Sumbawa, detiksatu.com — Di bawah terik matahari pertengahan Desember, puluhan petani menyusuri saluran irigasi yang dipenuhi lumpur, rerumputan liar, dan sisa longsoran bangunan. Ada yang mengangkat endapan tanah dengan cangkul dan sekop, sebagian lain membersihkan sumbatan aliran air dengan tangan kosong. Tak ada papan proyek, tak ada seremoni pejabat. Yang tampak hanyalah kerja sunyi—namun dilakukan serentak.
Pemandangan serupa berlangsung di dua pulau sekaligus: Lombok dan Sumbawa. Gotong royong lintas wilayah ini digelar Forum Komunikasi Perkumpulan Petani Pemakai Air Nusa Tenggara Barat (FKP3A NTB) untuk memperingati Hari Lahir Provinsi NTB ke-67. Bagi para petani, kegiatan itu bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan pernyataan sikap.
“Ini cara kami menunjukkan bahwa pengelolaan irigasi bisa berjalan adil, efektif, dan efisien jika petani dilibatkan langsung,” ujar Ketua FKP3A NTB, Iwan Firmansyah, Rabu (17/12/2025).
Menurut Iwan, ketergantungan penuh pada anggaran negara kerap membuat perbaikan irigasi tersendat oleh prosedur dan waktu. Di sisi lain, petani yang sehari-hari bergantung pada air justru memiliki kepentingan paling nyata untuk menjaga saluran tetap berfungsi. “Antusiasme petani tinggi. Yang dibutuhkan bukan seremoni, melainkan regulasi yang benar-benar berpihak pada asas manfaat,” tegasnya.
Di Lombok, gotong royong dipusatkan di Daerah Irigasi Pandan Duri, Kabupaten Lombok Timur. Di kawasan ini, persoalan irigasi berulang dari tahun ke tahun: sedimentasi di hulu, longsoran bangunan, serta pendangkalan saluran sekunder dan tersier.
“Saluran primer relatif aman. Masalah utama justru di sekunder dan tersier. Debit air sering tak sebanding dengan luas areal yang diairi,” kata Zulhakim, Koordinator Kecamatan Keruak–Jerowaru FKP3A Lombok Timur.
Sumber air Pandan Duri sangat bergantung pada tampungan hujan. Memasuki akhir Juli, debit air biasanya menyusut sehingga musim tanam ketiga kerap tak terkejar. Dalam kondisi seperti itu, peran P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air) menjadi krusial. “Tanpa P3A, air habis di hulu. Mereka yang memastikan air sampai ke petani paling hilir,” ujarnya.
Di Sumbawa, gotong royong serupa dilakukan di Dompu, Sumbawa Barat, dan Sumbawa. Di Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, petani membersihkan saluran yang rawan ambruk dan terdampak banjir.
“Bagi kami, gotong royong ini sangat berarti. FKP3A NTB menjadi penghubung aspirasi petani dengan pemerintah,” kata Damhuji, Koordinator Kecamatan FKP3A Lunyuk.
Ia menyebut sedikitnya tiga titik saluran mengalami kerusakan cukup parah. Banyak saluran tersier masih berupa tanah, sehingga mudah rusak dan menyulitkan pengaturan air. “Kondisi ini membuat pekasi bekerja lebih berat dan butuh perawatan terus-menerus,” tuturnya.
Di Kabupaten Sumbawa Barat, gotong royong serentak dimaknai sebagai upaya membangkitkan kembali kemandirian petani. “Selama ini gotong royong ada, tapi tak terjadwal. Kali ini kami lakukan bersama-sama untuk menunjukkan bahwa petani bisa bergerak tanpa selalu menunggu pemerintah,” ujar Abdul Aziz, Koordinator Wilayah FKP3A Sumbawa Barat.
Ia menyinggung lambannya respons kebijakan saat kondisi darurat. Pasca-banjir di Taliwang, misalnya, beberapa saluran primer jebol dan belum tertangani cepat. “Jika dikelola langsung oleh petani, irigasi bisa segera berfungsi. Kalau menunggu prosedur panjang, air keburu tersendat,” katanya.
