Perang Melawan Narkoba di Brasil: Antara Hukum, Kemanusiaan, dan Masa Depan Generasi Muda

Redaksi
Oktober 31, 2025 | Oktober 31, 2025 WIB Last Updated 2025-10-31T02:04:48Z
Oleh: Novita Sari Yahya

Latar Belakang: Operasi yang Mengguncang Dunia

Brasil kembali menjadi sorotan dunia setelah operasi besar-besaran melawan sindikat narkoba di Rio de Janeiro menewaskan sedikitnya 132 orang, termasuk 4 polisi. Operasi yang dilancarkan pada 28 Oktober 2025 ini menargetkan jaringan Comando Vermelho (CV) — salah satu kartel narkoba terbesar di Amerika Latin.

Pemerintah menyebutnya sebagai langkah tegas untuk menegakkan hukum dan mengembalikan keamanan publik. Namun, berbagai organisasi hak asasi manusia menilai operasi itu sebagai tindakan represif yang berisiko menormalisasi kekerasan negara. Presiden Luiz Inácio Lula da Silva mengaku terkejut dengan jumlah korban dan menegaskan bahwa “negara tidak boleh kalah dari kejahatan,” seraya menekankan pentingnya solusi yang juga memanusiakan warga miskin di favela.

Fenomena ini menggambarkan dilema klasik antara penegakan hukum dan perlindungan kemanusiaan. Ketika aparat berusaha memerangi kartel dengan kekuatan militer, warga sipil di wilayah kumuh justru menjadi korban paling rentan.

Krisis Narkoba di Brasil: Fakta dan Realitas Sosial

Brasil merupakan salah satu pusat produksi dan transit utama kokain di dunia, terutama menuju Eropa dan Afrika Barat.
Menurut UNODC (2024) dalam World Drug Report 2024, Amerika Latin mengalami peningkatan signifikan dalam produksi dan perdagangan narkotika global. Meskipun angka pasti pengguna narkoba di Brasil tidak disebutkan, estimasi nasional menunjukkan jutaan orang terlibat dalam rantai penyalahgunaan dan perdagangan zat terlarang.

Dua geng besar, Primeiro Comando da Capital (PCC) dan Comando Vermelho (CV), mendominasi jaringan perdagangan dan ekonomi ilegal di Brasil.
Laporan The Economist (2024) mengonfirmasi bahwa PCC bahkan mencoba memengaruhi politik lokal melalui pendanaan terhadap politisi di São Paulo, menunjukkan bagaimana kejahatan terorganisasi telah merembes ke dalam sistem politik.

Selain perdagangan narkoba, geng-geng tersebut juga berperan sebagai “negara bayangan” di wilayah miskin. Mereka memungut pajak, mengatur keamanan, bahkan menyediakan bantuan sosial. Dalam kondisi negara yang absen, sebagian masyarakat justru memandang geng sebagai pelindung.

Akar Masalah: Ketimpangan, Korupsi, dan Kehadiran Negara

Pertumbuhan geng narkoba tidak dapat dilepaskan dari ketimpangan ekonomi dan sosial yang ekstrem.
Di banyak favela, anak muda hidup tanpa akses pendidikan dan pekerjaan layak. Dalam situasi seperti ini, tawaran geng berupa uang, status, dan rasa aman menjadi sangat menggoda.

Penelitian National Defense University Press (2019) menjelaskan bahwa PCC merekrut anak muda melalui kegiatan sosial dan media digital. Mereka dimulai sebagai kurir, lalu dipromosikan menjadi anggota tetap berdasarkan loyalitas dan keberanian.

Kehadiran negara yang lemah memperburuk keadaan. Geng-geng ini mengisi kekosongan peran pemerintah dengan membentuk sistem ekonomi dan hukum sendiri. Akibatnya, negara kehilangan legitimasi di wilayah-wilayah tersebut.

Masalah narkoba di Brasil dengan demikian bukan semata kriminalitas, melainkan gejala sosial dari ketidakadilan struktural: kemiskinan, pendidikan rendah, dan korupsi politik yang menumpulkan fungsi negara.

Dilema Brasil: Menegakkan Hukum vs HAM

Operasi militer di Rio memperlihatkan dilema berat bagi pemerintah: bagaimana menegakkan hukum tanpa melanggar hak asasi manusia.
Laporan Human Rights Watch (2025) memperingatkan bahwa kekerasan negara dapat menciptakan siklus balas dendam yang memperkuat geng-geng baru.

