Jakarta _Banjir bandang yang melanda beberapa wilayah di Sumatera kembali menjadi pengingat pahit bahwa kerentanan ekologis Indonesia sudah memasuki tahap yang membahayakan kehidupan masyarakat. Setiap musim hujan, sejumlah daerah seolah menunggu giliran menjadi korban air bah yang datang tiba-tiba, membawa lumpur, kayu, dan kerusakan yang sulit dipulihkan. Meskipun faktor cuaca ekstrem tak dapat dihindari, kerusakan lingkungan—terutama hilangnya tutupan hutan dan pembukaan lahan yang tidak terkendali—telah memperbesar dampak bencana itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, organisasi lingkungan seperti Greenpeace Indonesia berkali-kali menegaskan bahwa banjir besar yang berulang di Sumatera tidak dapat dilepaskan dari perubahan bentang alam. Laporan mereka menunjukkan bahwa deforestasi, ekspansi perkebunan skala besar, serta minimnya pengawasan terhadap perizinan merupakan penyebab utama menurunnya daya dukung lingkungan. Sungai-sungai kehilangan vegetasi penyangga, lereng bukit tidak lagi stabil, dan daerah resapan air terus tergerus. Kondisi itu membuat hujan lebat berubah menjadi banjir bandang dalam hitungan jam.
Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan yang lebih luas: siapa yang bertanggung jawab, dan melalui mekanisme apa akuntabilitas dapat ditegakkan? Sebagian orang berharap adanya tindakan hukum internasional terhadap pejabat atau korporasi yang dianggap lalai. Namun, harapan itu kerap tidak sejalan dengan kenyataan. Sistem hukum internasional memiliki batas-batas yurisdiksi yang tidak dapat menjerat semua pelanggaran, terutama yang terjadi di ranah lingkungan.
Karena itulah, memahami batas mekanisme internasional menjadi penting agar perjuangan penegakan hukum lingkungan tidak berakhir pada tuntutan yang secara hukum memang mustahil diproses. Dengan memahami batas tersebut, kita dapat fokus membangun mekanisme nasional yang lebih kuat, adil, dan efektif.
ICC dan Ketidakmungkinan Memproses Kejahatan Lingkungan
Banyak diskusi publik mempertanyakan apakah bencana ekologis besar bisa dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Namun, hingga sekarang, Statuta Roma hanya memberikan yurisdiksi pada empat kejahatan: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Kejahatan lingkungan, meskipun berdampak luas, tidak termasuk dalam kategori tersebut.
Perdebatan mengenai “ekosida” sempat muncul dalam beberapa forum internasional. Sejumlah akademisi dan aktivis berusaha mendorong pengakuan lingkungan sebagai objek perlindungan hukum internasional tingkat tinggi. Namun tanpa amendemen Statuta Roma, ICC tetap tidak dapat mengadili tindakan perusakan lingkungan, termasuk kelalaian pejabat atau pembiaran yang menyebabkan bencana.
Karena Indonesia bukan negara pihak Statuta Roma, jalur ini semakin tidak mungkin ditempuh. Untuk membawa satu kasus ke ICC, negara harus terlebih dahulu meratifikasi Statuta Roma atau menerima yurisdiksinya secara ad hoc, dan itu pun hanya untuk kategori kejahatan yang telah diatur. Dengan demikian, jalur ICC bukan solusi bagi korban bencana ekologis seperti banjir bandang Sumatera.
ICJ: Jalur yang Juga Tidak Relevan bagi Korban Bencana
Banyak orang mengira Mahkamah Internasional (ICJ) dapat menjadi tempat mencari keadilan bagi korban bencana. Kenyataannya, ICJ hanya menyelesaikan sengketa antarnegara. Masyarakat, LSM, atau individu tidak dapat mengajukan gugatan.
Kasus terkenal seperti sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia menunjukkan dengan jelas bahwa ICJ berurusan dengan kedaulatan dan perselisihan internasional antarnegara, bukan tanggung jawab domestik terhadap kerusakan lingkungan.
