Dari Banjir Bandang Sumatera ke Reformasi Hukum Lingkungan: Jalan Realistis Penegakan Keadilan

Redaksi
Desember 06, 2025 | Desember 06, 2025 WIB Last Updated 2025-12-06T01:14:16Z
Oleh: Novita Sari Yahya

Banjir bandang yang kembali melanda Sumatera beberapa waktu lalu menyisakan luka yang sama: rumah-rumah hanyut, sawah tertimbun lumpur, hingga korban jiwa yang tak sempat menyelamatkan diri. Namun di balik rentetan duka itu, ada pertanyaan yang terus berulang setiap kali bencana datang: mengapa kerusakan semacam ini terus terjadi, dan di mana letak pertanggungjawaban yang seharusnya ditegakkan negara?
Pertanyaan itu tidak lahir dari ruang kosong. Dalam sepuluh tahun terakhir, jejak deforestasi, pembukaan hutan untuk perkebunan, penambangan ilegal, serta maraknya praktik korporasi yang melanggar aturan telah menciptakan tekanan besar terhadap ekosistem Sumatera. Banyak sungai kehilangan daerah tangkapan airnya, sementara perbukitan yang dulu menjadi benteng alami kini gundul. Ketika hujan ekstrem datang, tak ada lagi yang menahan laju air. Ia mengalir deras membawa lumpur, batu, dan pohon tumbang, membentuk arus banjir bandang yang mematikan.

Di titik inilah pembicaraan soal reformasi hukum lingkungan menjadi bukan hanya kebutuhan, tetapi keharusan. Kita berhadapan dengan kenyataan bahwa kerangka hukum yang ada belum mampu menimbulkan efek jera, belum memberikan kepastian penegakan, dan belum menjangkau akar persoalan yang melibatkan jaringan pelaku di lapangan hingga ke pemilik modal besar.

Ekologi yang Runtuh dan Fakta Kerusakan yang Tak Terbantahkan

Sumatera bukan baru sekali diterjang banjir bandang. Namun karakter kerusakannya kini jauh lebih destruktif. Banyak laporan lapangan mencatat hilangnya tutupan hutan di daerah Kubu Raya, Solok, Pesisir Selatan, hingga Aceh Tengah. Kondisi ini sejalan dengan peringatan dari lembaga-lembaga independen yang menyebut bahwa pengelolaan hutan di beberapa wilayah Sumatera sudah berada dalam kategori “kritis”.

Greenpeace Indonesia, misalnya, menyatakan bahwa banjir besar yang terjadi tahun ini adalah alarm keras bagi pemerintah. Organisasi tersebut menegaskan bahwa ekspansi korporasi pengolahan kayu, perkebunan, dan sektor ekstraktif lain harus dikawal ketat agar tidak merusak wilayah resapan air. Meski pemerintah telah memiliki perangkat hukum untuk mengatur izin dan pengawasan, celah-celah dalam sistem pengendalian membuat praktik perambahan sering luput dari proses hukum.

Salah satu persoalan yang kerap muncul adalah tumpang-tindih kewenangan dan lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam banyak kasus, izin-izin diterbitkan tanpa kajian lingkungan yang memadai atau bahkan bertentangan dengan rencana tata ruang. Ketika kerusakan muncul, proses penegakan hukum berjalan lambat karena banyak pihak saling melempar tanggung jawab.

Di tengah semua itu, masyarakat adalah pihak yang selalu menjadi korban pertama. Mereka kehilangan ladang, ternak, rumah, dan rasa aman. Dalam sistem hukum ideal, suara mereka seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam setiap kebijakan lingkungan. Namun kenyataannya, kepentingan warga sering berada di posisi paling belakang dalam diskusi perizinan dan investasi.

Penegakan Hukum yang Lemah dan Kesenjangan Keadilan

Kerangka hukum lingkungan Indonesia sebenarnya cukup maju jika dilihat dari norma yang tertulis. Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, peraturan mengenai AMDAL, hingga skema pidana dan administratif telah memberi dasar kuat bagi perlindungan ekosistem. Masalahnya terletak pada implementasi di lapangan.

Dalam banyak kasus, pelanggaran lingkungan berakhir di meja mediasi, bukan di pengadilan. Pelaku kerap hanya dikenai sanksi administratif, berupa surat peringatan atau denda yang jumlahnya tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Pada kasus tertentu, oknum aparat bahkan membiarkan kegiatan ilegal berlangsung bertahun-tahun tanpa penindakan berarti.

