Ajaran Islam yang memiliki karakteristik ‘ālamiyyah/syumūl (mencakup dan menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif) tentu memperhatikan ihwal pertumbuhan dan perkembangan manusia ini. Di antara fase perkembangan dan pertumbuhan manusia adalah fase pubertas.
Balig dan Pubertas
Secara umum, pakar psikologi perkembangan mendefinisikan fase pubertas sebagai fase transisi alami ketika seorang anak beralih menuju kedewasaan secara fisik dan seksual. Fase ini ditandai dengan kematangan organ reproduksi yang memungkinkan terjadinya reproduksi, serta disertai perubahan hormonal, fisik, dan emosional yang signifikan.
Waktu terjadinya fase pubertas tidak dapat ditentukan secara pasti. Namun, sebagian pakar berpendapat bahwa fase ini umumnya terjadi pada rentang usia 8–14 tahun, bergantung pada jenis kelamin. Pubertas pada perempuan biasanya terjadi sekitar usia 10 tahun, sedangkan pada laki-laki sekitar usia 12 tahun.
Ditinjau dari aspek usia, dalam perspektif Islam fase pubertas dapat disejajarkan dengan fase balig (bāligh). Fase balig merupakan tahap ketika seorang muslim telah dibebani kewajiban syariat (mukallaf), yakni melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya.
Para fukaha menetapkan sejumlah tanda fisik yang dapat dijadikan indikator bahwa seseorang telah mencapai usia balig. Tanda-tanda tersebut antara lain: mencapai usia lima belas tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan; terjadinya mimpi basah pada laki-laki maupun perempuan yang dapat terjadi sejak usia sembilan tahun; serta datangnya haid bagi perempuan, yang juga dapat terjadi sejak usia sembilan tahun.
Tanda-tanda balig yang dirumuskan oleh para fuqaha tersebut selaras dengan indikator yang ditetapkan oleh para pakar psikologi perkembangan dalam menjelaskan fase pubertas. Di antara indikator pubertas adalah kematangan organ reproduksi yang memungkinkan terjadinya reproduksi, serta perubahan hormonal yang signifikan.
Secara biologis, kelenjar pituitari (pituitary gland) yang terletak di bawah otak menghasilkan hormon perangsang yang menstimulasi testis untuk memproduksi hormon testosteron dan androgen, serta menghasilkan spermatozoa. Produksi sperma inilah yang memungkinkan terjadinya reproduksi, sehingga pada masa remaja seseorang dapat mengalami mimpi basah
Sementara itu, menstruasi pada perempuan dipengaruhi oleh perkembangan indung telur (ovarium) yang terletak di rongga perut bagian bawah, di dekat uterus. Ovarium berfungsi memproduksi sel telur (ovum) serta hormon estrogen dan progesteron. Hormon progesteron berperan dalam mematangkan dan mempersiapkan ovum agar siap dibuahi, sedangkan estrogen memengaruhi perkembangan ciri-ciri kewanitaan.
Setiap bulan, salah satu ovarium melepaskan ovum, dan hormon-hormon tersebut mempersiapkan rahim untuk kemungkinan terjadinya kehamilan. Apabila pembuahan tidak terjadi, lapisan rahim yang kaya akan darah dan jaringan akan luruh dan keluar melalui vagina. Proses peluruhan inilah yang dikenal sebagai haid.
Sebagai konsekuensi dari berfungsinya hormon-hormon tersebut, terjadi berbagai perubahan pada aspek jasmani yang menjadi penanda perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Pada laki-laki, perubahan tersebut antara lain ditandai dengan tumbuhnya kumis dan janggut, munculnya jakun, suara yang menjadi lebih berat, serta tumbuhnya rambut di ketiak dan di sekitar kemaluan, disertai tanda-tanda fisik lainnya. Sementara itu, pada perempuan terjadi pembesaran payudara dan pinggul, suara menjadi lebih halus, serta munculnya ciri-ciri fisik kewanitaan lainnya.
Kewajiban Setelah Memasuki Fase Balig
Kewajiban melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya yang dibebankan kepada seseorang yang telah balig hanya berlaku bagi mereka yang memiliki akal sehat. Dengan akal yang sehat, seseorang mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, serta antara yang berbahaya dan yang bermanfaat.
Oleh karena itu, pihak yang berkewajiban melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya adalah mereka yang disebut “akil balig”, yaitu orang yang telah mencapai usia balig dan memiliki akal yang sehat. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh banyak imam dari Sahabat ‘Alī ra., sebagai berikut:
رُفِعَ القلمُ عن الصبيّ حتى يبلُغَ، وعن النائمِ حتى يستيقظَ، وعن المجنونِ حتى يُفيقَ
“Pena (pencatatan amal) diangkat dari anak kecil hingga ia balig, dari orang yang tidur hingga ia terbangun, dan dari orang gila hingga ia sadar kembali.”
Adapun kewajiban bagi akil-balig adalah melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dan menuntut ilmu.
Bentuk Perintah Allah dan Larangan-Nya
Bentuk perintah Allah SWT terbagi menjadi dua, yaitu perintah yang bersifat fardu (wajib) dan perintah yang bersifat anjuran (sunah). Demikian pula larangan-Nya terbagi menjadi dua, yakni larangan yang bersifat haram dan larangan yang bersifat makruh.
