Advertisement

Advertisement

Mahasiswa Palestina di Gaza yang diterima di universitas top Inggris Kini Terdampar Akibat Tetidakpedulian Politik.

Redaksi
Agustus 07, 2025 | Agustus 07, 2025 WIB Last Updated 2025-08-07T14:09:41Z
Inggris,detiksatu.com|| Logain Hamdan, Mahasiswa teknik komputer, penulis lepas, dan pemimpin komunitas dari Gaza

Pada September 2025, seharusnya aku memulai hidup baru. Bukan di Gaza yang dilanda perang, melainkan di ruang kuliah di Inggris. Setelah hampir setahun penuh perjuangan tanpa henti—mengisi aplikasi, mengikuti ujian, dan melintasi bom, pengungsian, dan wilayah gelap hanya untuk bisa mendaftar—aku akhirnya diterima. Bukan hanya sekali, tapi lima kali: di Universitas Glasgow, Edinburgh, Birmingham, Exeter, dan Ulster. Aku bahkan sudah mendapatkan pendanaan.

Namun alih-alih menaiki pesawat, aku masih terjebak di Gaza—tempat di mana perang telah meratakan rumah-rumah, mencuri masa depan, dan memenjarakan impian. Bom belum berhenti, tapi semangat kami juga belum padam. Tak seperti pelajar dari zona perang lainnya, kami, mahasiswa Palestina Gaza, tidak diberi jalan keluar.

Banyak negara seperti Prancis, Irlandia, dan Italia telah berhasil mengevakuasi mahasiswa mereka melalui upaya pemerintah dan jalur kemanusiaan, seperti lewat Komite Palang Merah Internasional (ICRC). Negara-negara itu menunjukkan bahwa mahasiswa mereka penting. Inggris tidak. Meski memiliki reputasi global sebagai pembela keadilan dan pendidikan, Inggris tetap diam.

Ini bukan hanya kisahku. Ini adalah jeritan bersama dari puluhan mahasiswa Gaza yang telah diterima di universitas top Inggris, baik dengan beasiswa maupun dana pribadi, yang selamat dari bom dan pengepungan hanya untuk ditinggalkan di perbatasan terakhir: tak ada pusat visa di Gaza untuk pengambilan sidik jari, dan tak ada jalan keluar tanpa evakuasi.

Setelah perang pecah pada akhir 2023, aku terpaksa menghentikan studi daringku karena kelas dan biayanya tak lagi bisa diakses di bawah pengepungan. Tapi aku tidak menyerah pada pendidikan. Aku mulai mendaftar ke universitas Inggris lewat UCAS, proses yang membutuhkan esai personal yang ditulis dengan cermat, surat rekomendasi, dokumen rinci, dan berminggu-minggu menunggu. 


Aku mengirim semua dari internet pinjaman di rumah kerabat atau dari ruang kerja berbayar yang kutempuh dengan berjalan kaki, di bawah terik matahari atau hujan deras, tanpa transportasi. Ada hari-hari ketika aku duduk di kursi plastik di pinggir jalan, mengirim email ke universitas dan meneliti syarat masuk sambil misil meluncur di atas kepala.



Ketika universitas meminta bukti kemampuan bahasa Inggris, tak ada pusat di Gaza yang bisa membantuku, bahkan sekadar untuk mendaftar. Sebagian besar universitas Inggris tidak menerima Duolingo—satu-satunya tes yang bisa kuakses dan kuperoleh secara daring. Jadi aku berusaha sekuat tenaga dan mendaftar tes yang disetujui universitas. Siang hari aku bekerja lepas sebagai programmer mobile untuk menyambung hidup, malam hari aku belajar bahasa Inggris, sering kali hanya ditemani cahaya senter dari ponsel.

Beberapa tes mensyaratkan pengawasan kamera dan mikrofon secara terus menerus—sangat sulit di zona perang di mana pengungsian, kebisingan, dan internet yang tidak stabil membuat konsentrasi nyaris mustahil. Satu kesalahan kecil bisa membatalkan seluruh ujian. Baterai laptopku sering mati sebelum ujian selesai. Tapi aku bertahan dan berhasil.

Keluargaku juga haus akan pendidikan. Kakakku adalah insinyur mesin yang memenangkan beasiswa kompetitif Qaddumi tahun lalu untuk program S2 di Universitas Liverpool pada Januari 2025, tapi harus ditunda. Adikku diterima dalam program kedokteran yang didanai pemerintah Turki di Universitas Samsun, juga tertunda karena perang. Kami bertiga, dengan mimpi dan tekad yang sama, kini terjebak di Gaza. Kami sudah melakukan semuanya dengan benar. Jadi, mengapa kami ditinggalkan?