Di satu sisi, penegakan hukum yang lemah menumbuhkan persepsi bahwa kerusakan lingkungan bukanlah tindakan serius. Di sisi lain, masyarakat korban sulit menuntut keadilan karena akses ke bantuan hukum terbatas, bukti ilmiah sulit didapatkan, dan proses gugatan sering memakan waktu panjang.

Inilah mengapa perdebatan soal reformasi hukum lingkungan tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai struktur penegakan. Kita tidak hanya membutuhkan aturan yang baik, tetapi institusi yang mampu mengeksekusi aturan itu secara konsisten. Tanpa perbaikan institusional, keadilan lingkungan tetap menjadi gagasan abstrak yang jauh dari kenyataan rakyat di lapangan.

Pembelajaran dari Kasus Internasional

Pengalaman negara lain serta perkara-perkara yang pernah melibatkan Indonesia di ranah internasional memberikan pelajaran berharga mengenai pentingnya kepastian hukum.

Kasus Churchill Mining adalah salah satu contoh paling jelas. Indonesia memenangkan gugatan arbitrase internasional setelah membuktikan bahwa perusahaan tambang tersebut melakukan pelanggaran perizinan dalam pengelolaan batubara. Kemenangan itu menunjukkan bahwa ketika negara memiliki dasar hukum yang kuat dan pembuktian yang rapi, sistem internasional bisa bekerja untuk melindungi kepentingan publik.

Kasus Karaha Bodas juga menjadi pengingat bahwa kontrak energi dan sumber daya alam harus dirancang dengan perhitungan matang agar tidak merugikan negara. Sengketa panjang itu memperlihatkan pentingnya tata kelola yang transparan, serta kehati-hatian dalam menandatangani perjanjian jangka panjang yang melibatkan aset publik.

Sementara itu, perkara yang melibatkan warga Aceh melawan ExxonMobil di Pengadilan Distrik Columbia memperlihatkan bahwa ketika negara atau korporasi dianggap mengabaikan hak masyarakat, dampaknya bisa bergulir hingga ke forum internasional. Gugatan ini juga menegaskan bahwa tuntutan masyarakat atas perlindungan lingkungan tidak bisa lagi dianggap sebagai isu domestik semata. Ia memiliki dimensi global yang semakin kuat.

Dari ketiga contoh tersebut, terlihat jelas bahwa penegakan hukum lingkungan tidak cukup hanya dipagari dengan aturan nasional. Ia harus selaras dengan standar internasional, terutama dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, perlindungan sumber daya alam, dan akuntabilitas korporasi multinasional.

Mengapa Reformasi Menjadi Jalan yang Paling Realistis

Reformasi hukum lingkungan bukan sekadar memperbarui undang-undang. Ia merupakan kerja besar yang mencakup enam lapisan perubahan.

1. Penguatan pengawasan izin dari hulu hingga hilir

Proses penerbitan izin harus dilakukan dengan transparan, didasarkan pada kajian ilmiah, dan dapat dipantau publik. Sistem digitalisasi perizinan harus diperkuat agar tidak ada lagi celah manipulasi dokumen atau praktik suap.

2. Sanksi tegas dan proporsional

Kerusakan besar tidak cukup diselesaikan dengan denda administratif. Negara perlu menjatuhkan hukuman pidana terhadap pelaku kejahatan lingkungan yang merusak hutan dan merugikan masyarakat luas.

3. Pemulihan ekologis sebagai kewajiban mutlak

Setiap perusahaan yang menyebabkan kerusakan harus bertanggung jawab memulihkan wilayah terdampak dengan standar yang jelas. Tanpa kewajiban pemulihan, ekosistem yang rusak tidak akan pernah kembali.

4. Pelibatan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan

Warga yang tinggal di wilayah rawan bencana harus menjadi mitra utama dalam kebijakan lingkungan. Mereka yang merasakan langsung dampak kerusakan mesti mendapat hak suara yang lebih kuat.

5. Integrasi antara hukum lingkungan dan hukum hak asasi manusia

Sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa kasus internasional, persoalan lingkungan kerap berkaitan erat dengan pelanggaran HAM. Karena itu, penyelesaian bencana ekologis harus memperhatikan aspek ini.

6. Transparansi dan akuntabilitas aparat penegak hukum

Lembaga penegak hukum harus bebas dari intervensi politik dan kepentingan ekonomi. Tanpa independensi, penegakan hukum tidak akan berjalan optimal.

Reformasi dalam enam bidang ini penting agar negara mampu bergerak cepat menjawab krisis ekologis dan memperbaiki tata kelola sumber daya alam yang selama ini rapuh.

