Banjir Bandang Sumatera dan Jalur Pertanggungjawaban:

Redaksi
Desember 04, 2025 | Desember 04, 2025 WIB Last Updated 2025-12-04T00:35:51Z
Mengapa Reformasi Hukum Lingkungan Menjadi Kepentingan Mendesak

Oleh : Novita sari yahya 

Banjir bandang yang menghancurkan sebagian wilayah Sumatera kembali membuka mata kita bahwa kerentanan ekologis Indonesia sudah berada pada titik mengkhawatirkan. Arus air yang datang tiba-tiba, membawa lumpur, kayu, dan material besar lainnya, bukan hanya merusak rumah warga, tetapi juga mengguncang rasa aman masyarakat yang selama ini hidup berdampingan dengan ancaman bencana yang terus berulang.

Pertanyaan besar pun muncul:
Apakah banjir bandang ini murni bencana alam, atau ada akumulasi kesalahan kebijakan dan kelalaian pengawasan yang dibiarkan menumpuk selama bertahun-tahun?

Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Berbagai laporan organisasi lingkungan menunjukkan bahwa kerusakan hutan, alih fungsi lahan, dan pembiaran terhadap aktivitas industri ekstraktif telah menciptakan kondisi ekologis “rapuh”, yang hanya menunggu pemicu cuaca ekstrem untuk meledak menjadi tragedi.

Greenpeace Indonesia telah berkali-kali mengingatkan bahwa banjir yang terjadi bukan sekadar peristiwa alam. Mereka menegaskan bahwa kerusakan ekologis, terutama di kawasan hulu dan daerah aliran sungai, berperan besar memperparah dampak banjir. Menurut mereka, curah hujan ekstrem memang pemicu, tetapi faktor penentu kerusakan adalah hilangnya tutupan hutan, buruknya tata ruang, dan lemahnya pengawasan pemerintah. Karena itulah mereka menyebut banjir bandang ini sebagai “bencana kebijakan” istilah yang menekankan bahwa ada keputusan dan kelalaian manusia yang ikut berperan dalam jatuhnya korban.

Namun, di tengah maraknya kritik terhadap pemerintah, muncul pula suara-suara yang mendorong agar masyarakat membawa kasus ini ke lembaga internasional, seperti Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atau Mahkamah Internasional (ICJ). Gagasan ini lahir dari rasa frustrasi terhadap penegakan hukum nasional yang sering kali lambat dan tidak tegas. Tetapi benarkah jalur internasional dapat ditempuh?

Untuk menjawabnya, kita perlu memahami bagaimana mekanisme hukum internasional bekerja dan batas yurisdiksi yang dimilikinya.

1. Kritik Greenpeace dan Konteks Kerusakan Ekologis

Selama dua dekade terakhir, Sumatera mengalami tekanan ekologis yang sangat besar. Data tutupan hutan, temuan investigasi, dan laporan lapangan memperlihatkan betapa luasnya hutan primer yang hilang akibat pembalakan liar, ekspansi perkebunan, dan pertambangan.

Greenpeace Indonesia menyoroti beberapa hal penting:

1. Kerusakan hulu DAS membuat tanah tidak mampu lagi menampung air saat hujan lebat.

2. Pembalakan ilegal merusak struktur ekologis yang seharusnya menjadi penyangga alami.

3. Izin tambang dan perkebunan yang tumpang tindih memperburuk kerentanan bencana.

4. Pengawasan lemah, baik dari pemerintah pusat maupun daerah, membuka ruang pelanggaran hukum tanpa konsekuensi.

5. Tata ruang tidak berbasis mitigasi bencana, sehingga kawasan rawan tetap diberi izin industri.

Meski kritiknya keras, Greenpeace tidak pernah menyarankan agar korban banjir menggugat pemerintah Indonesia ke lembaga internasional. Fokus mereka tetap pada penegakan hukum nasional, evaluasi perizinan, transparansi kebijakan, dan pembentukan mekanisme pengawasan yang lebih kuat.

2. Mengapa Jalur Internasional Tidak Bisa Mengadili Pejabat Indonesia

Banyak yang berasumsi bahwa ketika negara dianggap lalai, masyarakat dapat menggugatnya ke ICC atau ICJ. Padahal secara hukum, langkah itu hampir mustahil dilakukan.

