Padahal, fakta dan data berbicara gamblang, 70% DAS di Indonesia dalam kondisi kritis, deforestasi berjalan puluhan ribu hektar per tahun, izin tambang dan perkebunan terus dibuka tanpa kendali, dan penataan ruang lebih tunduk pada modal dibanding keselamatan rakyat. Maka wajar bila setiap hujan deras berubah jadi bencana, bukan karena alam berubah ganas, tetapi karena tata kelola negeri ini yang kian rapuh.
Namun, di saat kita sibuk menyalahkan alam dan cuaca, jarang sekali kita menoleh pada satu pertanyaan besar: adakah sistem yang benar-benar mampu mencegah, bukan hanya merespons bencana?
Jawabannya: ada. Dan peradaban Islam sudah menunjukkan caranya.
Dalam sejarah panjangnya, Islam mengelola wilayah dengan prinsip yang tegas: manusia wajib menjaga amanah Allah atas bumi, dan negara adalah pihak yang bertanggung jawab memastikan amanah itu ditegakkan. Hutan, air, sungai, dan sumber daya alam adalah kepemilikan umum, bukan komoditas yang boleh diserahkan pada korporasi untuk dikuras semaunya.
Negara Islam dulu membangun kanal, bendungan, sistem irigasi besar, pengelolaan aliran sungai, hingga lembaga khusus hisbah untuk mengawasi aktivitas ekonomi agar tidak merusak lingkungan. Ketika terjadi bencana, negara hadir cepat bukan dengan pencitraan, bukan dengan konferensi pers, tapi dengan pelayanan nyata: bantuan langsung, pembiayaan dari baitul maal, evakuasi yang teratur, dan jaminan hidup bagi korban.
Model tata kelola itu bukan utopia. Ia pernah nyata, pernah hidup, dan pernah melindungi jutaan manusia selama berabad-abad. Yang membuatnya berhasil sederhana: keputusan politik tidak tunduk pada kepentingan pemilik modal, tetapi tunduk pada hukum Allah.
Berbeda dengan hari ini, ketika izin eksploitasi bisa diteken dalam semalam, tapi pembangunan tanggul bisa menunggu bertahun-tahun. Ketika perusahaan meraup triliunan dari tanah yang sama yang sekarang menenggelamkan warga, sementara pemerintah sibuk mencari alasan alih-alih solusi.
Banjir Sumatra seharusnya membuat kita sadar, ini bukan sekadar tragedi alam, ini adalah tragedi tata kelola.
Dan selama negeri ini berjalan dengan kacamata kapitalisme yang hanya melihat alam sebagai komoditas, bencana tidak akan berhenti. Kita tidak butuh sekadar tumpukan bantuan, kita butuh perubahan sistem. Perubahan arah. Perubahan paradigma.
Islam telah memberikan jalan: tata kelola yang adil, amanah, dan berpihak pada manusia, bukan modal.
Kini tinggal satu pertanyaan tersisa untuk bangsa ini: Akankah kita terus menambal sistem yang bocor di mana-mana? Atau kita siap kembali pada sistem yang pernah membawa peradaban ini berdiri tegak dan menjaga bumi dengan sebaik-baiknya?
Wallahu a’lam bishowab
Selvi Sri Wahyuni, M.Pd

