Semarak Acara Temu Ilmiah Akhir Tahun INSISTS: Bincang Konsep Pendidikan Terbaik

Redaksi
Desember 07, 2025 | Desember 07, 2025 WIB Last Updated 2025-12-07T09:44:56Z
Jakarta,detiksatu.com  – Acara Temu Ilmiah Akhir Tahun yang dilaksanakan di markas Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (06/12) berlangsung meriah. Sekitar 100 orang hadir dalam diskusi yang menampilkan para pakar pendidikan itu.

Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Direktur Utama INSISTS Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. Dalam presentasinya yang bertajuk “Pendidikan Holistik Pondok Pesantren”, ia tidak hanya mendudukkan pesantren sebagai lembaga pendidikan, melainkan sebagai sebuah sistem peradaban mini.

Dengan menjadikan Pondok Modern Darussalam Gontor sebagai referensi utama (living model), ia menawarkan konsep pendidikan manusia seutuhnya (holistic education) yang jauh lebih orisinal dan integral dibandingkan konsep serupa dari Barat maupun Timur.

Prof. Hamid membuka wawasan dengan membandingkan konsep holistik global. Di Jepang, pendidikan holistik dimaknai dengan pelibatan fisik murid dalam aktivitas sekolah—seperti menyapu, bercocok tanam, dan seni—di luar jam akademik. Sementara di Barat, definisi holistik (seperti pandangan Miller dan Forbes) berfokus pada pengembangan intelektual, emosional, fisik, dan spiritual.

Namun, terdapat cacat epistemologis dalam konsep “spiritual” Barat. Spiritualitas di sana sering kali dipisahkan dari agama, terjebak pada aktivitas kontemplatif seperti yoga yang dianggap “tidak menghasilkan apa-apa” dalam tatanan amal sosial nyata. Sebaliknya, seorang profesor asing yang mengamati Gontor justru mengakui bahwa pesantren di Indonesia lebih holistik daripada Jepang. Mengapa? Karena di pesantren, spiritualitas itu mewujud nyata dalam perbuatan dan adab sehari-hari, bukan sekadar meditasi sunyi.


Merujuk pada model Gontor, Rektor Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Ponorogo itu, menegaskan, kurikulum adalah segala aktivitas yang dilihat, didengar, dan dirasakan santri selama 24 jam. Ini sejalan dengan konsep bahwa pendidikan dalam Islam bukan sekadar transfer of knowledge, melainkan ta’dib (penanaman adab).

Merujuk pada pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ibnu Qayyim, adab adalah inti agama. Maka, sains, matematika, dan keterampilan umum di pesantren tidak berdiri sendiri, melainkan diikat oleh worldview Islam. Di sinilah letak kuncinya: pikiran diisi dengan Ilmu (Syariah dan Sains), hati diisi dengan Iman dan Akidah serta Fisik /Motorik digerakkan oleh Amal dan Akhlak.

Sementara itu, Direktur Eksekutif INSISTS Dr. Henri Shalahuddin membuka wawasan dengan kegelisahan mendalam: semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, justru semakin rapuh bangunan sosialnya. Fenomena “semakin terpelajar, semakin takut menikah” menunjukkan bahwa pendidikan hari ini, alih-alih mendewasakan, justru “memperpanjang masa kanak-kanak”.

Ia memperlihatkan anomali yang mencolok. Angka Melek Huruf (AMH) meningkat tajam, namun “Angka Melek Pasangan” (kesiapan berumah tangga) justru rendah, ditandai dengan antrean gugatan cerai yang mengular. Lebih tragis lagi, di beberapa daerah seperti Kupang dan Ponorogo, angka penularan HIV/AIDS dan kehamilan di luar nikah justru menyasar kalangan pelajar terpelajar.

Dalam kacamata Islamic Worldview, ini adalah gejala akut dari kerusakan ilmu (corruption of knowledge). Pendidikan sekular hari ini telah membuang nilai sakral dari tubuh manusia. Maksiat “diwajarkan” dengan dalih HAM, Friends with Benefits (FWB), dan Otonomi Tubuh. Solusi yang ditawarkan pun bersifat teknis-ateistik: Sexual Consent (persetujuan seksual) dan pembagian alat kontrasepsi, seolah-olah zina itu boleh asalkan “suka sama suka” dan “aman”.


Akibatnya, lahirlah generasi yang cerdas otaknya namun buta hatinya. Henri menyebutnya sebagai budaya kemunafikan yang berujung pada kriminalitas. Pendidikan yang hanya mengejar keterampilan teknis (skill) tanpa penanaman adab hanya akan melahirkan koruptor yang terampil membocorkan uang negara lewat “Pusdiklat”. Mereka cerdas secara angka, tapi bodoh secara makna.

