Jakarta,detiksatu.com --Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Publik Indonesia, Paman Nurlette menilai eksistensi Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang melaksanakan Tugas di Luar struktur organisasi kepolisian berpotensi merusak sistem hukum.
Menurut Nurlette berdasarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 telah melarang polisi aktif duduki jabatan sipil kecuali mundurkan diri atau pensiun. Oleh sebab itu, Peraturan Polri dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
"Putusan MK menghapus frasa "atau tidak penugasan dari Kapolri" dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebetulnya sudah menutup ruang peran ganda anggota Polri, kecuali mereka mau mundur atau pensiun. Jadi, Peraturan Polri Nomor 10 tahun 2025 berpotensi merusak ekosistem hukum dan bertentangan dengan UU Kepolisian dan Putusan MK", demikian pernyataan Paman Nurlette dalam keterangan tertulis, Sabtu (13/12/2025).
Nurlette menjelaskan Polri harus memahami putusan Mahkamah Konstitusi, yang sudah menyatakan frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" dalam Penjelasan UU Polri bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sehingga tidak perlu mengeluarkan peraturan yang menabrak norma hukum lain.
"Putusan MK menegaskan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Namun, Kapolri tidak memahami sifat dari putusan MK tersebut", tegas Nurlette.
Ia menambahkan, menurut Mahkamah Mahkamah, penjelasan dalam Pasal 28 ayat (3) memperluas makna pasal dan membuka celah bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil tanpa syarat pengunduran diri atau pensiun. Kondisi ini dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
"Kalau kita membaca pertimbangan MK, maka frasa tersebut tidak memperjelas norma yang diatur, bahkan mengaburkan substansi ketentuan "setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian,". Rumusan demikian berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum", ujar Nurlette.
Lebih lanjut Nurlette menyatakan Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding) sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam rumusan norma Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945. Putusan MK juga memiliki sifat erga omnes, yaitu berlaku bagi siapa saja termasuk institusi Kepolisian dan tidak hanya bagi pihak yang sedang berperkara atau sengketa.
"Perlu diketahui MK tidak mengenal adanya mekanisme banding atau kasasi seperti layaknya di MA. Oleh karena itu, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan oleh hakim di dalam ruang persidangan dan tidak ada lagi upaya hukum lain yang ditempuh", kata Nurlette.
Salah satu alasan putusan MK bersifat final dan mengikat, sebab wewenang Mahkamah Konstitusi tidak bisa didistribusikan kepada organ Negara atau peradilan lain, karena tidak memiliki cabang kekuasaan kehakiman seperti di MA. Hanya ada satu MK di Indonesia, yang berkedudukan di Jakarta.
"Kapolri harus mencabut peraturan yang telah ditekan dalam rangka menjaga marwah dan martabat MK, supaya tidak terkesan melakukan pembangkangan terhadap putusan MK", tutupnya.
Sumber: Paman nurlette

