Jateng __Di tengah bencana banjir dan lumpur Sumatera yang menelan korban 1.453 jiwa meninggal, jutaan terdampak, kerugian *Rp 68 triliun* —sebuah suara tenang dari Yogyakarta menyelinap seperti angin sejuk: *Sri Sultan Hamengku Buwono X*
. Beliau tak banyak bicara di televisi nasional, tak perlu pidato bombastis, tapi langsung perintahkan semua perguruan tinggi di DIY untuk mendata mahasiswa asal Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang keluarganya terdampak bencana banjir bandang.
Agar mendapatkan keringanan UKT, bantuan biaya hidup, bahkan pembebasan SPP sampai lulus bagi yang orang tuanya meninggal atau kehilangan segalanya. *UGM, UNY, UII, UMY, UPN* —semua bergerak cepat. Pemda DIY salurkan Rp 3 miliar tunai plus logistik medis. Ini bukan pencitraan. Ini tradisi keraton yang hidup sejak *gempa Aceh 2004, tsunami Yogyakarta 2006* , hingga *longsor Padang 2009.*
Ini yang namanya kepemimpinan sejati. Bukan menunggu status bencana nasional yang sampai hari ini (18 Desember 2025) masih belum ditetapkan oleh pemerintah pusat. Bukan menunggu rapat terbatas di Hambalang atau sidang kabinet yang hasilnya cuma _*“monitor terus”.*_
Bukan menunggu tongkat nabi Musa yang hasilnya omon-omon. Berempati pada bencana diluar negeri, di rumah sendiri nir empati. Sultan tak butuh label nasional dan tak butuh pengakuan internasional untuk bertindak. Beliau langsung melihat akar masalah: anak-anak korban bencana bisa putus kuliah karena orang tua tak mampu lagi bayar kos dan makan. Maka beliau memotong birokrasi, potong omong kosong, dan langsung bantu. Gak banyak bacot!
Sementara itu, di Jakarta, Mensos dan Menko PMK masih terus berkelit: “Penanganan sudah bertaraf nasional.” Prabowo bilang “situasi terkendali”. Terkendali apanya? Yang 160 ton bantuan numpuk di Halim? Yang jalan provinsi masih putus di 300 titik? Yang warga Nagari Palembayan masih rebutan nasi bungkus? Warga Aceh berjalan naik turun gunung puluhan kilometer mencari bantuan beras, Yang Gubernur Sumut (si Bobby) menantu dinasti Solo justru memotong dana darurat 88% demi efisiensi?
Sultan tak perlu gelar pemimpin untuk bertindak sebagaimana seorang pemimpin. Beliau tak perlu koalisi raksasa untuk peduli rakyat kecil. Beliau tak perlu utang budi pemilu untuk bergerak cepat. Yang beliau lakukan adalah memimpin dengan hati nurani, kebijaksanaan, dan tanggung jawab moral—sesuatu yang seharusnya jadi standar minimal bagi setiap pemimpin negeri ini.
Inilah bedanya pemimpin sejati dengan pemimpin yang terjebak _drama istana_ , reshuffle, dan bayang-bayang geng Solo, serta utang budi pemilu. Sultan tak perlu status bencana nasional untuk menganggap penderitaan rakyat Sumatera sebagai bencana bangsanya sendiri. Beliau langsung tanggap itu bencana kemanusiaan yang harus ditangani secepatnya, tanpa menunggu stempel birokrasi.
Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah Raja Jawa sejati. Bukan karena mahkota atau takhta, tapi karena beliau masih ingat arti kata “memimpin”, yang berarti melindungi, mengayomi, meringankan beban, dan memberi harapan—tanpa banyak kata, tanpa banyak syarat, dan tanpa banyak gimmick, drama pencitraan. ✍️