Akar masalahnya ada pada penyempitan makna ilmu. Hari ini, ilmu direduksi hanya menjadi “informasi” dan data empiris. Padahal, merujuk pada Imam Al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fil I’tiqad, ilmu seharusnya mengantarkan pada pengenalan akan Zat Yang Maha Tahu.

Henri menegaskan perlunya revolusi cara pandang. Ketika melihat alam semesta, kita tidak boleh hanya berhenti pada aspek fisik-empiris (geologi, astronomi), tetapi harus menembusnya hingga melihatnya sebagai Ciptaan Allah (khalqullah). Ketika membaca hadits, itu bukan sekadar teks sejarah, melainkan ta’rifat (pengenalan) dari Allah lewat lisan Nabi.

Tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan kemampuan al-furqan: kemampuan membedakan antara kebenaran (al-haqq) dan kepalsuan (al-batil). Budaya ilmu dalam Islam adalah budaya perlawanan terhadap sufastha’iyyah (kaum Sofis), yaitu orang-orang yang pandai bersilat lidah membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Jangan sampai kita mencetak ahli fisika yang tidak tahu mana yang benar (haqq) dan mana yang jahat (munkar).

Sementara itu, perjalanan intelektual Dr. Ugi Suharto bermula dari sebuah kegelisahan eksistensial pada 1984. Di tengah situasi pendidikan nasional yang melarang jilbab di sekolah negeri saat itu, ia merasakan kebingungan mendalam terhadap konsep pendidikan di Indonesia. Kegelisahan ini menuntunnya pada pertemuan takdir dengan Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang memberikan jawaban fundamental: Pendidikan Islam bukan sekadar sekolah, melainkan at-ta’dib.

Dalam wacana modern, “holistik” sering diartikan sekadar “menyeluruh” (whole). Namun, Prof. Al-Attas membawa pemaknaan ini ke level ontologis yang lebih tinggi. Holistik dalam Islam merujuk pada konsep kamil (sempurna) atau kulli (universal). Tujuannya adalah mencetak al-insan al-kamil (manusia sempurna) dengan Rasulullah Saw sebagai prototipe utamanya.

Secara etimologis, dari kata kulli (universal) inilah lahir istilah kulliyyah (fakultas/kampus), yang kemudian diserap Barat menjadi college. Sejatinya, universitas (kulliyyah) adalah tempat mencetak manusia yang berpikir universal, bukan manusia yang terkotak-kotak dalam spesialisasi sempit (partikular) hingga kehilangan perspektif besarnya. Pendidikan holistik adalah pendidikan yang mengembalikan manusia pada fitrah universalnya melalui Adab.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) itu menegaskan, adab bukan sekadar etiket, tata krama, atau sopan santun permukaan. Adab adalah the absorption of adab into the self (penyerapan adab ke dalam diri). Struktur adab dibangun di atas dua pilar yang tak terpisahkan:

▫ Recognition (Pengenalan): Aspek kognitif/ilmu; mengetahui kebenaran dan tempat segala sesuatu.
▫ Acknowledgement (Pengakuan): Aspek afektif/amal; ketundukan dan tindakan yang sesuai dengan pengetahuan tersebut.

Ketimpangan pada dua pilar ini melahirkan dua penyakit utama:

▫ Recognition without Acknowledgement is Arrogance (Tahu tapi tidak mau tunduk adalah Kesombongan). Contoh utamanya (par excellence) adalah Iblis. Iblis tahu Tuhan itu Allah, tapi menolak sujud. Inilah puncak dari the loss of adab (hilangnya adab).
▫ Acknowledgement without Recognition is Ignorance (Tunduk tapi tidak tahu adalah Kebodohan). Ugi mencontohkan peristiwa Nabi Adam a.s. sebelum diangkat menjadi Nabi, ketika tertipu oleh Iblis karena ketidaktahuan akan hakikat pohon tersebut, meski niatnya mungkin baik (ingin kekal).

Maka, pendidikan holistik adalah proses menanamkan ilmu yang benar (pengenalan) agar melahirkan amal yang tepat (pengakuan).

Dalam lanskap pendidikan nasional yang sering kali “latah” mengikuti standar Barat, Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Dr. Adian Husaini hadir dengan tawaran gagasan yang radikal (mengakar): Desain Pondok Pesantren Terbaik.

Ia memulai dengan meluruskan sanad (garis keturunan) institusi ini. Pesantren di Indonesia bukanlah sekadar warisan budaya lokal, melainkan manifestasi dari tradisi Ahlussuffah di zaman Nabi—sekelompok sahabat yang mendedikasikan hidupnya tinggal di serambi Masjid Nabawi untuk menyerap ilmu langsung dari Rasulullah Saw.

