Gumpalan-gumpalan air itu bukan sekadar masalah mulai malam itu — melainkan hasil persilangan antara fenomena atmosfer regional dan kerentanan tata kota yang menumpuk selama puluhan tahun.
Laporan-laporan lapangan mencatat banjir parah di sejumlah kecamatan: Medan Sunggal, Medan Johor, Kwala Bekala dan wilayah pesisir yang mengapit aliran sungai Deli serta anak-anak sungainya. Ketinggian air di beberapa titik mencapai satu meter atau lebih, memaksa ribuan warga mengungsi dan menutup akses vital kota.
Secara meteorologis, peristiwa ini tak bisa dilepaskan dari pola sirkulasi atmosfer yang sedang aktif. BMKG Wilayah I—yang memantau Sumatra Utara—mengurai bahwa pola siklonik dan konvergensi massa udara memicu pembentukan awan hujan masif yang menumpuk di atas belahan utara pulau itu.
Efeknya, hujan deras berlangsung berkepanjangan hingga sungai-sungai di kawasan perkotaan meluap dan sistem drainase tak sanggup menampung volume air yang datang. Peringatan dini BMKG dan analisisnya menjadi penanda bahwa penyebabnya adalah lebih luas dari sekadar hujan lokal; ia bagian dari dinamika atmosfer yang lebih besar.
Namun menyebut hujan sebagai penyebab tunggal adalah reduktif. Di belakang fenomena itu berdiri jejak panjang perencanaan kota yang kurang berkelanjutan. Kajian lokal terhadap kawasan padat penduduk menunjukkan pola pembangunan permukiman yang rapat tanpa perencanaan drainase memadai, pendangkalan saluran, serta lahan resapan yang tergerus oleh konversi penggunaan lahan.
Di beberapa kelurahan, rumah dibangun di bantaran sungai dan dataran banjir historis — praktik yang menambah jumlah jiwa dan aset yang terekspos saat banjir datang. Penelitian empiris setempat menegaskan bagaimana ketidakteraturan tata guna lahan dan buruknya infrastruktur drainase memperparah dampak setiap hujan ekstrem.
Dari perspektif akademik kebencanaan, interaksi antara hazard (curah hujan ekstrem), exposure (banyaknya populasi dan infrastruktur di zona rawan), dan vulnerability (kapasitas lemah sistem drainase, rendahnya kesiapan pengungsi) menjelaskan mengapa Medan—sebagai kota besar di dataran rendah—berulang kali menjadi episentrum banjir.
Model risiko sederhana ini menuntut analisis multi-skala: dari fenomena atmosfer (siklonik, La Niña/Indeks Dipol Samudra Hindia) hingga praktik tata ruang lokal yang menempatkan permukiman dalam koridor banjir. Tanpa sinergi kebijakan antara pemantau cuaca, perencana kota, dan pengelola infrastruktur, upaya mitigasi akan selalu bersifat reaktif.
Respons darurat yang cepat—evakuasi warga, pembukaan posko, dan distribusi bantuan—meminimalkan korban jiwa dan memulihkan kebutuhan dasar. Namun pengalaman Medan menunjukkan respons saja tidak mengurangi frekuensi kerawanan.
BNPB dan Pusdalops regional melaporkan bahwa banjir dan longsor telah melanda puluhan kabupaten/kota di provinsi selama beberapa hari, menuntut mobilisasi sumber daya yang besar dan logistik rumit.
Perbaikan jangka pendek seperti pembersihan saluran, perbaikan tanggul, dan penempatan pompa pompa darurat harus berlanjut dengan program struktural: normalisasi sungai yang selektif, peningkatan kapasitas drainase, penataan ulang kawasan rawan banjir, serta penguatan sistem peringatan dini berbasis hidrometeorologi.
Kendala implementasi bukan hanya teknis, melainkan juga institusional dan sosial. Upaya normalisasi sungai sering berbenturan dengan kepemilikan lahan, kepentingan politik lokal, dan keterbatasan anggaran.
Selain itu, solusi infrastruktur besar memerlukan pendekatan redistributif karena memindahkan risiko tanpa memperhatikan rehabilitasi sosial berpotensi menciptakan kerentanan baru.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan hibrida: infrastruktur keras (grey infrastructure) yang dipadu dengan solusi berbasis alam (green infrastructure), misalnya restorasi resapan hulu, reboisasi tangkapan air, dan pembuatan ruang terbuka hijau yang memungkinkan penyerapan sementara ketika sistem drainase jenuh.
Dari sisi kebijakan, perencanaan kota harus mengadopsi prinsip adaptif: penetapan zona larangan bangunan di koridor aliran utama, insentif relokasi terarah untuk komunitas berisiko tinggi, serta mekanisme pendanaan berkelanjutan untuk pemeliharaan drainase—bukan sekadar proyek sekali jadi.
Di ranah akademik, kajian lintas-disiplin antara klimatologi, hidrologi, dan ilmu sosial diperlukan untuk merancang intervensi yang tepat sasaran: peta risiko berlapis, skenario kebijakan, dan evaluasi biaya-manfaat dari berbagai opsi mitigasi.
Pada akhirnya, banjir di Medan adalah panggilan reflektif: bukan hanya soal memperbaiki pompa atau membersihkan saluran, tetapi merombak pola pembangunan perkotaan yang selama ini menjemput badai.
Kota bisa bertahan bukan karena cepat menanggapi bencana, melainkan karena cerdas mengurangi paparan dan memperkuat kapasitas masyarakat — kombinasi yang menuntut komitmen ilmiah, politik, dan sosial.
Medan belum kehabisan waktu; ia sedang diuji kemampuannya untuk bertransformasi menjadi kota yang tahan terhadap air, bukan kotak penampungnya.[]