Presiden Lula mendorong strategi baru: memperkuat pendidikan, layanan sosial, dan rehabilitasi bagi pengguna. Ia menegaskan bahwa “perang terhadap narkoba tidak bisa dimenangkan dengan tindakan tegas operasi, tetapi dengan kesempatan hidup yang lebih baik.”

Namun, implementasi kebijakan ini tidak mudah karena jaringan kriminal telah berakar kuat di struktur sosial dan ekonomi lokal.

Pelajaran untuk Indonesia

Situasi Brasil menjadi cermin bagi Indonesia.
Menurut data BNN, jumlah penyalahguna narkotika di Indonesia mencapai 3,33 juta orang usia 15–64 tahun. Dari jumlah itu, 312.000 di antaranya adalah remaja. BNN menargetkan penurunan prevalensi menjadi 1,7% pada 2025.

Namun, seperti Brasil, Indonesia menghadapi tantangan besar. Laporan media bahwa dua faktor utama kerentanan: pasar narkoba domestik yang luas dan lemahnya pengawasan di laut.

Perang terhadap narkoba di Indonesia harus menempuh jalur keseimbangan antara penegakan hukum dan pendekatan sosial.
Strategi yang hanya mengandalkan penegakan hukum dengan tegas melalui operasi anti-narkoba berisiko mengulangi kesalahan seperti Brasil: menciptakan ketakutan tanpa solusi. Fokus pada pendidikan, rehabilitasi, dan pemberdayaan ekonomi perlu menjadi inti kebijakan agar generasi muda tidak menjadi korban sistemik perdagangan narkoba.

Solusi berupa program pendampingan tenaga kesehatan dalam rangka resilient and responsive health system.

Pendampingan individu keluarga, di mana 1000 sampai 2000 individu didampingi oleh satu petugas kesehatan atau nakes yang datang ke rumah penduduk untuk pendataan, edukasi, dan pendampingan sosial merupakan cara efektif pada kasus sosial dan keterlibatan kriminal yang menyasar generasi muda Indonesia. Bagaimana pendapat masyarakat? Ayo kita diskusikan konsep tersebut. Sebagai penggagas program pendamping nakes dalam rangka resilient and responsive health system, maka saya membuka wacana untuk diskusi luas.

Kesimpulan

Perang narkoba di Brasil adalah potret kompleks hubungan antara kekuasaan, kemiskinan, dan kemanusiaan.
Menunjukkan bahwa ketika negara gagal hadir di tengah masyarakat miskin, geng kriminal akan mengambil alih fungsi sosial dan politik.

Pelajaran paling penting: penegakan hukum harus berjalan seiring dengan keadilan sosial.
Tanpa keadilan, “perang” melawan narkoba hanya akan menjadi siklus kekerasan baru.

Daftar Pustaka

Antara News. (2025, Januari). BNN targetkan prevalensi narkoba turun jadi 1,7% di 2025. https://www.antaranews.com

Antara Sultra. (2025, Agustus). BNN: 312.000 remaja Indonesia terpapar narkoba. https://sultra.antaranews.com

Kompas.com. (2025, Mei 5). BNN: Prevalensi penyalahgunaan narkoba capai 3,33 juta jiwa. https://nasional.kompas.com

Kompas TV. (2025, Mei). BNN ungkap dua hal yang bikin Indonesia jadi bidikan bandar narkoba. https://www.kompas.tv

Liputan6.com. (2025, Oktober 30). Presiden Brasil terguncang oleh operasi anti-narkoba mematikan di Rio de Janeiro: 132 orang tewas. https://www.liputan6.com/global/read/6198831

The Economist. (2024, November 14). Brazil’s gangsters have been getting into politics. https://www.economist.com/the-americas/2024/11/14/brazils-gangsters-have-been-getting-into-politics

Brookings Institution. (2024, Januari). Organized crime and governance in Latin America. https://www.brookings.edu

National Defense University Press. (2019). The evolution of the most lethal criminal organization in Brazil: The PCC. https://ndupress.ndu.edu/Portals/68/Documents/prism/prism_8-1/PRISM_8-1_Coutinho.pdf

United Nations Office on Drugs and Crime. (2024). World Drug Report 2024. https://www.unodc.org/unodc/en/data-and-analysis/wdr2024.html

Human Rights Watch. (2025). Brazil: Police operations continue deadly trend. https://www.hrw.org

dr. Novita sari yahya
Penulis dan peneliti.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Perang Melawan Narkoba di Brasil: Antara Hukum, Kemanusiaan, dan Masa Depan Generasi Muda

Trending Now

Iklan

iklan