Penutup: Jalan Panjang yang Tidak Boleh Ditunda

Banjir bandang di Sumatera adalah cermin paling jujur dari kegagalan panjang pengelolaan lingkungan. Setiap bencana seharusnya menjadi peringatan bahwa waktu kita tidak banyak. Jika kerusakan tidak dihentikan, kita bukan hanya kehilangan hutan dan sungai, tetapi juga masa depan generasi berikutnya.

Perubahan memang tidak dapat terjadi dalam semalam. Namun negara memiliki kewajiban moral, politik, dan hukum untuk memastikan seluruh warga hidup dalam lingkungan yang aman. Reformasi hukum lingkungan adalah jalan yang paling realistis untuk mencapai tujuan itu. Jalan yang menuntut keberanian politik dan komitmen jangka panjang.

Kita tidak boleh lagi membiarkan Sumatera atau wilayah lain menjadi korban dari kelalaian hukum dan keserakahan ekonomi. Di tengah krisis ekologis global, Indonesia harus berdiri sebagai negara yang menjaga hutan, sungai, dan tanah airnya dengan sungguh-sungguh. Hanya dengan cara itu, keadilan bagi korban banjir, keadilan bagi masyarakat adat, dan keadilan ekologis dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Amnesty International Indonesia. (n.d.). Pemerintah didesak akhiri pelanggaran HAM di Papua. Tempo.
https://www.tempo.co/politik/amnesty-international-indonesia-desak-pemerintah-akhiri-pelanggaran-ham-di-papua-44420

Churchill Mining & Planet Mining v. Republic of Indonesia. (2019). Decision on the Application to Terminate the Stay. Jus Mundi.
https://jusmundi.com/en/document/decision/en-churchill-mining-and-planet-mining-pty-ltd-v-republic-of-indonesia-decision-on-the-application-to-terminate-the-stay-monday-18th-march-2019

Doe et al. v. ExxonMobil Corporation. (2001–2023). United States District Court for the District of Columbia.
Ringkasan publik: https://msw.id/2024/10/23/menelusuri-latar-belakang-dan-proses-peradilan-masyarakat-aceh-vs-exxonmobil-di-pengadilan-district-of-columbia-amerika-serikat/

Greenpeace Indonesia. (2024). Banjir Sumatera harus jadi pengingat terakhir pemerintahan Prabowo untuk berbenah.
https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/65560/banjir-sumatera-harus-jadi-pengingat-terakhir-pemerintahan-prabowo-untuk-berbenah/

ICJ – International Court of Justice. (2002). Case Concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia).
https://www.icj-cij.org/case/102
https://www.icj-cij.org/node/101600

ICSID. (2019). Churchill Mining PLC and Planet Mining Pty Ltd v. Republic of Indonesia (ARB/12/14 & 12/40).
https://www.italaw.com/cases/1479

Jurnal BELLi. (n.d.). Analisis hukum lingkungan di Indonesia. Universitas Sebelas Maret.
https://jurnal.uns.ac.id/belli/article/download/106406/pdf

Karaha Bodas Company L.L.C. v. Pertamina & PLN. (2007). Judgment of the Court of Queen’s Bench of Alberta. Jus Mundi.
https://jusmundi.com/en/document/decision/en-karaha-bodas-company-l-l-c-v-perusahaan-pertambangan-minyak-dan-gas-bumi-negara-and-pln-judgment-of-the-court-of-queens-bench-of-alberta-wednesday-24th-october-2007

MSW.ID. (2024). Menelusuri latar belakang dan proses peradilan Masyarakat Aceh vs ExxonMobil.
https://msw.id/2024/10/23/menelusuri-latar-belakang-dan-proses-peradilan-masyarakat-aceh-vs-exxonmobil-di-pengadilan-district-of-columbia-amerika-serikat/

VOA Indonesia. (2019). Indonesia menang lawan perusahaan tambang Inggris di arbitrase internasional.
https://www.voaindonesia.com/a/indonesia-menang-lawan-perusahaan-tambang-inggris-di-arbitrase-internasional/4847376.html

Special Rapporteurs of the United Nations. Laporan dan komunikasi resmi mengenai hak asasi manusia di Papua, 2017–2024.
Anhar Gonggong. Wawancara dan tulisan terkait tanggung jawab negara dan pejabat, 2020–2024.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Dari Banjir Bandang Sumatera ke Reformasi Hukum Lingkungan: Jalan Realistis Penegakan Keadilan

Trending Now

Iklan

iklan