Sementara di Dompu, pembukaan hutan untuk tanaman jagung menyebabkan material tanah menutup jaringan irigasi. “Kami normalisasi bersama pengamat dan P3A. Namun persoalan ini akan terus berulang jika tak ada perhatian serius,” ujar Muhammad Yamin, Koordinator Wilayah FKP3A Dompu.
Ia menambahkan, petani bahkan harus mengumpulkan dana swadaya untuk menyewa alat berat demi membersihkan saluran. “Kami bergerak karena tak ada pilihan lain. Tapi ketahanan pangan tak bisa terus-menerus dibebankan pada swadaya petani,” ucapnya.
Meski dibalut semangat gotong royong, gerakan ini menyimpan kritik tersirat terhadap pola pengelolaan irigasi yang masih cenderung top-down. “Ini bahan evaluasi bersama. Petani jangan hanya dijadikan objek, tetapi subjek dalam kebijakan irigasi,” kata Iwan.
Di sisi pemerintah provinsi, gerakan ini mendapat apresiasi. Juraedah Dwi Anggraeni, Kepala Sekretariat Komisi Irigasi Provinsi NTB, menyatakan, “Kami sangat setuju dan sepakat dengan gerakan yang dilakukan teman-teman Forum P3A. Jaringan irigasi pada dasarnya adalah milik petani, karena petani merupakan penerima manfaat langsung dari sistem irigasi.”
Menurut Ewi, sapaan akrabnya, kolaborasi petani dan pemerintah sangat penting. “Jika semua pihak bergabung dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan bersama, insyaallah jaringan irigasi dapat terpelihara dengan lebih baik. Gerakan ini juga menumbuhkan semangat kebersamaan petani dan idealnya bisa dilakukan secara rutin.”
Komisi Irigasi Provinsi NTB menilai, penguatan P3A dan partisipasi petani sejalan dengan arah kebijakan pengelolaan irigasi provinsi. “P3A dapat terlibat dalam kegiatan operasi, pemeliharaan, hingga rehabilitasi jaringan tersier. Pendekatan partisipatif ini memungkinkan petani menjadi bagian dari tim monitoring dan evaluasi,” kata Ewi.
Namun, tantangan utama tetap ada. Ewi menekankan perlunya penguatan basis data dan kapasitas P3A, termasuk inventarisasi jumlah, wilayah kerja, dan tingkat kemandirian setiap kelompok. “Dengan data dan kapasitas yang kuat, P3A dapat berkolaborasi lebih efektif, tidak hanya saat gotong royong, tapi juga dalam perencanaan dan pengelolaan irigasi secara berkelanjutan,” ujarnya.
FKP3A NTB menilai persoalan irigasi tak bisa dilepaskan dari ketahanan pangan. Gotong royong lintas Lombok–Sumbawa ini dimaksudkan sebagai pesan bahwa ketahanan pangan harus dipandang secara utuh, dari hulu hingga hilir, dari kebijakan hingga praktik di lapangan.
Anggota FKP3A NTB yang tersebar di delapan kabupaten dan dua kota di NTB juga merupakan anggota GP3A (Gabung Perkumpulan Petani Pemakai Air) dan IP3A (Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air), sehingga memperkuat koordinasi lintas wilayah.
Dalam setahun ke depan, FKP3A NTB menargetkan pengakuan yang lebih kuat terhadap P3A dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan irigasi. “Keberhasilan pangan sangat ditentukan oleh bagaimana negara memperlakukan pengelola air di tingkat bawah,” ujar Iwan.
Di tengah lumpur dan saluran yang dibersihkan secara swadaya, para petani NTB telah menyampaikan pesan mereka. Soal irigasi, mereka tak lagi sekadar menunggu. Mereka mengambil alih urusan air—dan menantang negara untuk menyusul. (bgs)