Jika rukun shalat ditinggalkan maka shalat batal, demikian pula pesantren. Pendiri sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren At-Taqwa Depok itu merumuskan Enam Rukun Pesantren yang menjadi nyawa institusi ini. Tanpa keenam hal ini, sebuah lembaga mungkin hanya “hotel syariah” atau “sekolah berasrama”, bukan pesantren.

Keteladanan (Qudwah): Guru bukan sekadar pengajar, tapi pewaris Nabi. Ruh pendidikan adalah sohbah (kebersamaan) antara guru dan murid, sebagaimana Nabi bersama sahabat.

Tafaqquh Fiddin: Fokus utama adalah pendalaman ilmu agama. Ironis jika santri masuk perguruan tinggi umum, ilmu agamanya malah mandek atau hilang.
Jiwa Dakwah & Jihad: Menanamkan visi hidup bahwa ilmu adalah untuk diperjuangkan, bukan sekadar untuk mencari kerja.

Kemandirian: Melatih mental istighna (merasa cukup dengan Allah) dan tidak bergantung pada makhluk/bantuan asing.
Pemahaman Kontemporer: Santri harus paham peta zaman (fiqh al-waqi’), agar tidak gagap menghadapi tantangan modernitas (seperti paham sekularisme, liberalisme).

Penanaman Adab dan Akhlak: Inilah buah dari ilmu. Tanpa adab, ilmu menjadi kering.

Adian memberikan kritik pedas namun penuh kasih terhadap kondisi guru hari ini. Dalam pandangan alam sekular, guru dinilai dengan angka (gaji). Akibatnya, fakultas keguruan (tarbiyah) sering kali bukan pilihan utama “anak-anak terbaik” bangsa. Maka lahirlah Guru yang tidak bermutu, yang disebut Laa Yamuutu (hidup segan mati tak mau).

Dalam Islam, konsep gaji diganti dengan mukafaah (pencukupan). Ini adalah paradigma iman. Jika gaji dinaikkan tapi keberkahan dicabut, ia tidak akan pernah cukup. Sebaliknya, guru memiliki dua jenis honor: Honor Fisik (materi) dan Honor Metafisik (pahala/doa).

Adian mengingatkan logika langit: “Makin kecil gajinya (sementara ia ikhlas), doanya makin makbul karena posisinya ‘terzalimi’ oleh sistem.” Ini bukan pembenaran untuk menggaji kecil, tapi penguatan mental bagi pendidik bahwa nilai mereka tidak ditentukan oleh nominal rupiah.

Kritik Standar “Terbaik”: Finlandia vs At-Taqwa
Dunia memuja Finlandia sebagai kiblat pendidikan terbaik. Adian menantang metrik tersebut dengan Worldview Islam. Bagaimana bisa disebut “terbaik” jika 80% penduduknya ateis dan tidak mengenal Tuhannya? Itu adalah kesuksesan semu (istidraj).

Sebaliknya, kampus seperti At-Taqwa (Depok) berani mengklaim diri “Terbaik”. Mengapa? Karena standar “baik” dalam Islam adalah ketaatan.

Pertanyaan rektor di kampus sekular (seperti UI) mungkin tentang IPK atau jurnal internasional, tapi adakah Rektor yang bertanya: “Apakah mahasiswa saya shalat Subuh?” Inilah missing link dalam pendidikan kita. Indonesia mungkin korupsinya masih ada dan hutannya ditebang, tapi selama tauhid masih ada, peluang masuk surga masih terbuka. Ini optimisme teologis yang tidak dimiliki sistem sekular.

Di penghujung, Adian membongkar ilusi kesuksesan karier wanita. Lulusan pesantren yang menjadi Ibu Rumah Tangga atau Guru Ngaji di kampung sering dianggap “gagal” oleh standar sosial materialis. Padahal, dalam Islam, itu adalah posisi strategis. Ibu adalah Madrasatul Ula (sekolah pertama). Menjadi ibu yang shalihah yang mencetak mujahid dakwah adalah kesuksesan hakiki (falah). Jangan sampai kita silau dengan karier publik tapi rumah tangga (basis peradaban) hancur.

Pesantren terbaik adalah yang berani berbeda: tidak minder dengan standar Barat, mandiri dalam visi, dan teguh mencetak kader yang beradab, bukan sekadar sekrup industri. []

(Redaksi)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Semarak Acara Temu Ilmiah Akhir Tahun INSISTS: Bincang Konsep Pendidikan Terbaik

Trending Now

Iklan

iklan