Berikut batas baku hukum internasional:

a. Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma (ICC)

ICC bekerja berdasarkan Statuta Roma. Tanpa ratifikasi, ICC tidak memiliki yurisdiksi terhadap pejabat publik atau peristiwa yang terjadi di Indonesia. Hingga akhir 2025, Indonesia belum meratifikasi dokumen tersebut.

b. Kejahatan lingkungan tidak masuk kategori kejahatan kemanusiaan

ICC hanya mengadili empat jenis kejahatan:

Genosida

Kejahatan terhadap kemanusiaan

Kejahatan perang

Agresi

Kerusakan lingkungan, sekalipun fatal, belum masuk dalam kategori hukum internasional ini. Kelalaian kebijakan juga tidak otomatis memenuhi unsur “serangan sistematis terhadap penduduk sipil,” yang merupakan elemen penting kejahatan kemanusiaan.

c. ICJ hanya memeriksa sengketa antarnegara

Warga negara, pemerintah daerah, atau organisasi lingkungan tidak dapat menjadi pihak di ICJ. Dengan demikian, ICJ tidak dapat digunakan untuk menuntut pejabat Indonesia terkait bencana.

d. Arbitrase internasional (ICSID) hanya menangani sengketa investasi

Kasus seperti Indonesia vs Churchill Mining atau Karaha Bodas tidak relevan untuk korban bencana ekologis. Mekanisme ini membahas pelanggaran kontrak dan perlindungan investor, bukan kelalaian pemerintah terhadap lingkungan.

Kesimpulannya, jalur internasional tidak menyediakan mekanisme yang dapat digunakan korban banjir untuk menggugat pejabat negara.

3. Pelajaran dari Beberapa Kasus Internasional yang Pernah Melibatkan Indonesia

Untuk memahami batas-batas yurisdiksi internasional, beberapa kasusu penting dapat dijadikan contoh:

a. Sengketa Sipadan–Ligitan (ICJ, 2002)

Kasus ini berkaitan dengan batas negara, bukan pelanggaran lingkungan atau kelalaian pejabat. ICJ hanya memeriksa bukti administrasi dan sejarah antarnegara.

b. Gugatan warga Aceh terhadap ExxonMobil

Kasus ini tidak disidangkan di lembaga internasional, melainkan di pengadilan federal Amerika Serikat. Gugatan diajukan terhadap perusahaan, bukan negara. Penyelesaiannya pun melalui settlement, bukan putusan internasional.

c. Sengketa investasi Churchill Mining (ICSID)

Kasus ini menunjukkan bagaimana arbitrase internasional menilai sengketa investasi, bukan dampak lingkungan. Indonesia menang, tetapi konteksnya jauh dari isu bencana ekologis.

Contoh-contoh tersebut memperlihatkan bahwa korban bencana tidak memiliki posisi hukum yang memungkinkan mereka menggugat melalui mekanisme internasional.

4. Tantangan Ratifikasi Statuta Roma dan Wacana “Ecocide”

Ratifikasi Statuta Roma telah lama menjadi perdebatan nasional. Pihak yang menolak menganggapnya mengancam kedaulatan hukum dan membuka peluang kriminalisasi pejabat. Sementara itu, kelompok masyarakat sipil melihat ratifikasi sebagai instrumen penting untuk memperkuat perlindungan warga dan lingkungan.

Pada sisi lain, wacana menjadikan ecocide sebagai kejahatan internasional terus berkembang. Jika diterima di masa mendatang, kerusakan lingkungan berskala besar yang menyebabkan korban jiwa dapat diadili secara internasional. Namun sampai saat ini, usulan itu belum memiliki status hukum yang mengikat.

Dengan kata lain, ecocide masih berada pada level gagasan, bukan instrumen yang dapat dipakai korban banjir Sumatera.

