Jawabannya tentu saja sudah. Merdeka dari penjajahan Portugis, Belanda, Jepang dan Sekutu. Tapi merdeka 100 persen, sesuai dengan pembukaan UUD 1945 belum. Penjajahan dari bangsa asing, memang telah dilenyapkan. Penjajahan dari bangsa sendiri, dari para pemimpin yang zalim atau curang, masih berlangsung. Cita-cita kemerdekaan untuk menuju masyarakat adil dan makmur masih jauh.
Kekayaan negara masih banyak dinikmati para pejabat. Jumlah orang miskin masih 24 juta (menurut BPS), masih 171 juta menurut Bank Dunia.
Dalam bukunya Madilog, tokoh kemerdekaan Tan Malaka menulis, “Merdeka 100% ialah kemerdekaan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan bagi seluruh rakyat, bukan hanya segolongan.”
Tokoh islam Mohammad Natsir menegaskan, “Kemerdekaan tanpa moral akan melahirkan anarki. Kemerdekaan yang benar ialah kemerdekaan yang dipimpin oleh nilai-nilai agama.”
Sedangkan tokoh proklamasi Mohammad Hatta menyatakan kemerdekaan hanyalah pintu untuk membangun masyarakat baru yang adil, makmur, dan sejahtera.
Kini para pejabat mulai dari pusat sampai daerah, banyak yang tidak serius mengurus rakyatnya. Mereka banyak yang kongkalikong dengan pengusaha untuk aji mumpung ketika menjabat. Mereka kebanyakan menumpuk kekayaan untuk keluarga dan partainya. Sementara masyarakat di daerahnya, kemakmurannya tidak diperhatikan sungguh-sungguh.
Maka jangan heran banyak kepala daerah atau anggota DPRD (dan DPR) yang terjerat KPK. Sejak 2004 sampai 2023, kepala daerah yang ditangkap adalah 161 wali kota/bupati dan 24 gubernur. Sedangkan anggota DPR/DPRD yang ditangkap KPK sebanyak 385 orang (antara tahun 2004 hingga 2024).
Bukan hanya kepala daerah, presiden juga ‘tidak serius’ dalam mengurus rakyatnya. Presiden masih mementingkan partai dan orang-orang terdekatnya dalam mengelola keuangan negara.
Maka melihat kondisi riil masyarakat kita saat ini, tujuan kemerdekaan masih jauh panggang dari api.
Herannya para pejabat kita sekarang membuat peringatan kemerdekaan dengan simbol-simbol untuk menutupi ‘akhlaknya yang buruk’ dalam mengatur negara atau daerahnya. Seperti pemasangan bendera sejak 1 Agustus, menyanyi Indonesia Raya tiap jam 10 pagi dan lain-lainnya.
Nasionalisme itu bukan pasang bendera atau menyanyikan lagu Indonesia Raya tiap hari. Nasionalisme itu adalah bagaimana upaya seluruh masyarakat Indonesia, terutama para pemimpinnya, untuk bersungguh-sungguh memakmurkan rakyatnya. Nasionalisme adalah ketika para pemimpin lebih mendahulukan kepentingan rakyat daripada pribadinya/keluarga/partainya.
Makanya, tokoh besar Islam Mohammad Natsir menegaskan, “Kemerdekaan tanpa moral akan melahirkan anarki. Kemerdekaan yang benar ialah kemerdekaan yang dipimpin oleh nilai-nilai agama.
Pemimpin yang tidak memperdulikan agama, maka ia akan menuruti hawa nafsunya. Ia akan memperkaya keluarga, partai dan orang-orang terdekatnya. Rakyat yang jauh dari pandangan matanya, hanya mendapat sembako atau makan bergizi gratis.
Kita bisa melihat dalam proses pemilu 2024 yang lalu. Bagaimana pemimpin yang peduli terhadap agama, dikalahkan dengan curang dalam pemilu. Para pejabat negara dan konglomerat hitam ramai-ramai menjegalnya dengan guyuran bansos (triliunan) di berbagai daerah. Mereka berprinsip, yang penting menang meski curang.
Memang di negeri ini selalu bertarung antara nasionalisme Islam dan nasionalisme sekuler. Hanya BJ Habibie yang dari nasionalisme Islam, berhasil membuat bangsa ini menuju keadilan dan kemakmuran. Presiden-presiden lain, dari Soekarno hingga Jokowi-Prabowo adalah orang-orang yang berfaham nasionalisme sekuler. Mereka gagal memakmurkan bangsa ini.
Para pemimpin itu masih takjub dengan bangunan-bangunan megah di Amerika dan China. Mereka lupa bahwa membangun bangsa, bukan membangun gedung atau sarana dan prasarana. Membangun bangsa yang terpenting adalah membangun manusianya. Bagaimana mengupayakan dengan sungguh-sungguh agar manusia-manusia di bangsa itu menjadi cerdas, shalih, kreatif dan berakhlak mulia. Bila pembangunan manusianya berhasil, maka sarana-sarana fisik lainnya akan terbangun dengan sendirinya.
Bangsa Amerika tidak bisa ditiru. Karena bangsa ini para pemimpinnya berakhlak buruk. Bagaimana para pemimpinnya terus mendukung Israel yang kini membunuh lebih dari 62.000 orang Muslim Palestina. Bangsa China juga tidak bisa ditiru. Karena bangsa ini meniadakan Tuhan dan punya ‘budaya yang buruk’ (dalam film-film China tergambar bagaimana mereka terbiasa dengan pelacuran, judi dan minuman keras).
Prabowo harusnya sadar bahwa bangsa ini bisa menjadi bangsa besar untuk bersaing dengan Chinadan Amerika. Tapi nampaknya ia terlalu tua untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Bangsa ini harus memilih pemimpin yang lebih muda untuk membawa bangsa ini menjadi teladan bagi dunia. Sayang Prabowo dan Partai Gerindra masih terus ingin memimpin Indonesia lagi 2029-2034.
Bila Prabowo maju lagi tahun 2029 nanti, bangsa ini nampaknya terus akan menjadi bangsa yang setengah merdeka. Bukan bangsa yang 100 persen merdeka. Prabowo harusnya tahu diri dan menyerahkan kepemimpinan nanti kepada yang lebih muda, yang lebih enerjik dan tahu isi hati mayoritas bangsa Indonesia. Allahu Akbar, merdeka. Wallahu azizun hakim. []