Namun, problem utamanya bukan sekadar perlu atau tidaknya islah, melainkan apa yang dimaksud dengan islah itu sendiri?
Tanpa kejelasan makna, islah berisiko direduksi menjadi jargon politik, alat legitimasi kekuasaan, atau sekadar seruan normatif tanpa implikasi nyata.
Iṣlāḥ dalam Perspektif Al-Qur’an dan Tradisi Islam
Secara etimologis, Iṣlāḥ (إصلاح) berasal dari akar kata huruf ṣhad, lam, dan ḥa yang bermakna memperbaiki, mendamaikan, dan mengembalikan sesuatu kepada kondisi yang benar. Al-Qur’an menggunakan istilah ini dalam makna yang sangat tegas, bukan simbolik. Allah berfirman:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka, kecuali bisikan orang yang menyuruh kepada sedekah, kebaikan, atau ishlah di antara manusia.” (QS. an-Nisā’ [4]: 114)
Iṣlāḥ dalam Al-Qur’an selalu berkaitan dengan perbaikan struktural dan moral, bukan kompromi pragmatis. Bahkan dalam konteks konflik, islah menuntut keadilan, bukan sekadar perdamaian semu (QS. al-Hujurāt [49]: 9–10). Artinya, islah tidak identik dengan “diam demi stabilitas”, melainkan keberanian membenahi penyimpangan.
Dalam tradisi ulama klasik, iṣlāḥ dipahami sebagai tajdīd (pembaruan) yang berpijak pada al-muḥāfaẓah ‘alā al-qadīm aṣ-ṣāliḥ wa al-akhdzu bi al-jadīd al-aṣlaḥ (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih maslahat). Dengan demikian, islah bukan pembongkaran total, tetapi juga bukan pembiaran atas kerusakan.
Iṣlāḥ dalam Perspektif Organisasi
Dalam konteks organisasi, iṣlāḥ menuntut lebih dari sekadar permintaan rukun. Ia harus dimaknai sebagai perbaikan struktural dan mekanisme kelembagaan, bukan sekadar upaya menutupi konflik agar tidak “mengganggu reputasi”.
Ketika merujuk konflik internal PBNU yang terjadi belakangan ini, iṣlāḥ menjadi istilah sentral untuk menyelesaikannya secara konstitusional. Berbagai elemen organisasi, mulai dari Rais Aam hingga Ketua Umum PBNU telah membuka ruang dialog iṣlāḥ untuk mencegah perpecahan dan menjaga ukhuwah jam’iyyah.
NU sejak lahir dalam sejarah pergerakan Islam di Indonesia memiliki semangat iṣlāḥ yang kuat. Organisasi ini lahir sebagai respon terhadap tantangan kolonialisme dan kehendak untuk memperbaiki kondisi umat melalui pendidikan pesantren, dakwah, dan penguatan tradisi Islam yang moderat dan inklusif.
Dalam arti ini, NU memang sejak awal berfungsi sebagai jam’iyyah iṣlāḥ wa taqwiyah organisasi yang menegakkan perbaikan dan penguatan umat.
Dalam tradisi ahlus sunnah wal jama’ah, NU tidak menutup diri terhadap perubahan, tetapi mengambil hal-hal baru selama berdampak positif bagi kemaslahatan umat.
Orientasi ini konsisten dengan konsep maqāṣid al-syarī‘ah yang menempatkan maslahah sebagai landasan pemikiran Islam dalam menghadapi realitas sosial kontemporer.
Iṣlāḥ: Moral dan Struktural
Seruan iṣlāḥ juga mengandung dimensi moral: seruan itu tidak sekadar tindakan administratif, tetapi nasihat moral dari sesepuh organisasi sebagai warisan tradisi keulamaan NU.
Hal tersebut digunakan agar penyelesaian masalah dilakukan dengan hikmah, adab, dan akhlak Islam. Ini menegaskan bahwa islah dalam NU bukan sekadar rekonsiliasi pragmatis, tetapi proses tausiyah yang beradab.
Islah bukan kata kosong yang diulang untuk menciptakan kedamaian semu. Ia adalah agenda moral dan struktural yang menuntut tindakan nyata untuk memperbaiki kelembagaan dan memperteguh komitmen terhadap prinsip Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang menjadi dasar keberadaan NU.
Ketika iṣlāḥ berhasil dijalankan secara benar berlandaskan nilai agama, aturan organisasi, dan kemaslahatan umat maka konflik internal dapat menjadi momentum tadabbur, evaluasi kelembagaan, dan penguatan kembali arah organisasi.[]
Alumni, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