Dengan demikian, membawa isu banjir bandang Sumatera ke ICJ tidak dimungkinkan secara hukum, meskipun dampaknya besar dan melibatkan beragam aktor di dalam negeri.
Arbitrase Internasional (ICSID) dan Batas Kewenangannya
Mekanisme arbitrase internasional seperti ICSID kerap muncul dalam pemberitaan, terutama ketika Indonesia menghadapi gugatan perusahaan asing. Namun, konteks mekanisme ini sangat berbeda. ICSID menangani sengketa investasi antara investor asing dan negara, bukan kerusakan lingkungan atau kelalaian pejabat.
Kasus Churchill Mining dan Planet Mining misalnya, merupakan contoh klasik sengketa investasi yang berfokus pada izin tambang dan perlakuan pemerintah terhadap investor. Sengketa itu tidak berkaitan dengan bencana ekologis yang menimpa masyarakat. Begitu pula dengan perkara Karaha Bodas yang menyangkut kontrak energi.
Dengan demikian, arbitrase internasional tidak dapat menjadi alat bagi korban banjir untuk menuntut pertanggungjawaban.
Kasus Internasional Sebagai Ilustrasi, Bukan Rujukan Langsung
Ada pula yang mencontohkan gugatan warga Aceh terhadap ExxonMobil di pengadilan federal Amerika Serikat. Meskipun perkara tersebut penting dan menggambarkan kemungkinan warga menggugat korporasi multinasional di yurisdiksi asing, konteksnya adalah dugaan pelanggaran HAM, bukan bencana ekologis.
Contoh itu relevan sebagai gambaran bahwa perusahaan besar dapat dimintai pertanggungjawaban di luar negeri, tetapi tidak otomatis menjadi landasan bagi kasus lingkungan di Indonesia. Lingkungan memiliki rezim hukum tersendiri, dan yurisdiksi negara lain tidak serta-merta berlaku pada kejadian di Sumatera.
Mengapa Jalur Nasional Menjadi Satu-Satunya Jalan Realistis
Setelah memahami batas yurisdiksi internasional, terlihat jelas bahwa keadilan bagi korban bencana ekologis di Indonesia hanya dapat dicapai melalui sistem hukum nasional. Namun, sistem itu masih menghadapi sejumlah masalah: aparat penegak hukum yang terbatas, tumpang tindih regulasi, konflik kepentingan, serta lemahnya pengawasan terhadap izin usaha.
UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebenarnya menyediakan instrumen pidana, perdata, dan administratif. Tetapi implementasinya kerap tidak efektif, terutama ketika pelanggaran dilakukan oleh korporasi besar atau melibatkan pejabat yang memiliki pengaruh. Sanksi administratif juga sering tidak menimbulkan efek jera.
Karena itulah, banyak ahli menilai bahwa Indonesia membutuhkan reformasi hukum lingkungan yang lebih tegas dan berorientasi pada perlindungan masyarakat, bukan hanya kepastian usaha.
Beberapa langkah mendesak yang perlu dipertimbangkan antara lain:
1. Mengakui kejahatan ekologis berat sebagai tindak pidana khusus, dengan ancaman yang setara dengan kejahatan luar biasa.
2. Memperkuat pengawasan izin, terutama di daerah hulu sungai dan kawasan rawan bencana.
3. Memperbaiki integritas lembaga penegak hukum, agar kasus lingkungan tidak lagi berhenti pada tingkat penyelidikan.
4. Memastikan partisipasi publik dalam evaluasi dampak lingkungan, termasuk akses informasi dan mekanisme pengaduan.
5. Menata kembali tata ruang yang selama ini berjalan terbalik: rencana yang ada disesuaikan dengan proyek, bukan sebaliknya.
Reformasi ini bukan sekadar perbaikan teknis. Ini adalah keharusan moral. Banjir bandang yang menewaskan warga, menghancurkan rumah, dan merusak mata pencaharian tidak boleh lagi dianggap peristiwa alam semata. Ada struktur yang menyebabkan bencana menjadi sebesar ini, dan struktur itu dapat diperbaiki.