Perintah Allah SWT yang bersifat fardu tercakup dalam rukun Islam, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan salat fardu, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan melaksanakan ibadah haji. Seseorang yang dilahirkan dari kedua orang tua atau salah satunya beragama Islam tetap dihukumi sebagai muslim, baik dalam hukum dunia maupun akhirat.
Oleh karena itu, kewajiban yang dibebankan kepadanya setelah memasuki usia balig adalah melaksanakan rukun-rukun Islam selain pengucapan Dua Kalimat Syahadat sebagai pernyataan masuk Islam, yaitu salat, zakat, puasa, dan haji sesuai dengan syarat dan ketentuannya. Adapun pengucapan Dua Kalimat Syahadat baginya tetap menjadi kewajiban dalam konteks ibadah, khususnya ketika melaksanakan salat, yakni pada bacaan tasyahud akhir, karena ia merupakan salah satu rukun salat.
Adapun larangan Allah SWT yang bersifat haram adalah segala sesuatu yang secara tegas diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an dan hadis. Para ulama telah menginventarisasi larangan-larangan tersebut, di antaranya Imam al-Żahabi dalam karyanya al-Kabā’ir dan Imam Ibnu Ḥajar al-Haitamī dalam al-Zawājir.
Kewajiban Menuntut Ilmu
Islam sangat menganjurkan, bahkan memerintahkan, umatnya untuk menuntut ilmu. Anjuran ini didasarkan antara lain pada firman Allah SWT dalam Surah al-Mujādalah ayat 11:
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ
“Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
Selain itu, terdapat pula sebuah riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Saw, meskipun banyak ulama menilainya berstatus lemah, yang berbunyi:
طلبُ العلمِ فريضةٌ على كل مسلمٍ ومسلمة
“Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim dan muslimah.”
Setiap ilmu memiliki kemuliaan dan keutamaan masing-masing. Namun, menguasai semuanya, menurut Imam al-Māwardi dalam Adab al-Dunyā wa al-Dīn, adalah sesuatu yang mustahil. Para ulama membatasi ilmu yang wajib untuk dituntut adalah ilmu yang berkaitan langsung terhadap kewajiban yang akan dilakukan.
Dalam konteks seorang muslim yang telah memasuki fase balig, kewajiban menuntut ilmu terbatas pada ilmu-ilmu yang berkaitan langsung dengan kewajiban syariat yang harus ia laksanakan. Misalnya, terkait dengan salat: karena ia diwajibkan melaksanakan salat fardu, maka ia juga wajib mempelajari ilmu yang berkaitan dengannya agar ibadah salat yang dilaksanakannya sah secara syar‘i.
Demikian pula halnya dengan zakat, puasa, dan haji, apabila ia telah memenuhi syarat untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut. Ilmu yang berkaitan dengan hal-hal ini adalah ilmu fikih, khususnya fikih ibadah.
Dalam aspek akidah, meskipun seseorang dilahirkan dari orang tua muslim sehingga tidak diwajibkan mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam, ia tetap berkewajiban memahami makna dua kalimat syahadat tersebut.
Ia harus mengetahui maknanya sekadar untuk menjaga keimanan agar tidak goyah, seperti meyakini bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah SWT, bahwa Nabi Muhammad Saw adalah hamba dan utusan Allah, serta meyakini adanya Hari Pembalasan. Ilmu yang berkaitan dengan hal ini adalah ilmu akidah atau ushuluddin.
Selain melaksanakan perintah Allah SWT, seseorang yang telah balig juga wajib menjauhi seluruh larangan-Nya. Oleh karena itu, ia berkewajiban mengetahui apa saja yang diharamkan oleh Allah, baik yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, pekerjaan, akhlak, maupun makanan, minuman, dan pakaian. Ilmu yang berkaitan dengan hal ini mencakup ilmu akhlak dan juga ilmu fikih.
Ilmu-ilmu yang wajib dituntut oleh seseorang yang telah balig sebagaimana dijelaskan di atas disebut oleh para ulama sebagai ilmu yang bersifat fardu ‘ain. Artinya, kewajiban menuntut ilmu tersebut berlaku bagi setiap individu yang telah balig. Apabila ia meninggalkan kewajiban ini tanpa uzur yang dibenarkan oleh syariat, maka ia berdosa.
Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditegaskan bahwa fase balig menandai dimulainya tanggung jawab syariat secara penuh bagi seorang muslim yang berakal sehat.
Sejak fase ini, ia diwajibkan melaksanakan seluruh perintah Allah SWT, menjauhi segala larangan-Nya, serta menuntut ilmu yang berkaitan langsung dengan kewajiban-kewajiban tersebut agar pelaksanaan ibadah dan pengamalan agama berjalan secara sah dan benar.
Oleh karena itu, kesadaran akan fase balig hendaknya diiringi dengan kesiapan spiritual, intelektual, dan moral, sehingga seorang muslim mampu menjalani kehidupannya sesuai tuntunan Islam secara istikamah hingga akhir hayat.[]

