“Jangan pura-pura tidak tahu, Pak Bupati! Anak-anak SD di Pulau Kera sudah menangis histeris karena kelakuan bapak. Ini bukan isu kecil. Ini soal masa depan dan kemanusiaan!” tegas Vino dalam pernyataan di media 8/06.
Menurutnya, relokasi yang dilakukan pemerintah daerah penuh kejanggalan, tanpa persetujuan masyarakat, dan jelas menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan. “Kebijakan ini bukan solusi, ini pengusiran berkedok pembangunan. Dan yang jadi korban pertama adalah anak-anak!” lanjutnya.
Pulau Kera: Dari Rumah Nelayan Jadi Korban Kepentingan?
Pulau Kera telah menjadi rumah bagi ratusan warga nelayan selama puluhan tahun. Mereka hidup dari laut, dari generasi ke generasi. Namun kini, rumah itu seolah menjadi "tanah rebutan" dalam proyek relokasi yang disebut-sebut berkaitan erat dengan rencana pengembangan pariwisata elit di kawasan pesisir Kupang.
“Karena mereka miskin dan tinggal di pulau kecil, mereka bisa diusir sesuka hati? Ini bentuk perampasan hak, bukan pembangunan!” tegas Vino.
FMN menduga kuat ada kepentingan investor di balik langkah relokasi ini. Pemerintah dinilai menggunakan dalih “penataan wilayah” untuk mengusir warga demi memuluskan proyek-proyek eksklusif yang tidak melibatkan rakyat.
“Kalau Bupati Yakin Benar, Debat Aja Sama Saya di Depan Publik!”
Ketua FMN itu tak main-main. Ia menantang langsung Bupati Kupang untuk tidak hanya bersembunyi di balik konferensi pers dan dokumen kebijakan, melainkan muncul dan bicara langsung di depan publik.
“Kalau bapak merasa ini semua demi kebaikan, ayo! Kita debat terbuka. Hadirkan rakyat, hadirkan media. Jangan hanya kirim perintah dari ruang ber-AC. Rakyat berhak tahu alasan sesungguhnya,” kata Vino.
Hingga kini, lanjutnya, tak ada penjelasan rinci soal status lahan, lokasi pengganti, atau jaminan kehidupan setelah relokasi. Yang ada hanya kecemasan, kebingungan, dan ketakutan—terutama di kalangan anak-anak.
Tangisan Anak Jadi Cermin Luka Kolektif
“Seorang anak SD menangis sambil memeluk ibunya, bertanya: ‘Kenapa kami harus pergi? Salah kami apa?’ Itu bukan cerita fiksi, itu kenyataan yang bapak-bapak pejabat harus lihat langsung!” ujar Vino, dengan suara bergetar menahan amarah.
FMN menyebut trauma sosial seperti ini akan membekas seumur hidup. Pemerintah bukan hanya gagal melindungi warganya, tapi juga menambah luka bagi generasi muda yang kehilangan rasa aman dan tanah tumpah darahnya.
Tuntutan: Hentikan Relokasi, Buka Dialog!
FMN Kupang menyerukan agar proses relokasi Pulau Kera dihentikan segera, sebelum kerusakan sosial semakin parah. Mereka menuntut adanya transparansi, partisipasi rakyat, dan pendekatan berbasis hak, bukan semata logika proyek.
“Rakyat tidak anti pembangunan. Tapi kami muak dijadikan korban dari kebijakan yang tidak pernah melibatkan kami. Jangan ulangi sejarah kelam penggusuran yang selalu menyisakan luka. Jika Bupati tidak mau buka dialog, publik berhak mempertanyakan: pemimpin macam apa yang takut bicara dengan rakyatnya sendiri?” pungkas Vino tajam.
Redaksi masih menunggu respons resmi dari Pemerintah Kabupaten Kupang atas kritik tajam ini. Karena dalam negara demokrasi, pemimpin tidak hanya diwajibkan mendengar, tapi juga menjawab.*
Reporter: djohanes bentah