Jakarta,deetiksatu.com -- Polemik dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo tak hanya menimbulkan debat hukum, tetapi juga menciptakan persepsi yang bisa mengarah kesalahpahaman di tengah masyarakat. Pihak yang paling dirugikan oleh keadaan ini adalah mereka 8 orang yang saat ini berstatus tersangka. Kata Agusto, pada (26/12/25)
Ia juga mengatakan,Meski ada beberapa tokoh lain yang juga mempertanyakan keaslian ijazah Presiden Jokowi, tulisan ini secara khusus menyoroti sosok Eggi Sudjana, tanpa mengesampingkan pihak lain, tetapi karena posisi dan perannya dalam kasus ini memiliki tekanan dan dampak sosial yang berbeda.
Eggi Sudjana, pelan-pelan dibaca publik bukan lagi sebagai pengacara, melainkan seolah-olah bagian dari permainan politik besar yang melibatkan tokoh-tokoh lama seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri.
Kesalahpahaman ini bermula ketika kritikus politik Faisal Assegaf menyampaikan pandangannya di ruang publik, bahwa polemik ijazah Jokowi tidak berdiri sendiri, menurutnya berkaitan dengan konflik dan kepentingan elite lama.
Dari sana muncul tudingan bahwa SBY dan Megawati adalah pihak yang berada di balik ramainya isu ini. Ia beranggapan isu tersebut terus hidup karena ada kepentingan politik besar, bukan semata soal hukum atau keaslian dokumen.
Meski pernyataan Faisal Assegaf tidak disertai bukti hukum yang jelas, membuktikan bahwa SBY atau Megawati mengatur atau mengendalikan polemik ijazah Jokowi. Namun di tengah masyarakat, tudingan seperti ini mudah berkembang menjadi anggapan. Akibatnya, siapa pun yang terlihat aktif dalam isu ini langsung dicurigai sebagai bagian dari kepentingan politik mereka.
Di sinilah Eggi Sudjana menjadi korban. Banyak orang lupa atau sengaja mengabaikan fakta sederhana bahwa Eggi muncul dalam perkara ini karena profesinya sebagai pengacara, berbeda dengan "SBY dan Megawati". Eggi diminta oleh Bambang Tri (Penulis Buku Jokowi Undercover) untuk menjadi kuasa hukum dalam proses hukum terkait ijazah Jokowi. Hubungan mereka adalah klien dan pengacara.
Secara nyata, Eggi Sudjana tidak pernah menyatakan dirinya bagian dari kubu SBY maupun Megawati, bukan pula pengurus partai, tim politik, juga tidak memiliki jabatan apa pun yang berkaitan dengan kekuasaan mereka. Ia berdiri di ruang pengadilan, membela klien yang meminta pendampingan hukum.
Sayangnya, ketika isu hukum dicampur dengan tudingan politik elite, persepsi publik menjadi kabur. Eggi Sudjana seolah-olah dijadikan “kendaraan” atau alat oleh kekuatan besar di belakang layar untuk menekan Jokowi. Fakta di lapangan ia tidak menggebu-gebu dalam pernyataannya didepan media.
Padahal ia justru menanggung resiko paling besar. Ia disorot, diserang, dicurigai, bahkan distigma oleh seorang TSK ijazah Jokowi dengan isu menerima uang suap uang 50 M dari Jokowi, sementara tokoh-tokoh yang disebut-sebut berada di belakang tetap berada di luar tekanan langsung.
Jika cara berpikir seperti ini terus dibiarkan, yang rusak bukan hanya nama Eggi Sudjana, tapi rasa keadilan kita bersama. Dalam negara hukum, seorang pengacara tidak boleh dihakimi karena klien yang dibelanya. Kalau setiap pengacara yang menangani perkara sensitif langsung dicap sebagai alat politik, maka siapa lagi yang berani menjalankan profesi hukum secara jujur?
Polemik ijazah Jokowi seharusnya ditempatkan di jalur yang benar, yaitu jalur hukum dan pembuktian, bukan ditarik-tarik ke permainan persepsi politik. Menuduh tanpa bukti hanya akan memperkeruh suasana dan menciptakan korban baru, salah satunya Eggi Sudjana.
Rakyat kecil perlu melihat persoalan ini dengan kepala dingin. Jangan sampai orang yang bekerja sesuai profesinya justru dihukum oleh opini. Kalau hukum sudah kalah oleh prasangka, maka yang rugi bukan hanya satu orang, tetapi seluruh rasa keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penutup
Jika pernyataan Faisal Assegaf benar dan terbukti bahwa Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri berada di balik polemik pro dan kontra dugaan ijazah palsu Joko Widodo, maka publik justru perlu melihat persoalan ini secara jernih dan adil, termasuk dari sisi argumen pembelaan yang mungkin dimiliki SBY dan Megawati.
Jika dikaitkan dengan tudingan bahwa pihak-pihak seperti Eggi Sudjana dan lainnya dianggap sebagai perpanjangan tangan politik, SBY dan Megawati bisa menegaskan bahwa mereka tidak memiliki hubungan struktural, instruksi, atau komando dengan para pengkritik ijazah Jokowi. Dalam sistem demokrasi, seseorang bisa bersuara keras tanpa harus berada di bawah kendali tokoh besar mana pun.
Hal penting lainnya adalah bahwa SBY dan Megawati tidak memperoleh keuntungan politik langsung dari polemik ini. Jokowi sudah tidak lagi mencalonkan diri sebagai presiden, dan kontestasi kekuasaan nasional telah memasuki babak baru. Dengan demikian, jika isu ijazah tetap muncul, mereka dapat menyatakan bahwa hal itu bukan untuk merebut kekuasaan, melainkan bagian dari dinamika politik pasca-kepemimpinan yang tidak selalu rapi.
Namun demikian, publik juga berhak bersikap kritis. Jika tudingan Faisal Assegaf benar dan terbukti, maka argumen-argumen tersebut tetap harus diuji dengan satu pertanyaan sederhana yang dipahami rakyat kecil: mengapa isu ini dibiarkan terus hidup tanpa ada upaya nyata untuk meredamnya demi kebaikan bangsa? Di sinilah tanggung jawab moral seorang mantan presiden menjadi ukuran, bukan sekedar alasan politik atau hukum.
Kesimpulannya, jika pernyataan Faisal Assegaf benar, SBY dan Megawati masih memiliki ruang argumen untuk membela diri secara rasional. Namun pembelaan itu hanya akan diterima publik bila disertai sikap terbuka, kejujuran, dan niat tulus menjaga persatuan. Tanpa itu, diam dan membiarkan isu berlarut-larut justru akan memperkuat kecurigaan, bukan meredakannya.
Sumber: Agusto Sulistio
Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).