5. Jalan yang Realistis: Reformasi Hukum Lingkungan Nasional

Karena jalur internasional penuh batasan, maka jalur yang paling realistis sekaligus strategis adalah memperkuat mekanisme hukum nasional. Ada beberapa langkah penting:

a. Membentuk UU khusus kejahatan lingkungan berdampak kematian

Undang-undang ini perlu memuat:

pidana berat bagi pejabat atau korporasi yang lalai,

sanksi administratif yang tidak dapat dinegosiasi, mekanisme penegakan hukum yang tidak tunduk pada kepentingan politik.

b. Memperkuat pidana korporasi

Korporasi pelanggar harus dapat menerima sanksi tegas, termasuk pencabutan izin permanen.

c. Membentuk badan penyidik lingkungan independen

Lembaga ini harus bebas dari intervensi pemerintah pusat maupun daerah untuk menghindari konflik kepentingan.

d. Audit nasional seluruh izin tambang dan perkebunan

Tanpa audit menyeluruh, kerusakan masa lalu akan terus berulang dan tidak pernah tertangani.

Sejarawan Anhar Gonggong mengingatkan bahwa pejabat tidak boleh “bersembunyi di balik birokrasi” ketika kebijakan mereka berdampak pada hilangnya nyawa. Pandangan ini relevan dengan persoalan bencana ekologis yang terus terjadi.

6. Penutup

Banjir bandang Sumatera bukan hanya persoalan curah hujan ekstrem, tetapi akumulasi dari kelalaian kebijakan dan buruknya tata kelola lingkungan selama bertahun-tahun. Kritik Greenpeace, temuan investigatif, dan sejarah panjang kerusakan hutan menunjukkan bahwa tragedi ini tidak hadir secara tiba-tiba.

Mekanisme internasional tidak menyediakan jalur yang memungkinkan korban membawa kasus ini ke ICC atau ICJ. Karena itu, jalan satu-satunya yang realistis dan efektif adalah memperkuat reformasi hukum nasional baik melalui revisi undang-undang, pembentukan lembaga independen, maupun penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu.

Selama kerangka hukum kita masih lemah dan pengawasan berjalan setengah hati, bencana ekologis akan terus berulang, dan masyarakat akan selalu menjadi pihak yang paling menderita.

DAFTAR REFERENSI

Amnesty International Indonesia. (n.d.). Pemerintah didesak akhiri pelanggaran HAM di Papua.
https://www.tempo.co/politik/amnesty-international-indonesia-desak-pemerintah-akhiri-pelanggaran-ham-di-papua-44420

Churchill Mining & Planet Mining v. Republic of Indonesia. (2019). Decision on the Application to Terminate the Stay. Jus Mundi.
https://jusmundi.com/en/document/decision/en-churchill-mining-and-planet-mining-pty-ltd-v-republic-of-indonesia-decision-on-the-application-to-terminate-the-stay-monday-18th-march-2019

Greenpeace Indonesia. (n.d.). Banjir Sumatera harus jadi pengingat terakhir pemerintahan Prabowo untuk berbenah.
https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/65560/banjir-sumatera-harus-jadi-pengingat-terakhir-pemerintahan-prabowo-untuk-berbenah/

ICJ (International Court of Justice). (n.d.). Case Concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia).
https://www.icj-cij.org/case/102

Italaw. (n.d.). Case No. 1479.
https://www.italaw.com/cases/1479

Karaha Bodas Company L.L.C. v. Pertamina & PLN. (2007). Judgment of the Court of Queen’s Bench of Alberta. Jus Mundi.
https://jusmundi.com/en/document/decision/en-karaha-bodas-company-l-l-c-v-perusahaan-pertambangan-minyak-dan-gas-bumi-negara-and-pln-judgment-of-the-court-of-queens-bench-of-alberta-wednesday-24th-october-2007

MSW.ID. (2024). Menelusuri latar belakang dan proses peradilan Masyarakat Aceh vs ExxonMobil di Pengadilan District of Columbia, AS.
https://msw.id/2024/10/23/menelusuri-latar-belakang-dan-proses-peradilan-masyarakat-aceh-vs-exxonmobil-di-pengadilan-district-of-columbia-amerika-serikat/

VOA Indonesia. (2019). Indonesia menang lawan perusahaan tambang Inggris di arbitrase internasional.
https://www.voaindonesia.com/a/indonesia-menang-lawan-perusahaan-tambang-inggris-di-arbitrase-internasional/4847376.html
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Banjir Bandang Sumatera dan Jalur Pertanggungjawaban:

Trending Now

Iklan

iklan