Penutup
Bencana ekologis bukan sekadar urusan alam. Ia adalah cermin dari bagaimana sebuah negara mengelola tanah, hutan, sungai, dan masyarakatnya. Selama kerusakan terus terjadi tanpa pertanggungjawaban yang jelas, maka bencana akan datang kembali.
Memahami batas mekanisme internasional penting agar energi perubahan tidak terserap pada tuntutan yang tidak dapat diproses. Sebaliknya, energi itu harus diarahkan pada reformasi hukum nasional yang kuat, adil, dan berpihak pada kelestarian lingkungan.
Sumatera telah memberi peringatan. Pertanyaannya kini: apakah kita berani bertindak sebelum peringatan itu berubah menjadi bencana yang lebih besar?
DAFTAR PUSTAKA
Amnesty International Indonesia. (n.d.). Pemerintah didesak akhiri pelanggaran HAM di Papua. Tempo.
https://www.tempo.co/politik/amnesty-international-indonesia-desak-pemerintah-akhiri-pelanggaran-ham-di-papua-44420
Churchill Mining & Planet Mining v. Republic of Indonesia. (2019). Decision on the Application to Terminate the Stay. Jus Mundi.
https://jusmundi.com/en/document/decision/en-churchill-mining-and-planet-mining-pty-ltd-v-republic-of-indonesia-decision-on-the-application-to-terminate-the-stay-monday-18th-march-2019
Doe et al. v. ExxonMobil Corporation. (2001–2023). United States District Court for the District of Columbia.
Ringkasan publik: https://msw.id/2024/10/23/menelusuri-latar-belakang-dan-proses-peradilan-masyarakat-aceh-vs-exxonmobil-di-pengadilan-district-of-columbia-amerika-serikat/
Greenpeace Indonesia. (2024). Banjir Sumatera harus jadi pengingat terakhir pemerintahan Prabowo untuk berbenah.
https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/65560/banjir-sumatera-harus-jadi-pengingat-terakhir-pemerintahan-prabowo-untuk-berbenah/
ICJ – International Court of Justice. (2002). Case Concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia).
https://www.icj-cij.org/case/102
https://www.icj-cij.org/node/101600
ICSID. (2019). Churchill Mining PLC and Planet Mining Pty Ltd v. Republic of Indonesia (ARB/12/14 & 12/40).
https://www.italaw.com/cases/1479
Jurnal BELLi. (n.d.). Analisis hukum lingkungan di Indonesia. Universitas Sebelas Maret.
https://jurnal.uns.ac.id/belli/article/download/106406/pdf
Karaha Bodas Company L.L.C. v. Pertamina & PLN. (2007). Judgment of the Court of Queen’s Bench of Alberta. Jus Mundi.
https://jusmundi.com/en/document/decision/en-karaha-bodas-company-l-l-c-v-perusahaan-pertambangan-minyak-dan-gas-bumi-negara-and-pln-judgment-of-the-court-of-queens-bench-of-alberta-wednesday-24th-october-2007
MSW.ID. (2024). Menelusuri latar belakang dan proses peradilan Masyarakat Aceh vs ExxonMobil.
https://msw.id/2024/10/23/menelusuri-latar-belakang-dan-proses-peradilan-masyarakat-aceh-vs-exxonmobil-di-pengadilan-district-of-columbia-amerika-serikat/
VOA Indonesia. (2019). Indonesia menang lawan perusahaan tambang Inggris di arbitrase internasional.
https://www.voaindonesia.com/a/indonesia-menang-lawan-perusahaan-tambang-inggris-di-arbitrase-internasional/4847376.html
Special Rapporteurs of the United Nations. Laporan dan komunikasi resmi mengenai hak asasi manusia di Papua, 2017–2024.
Anhar Gonggong. Wawancara dan tulisan terkait tanggung jawab negara dan pejabat, 2020–2024.

