah bersertifikat resmi dikuasai dengan cara-cara non-hukum, mulai dari penguasaan fisik, intimidasi, hingga pemanfaatan pihak ketiga. Fenomena ini sekaligus mempertanyakan efektivitas perlindungan negara terhadap pemilik tanah yang telah memenuhi seluruh ketentuan hukum.
Publik kini menanti langkah tegas aparat penegak hukum. Penanganan kasus ini dinilai akan menjadi tolok ukur keseriusan negara dalam memberantas mafia tanah dan memastikan bahwa SHM dan SHGB benar-benar memiliki kekuatan hukum, bukan sekadar dokumen tanpa daya di hadapan praktik ilegal yang terorganisir.
Red-Ervinna