Setelah perjuangan panjang, aku akhirnya lulus ujian dan berhasil mengubah tawaran bersyarat dari universitas menjadi tawaran tanpa syarat. Aku juga telah mendapatkan dana untuk menutupi setidaknya biaya kuliah dan hidup selama tahun pertama. Bahkan ada yayasan swasta yang siap membantu, dengan syarat aku bisa mengajukan visa.

Namun saat mencoba mengajukan visa, aku menemui jalan buntu: pengambilan sidik jari biometrik. Inggris tidak punya pusat visa di Gaza. Untuk menyelesaikan proses ini, aku harus menyeberangi perbatasan yang tertutup kecuali aku masuk dalam daftar evakuasi.


 Ada lebih dari 100 mahasiswa Gaza yang diterima di universitas Inggris, 48 di antaranya dengan beasiswa penuh, menghadapi kebuntuan yang sama. Banyak dari kami mulai kehabisan waktu. Di Inggris, lembaga seperti Gaza Scholarship Initiative (GSI) telah berupaya menyuarakan nasib kami kepada pemerintah karena mereka percaya pada kami.

Sebagian dari kami membawa tawaran dari tahun 2024 setelah universitas bersedia menunda penerimaan. Namun sebagian besar universitas tidak akan memberi keringanan lagi. Bagi kami semua, 2025 adalah kesempatan terakhir.

Negara Lain Bertindak

Irlandia berkoordinasi langsung dengan Israel untuk mengevakuasi mahasiswanya lewat perbatasan Karem Abu Salem (dikenal sebagai Kerem Shalom oleh Israel). 


Prancis dan Italia melakukan hal serupa. Para mahasiswa dipindahkan ke negara tetangga untuk menyelesaikan pemrosesan visa dan memulai studi mereka. 


Mereka paham taruhannya: bukan hanya akademik, tapi juga kemanusiaan. Pemerintah mereka bekerja sama dengan lembaga kemanusiaan untuk mengeluarkan para mahasiswa, kemudian memfasilitasi visa dan permohonan suaka.

Inggris belum melakukan hal serupa, meskipun telah ada banyak permohonan dari mahasiswa, universitas, kelompok advokasi seperti GSI, dan anggota parlemen. Kami telah menulis surat kepada anggota parlemen, pimpinan universitas, dan British Council. Bahkan pemimpin universitas yang mendukung kami tak bisa berbuat banyak kecuali pemerintah Inggris turun tangan.

Yang paling menyakitkan dari diamnya pemerintah adalah karena ini bukan karena ketidakmampuan. Inggris bisa bertindak, tapi memilih untuk tidak. Jika pemerintah mau berkoordinasi dengan otoritas Israel dan lembaga seperti ICRC, para mahasiswa bisa dievakuasi lewat Kerem Shalom ke Mesir atau Yordania, tempat visa bisa diproses dan perjalanan bisa dilanjutkan.


Ini bukan dugaan. Ini persis seperti yang telah dilakukan negara demokratis lain. Bedanya? Mereka cukup peduli untuk mencoba.

Apa arti semua ini tentang masa depan siapa yang dianggap penting?

Inggris selama puluhan tahun telah berinvestasi dalam pendidikan internasional, menawarkan beasiswa bergengsi seperti Chevening dan Commonwealth. Inggris menjunjung tinggi pembelajaran, kesempatan, dan menjalin banyak kemitraan global. Tapi ketika menyangkut mahasiswa Gaza—yang justru mewakili semangat itu—kami dilupakan. Pesan apa yang disampaikan? Apakah kelangsungan hidup dan masa depan kami tak sepenting itu? Apakah kami tak terlihat oleh sistem yang telah menerima kami di atas kertas?


Aku masih percaya pada pendidikan Inggris. Aku terinspirasi oleh para profesornya, tertantang oleh ketatnya sistem pendidikannya, dan tertarik pada keberagaman serta nilai-nilainya. Aku telah memperjuangkan tempatku di sana. Aku berharap, bukan hanya untuk diriku tapi untuk teman-temanku juga, agar pemerintah Inggris mengingat warisannya—dan memilih untuk bertindak.

Karena jika bukan sekarang, kapan lagi? []
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Mahasiswa Palestina di Gaza yang diterima di universitas top Inggris Kini Terdampar Akibat Tetidakpedulian Politik.

Trending Now