Inlander Modern: Bencana, Kekuasaan, dan Amnesia Post-Kolonialisme

Redaksi
Desember 06, 2025 | Desember 06, 2025 WIB Last Updated 2025-12-06T01:15:39Z
Pendahuluan: Dari Pengakuan Gubernur ke Luka Kolektif

Pernyataan Gubernur Sumatera Barat yang menyebut bahwa pemerintah daerah tidak mampu membangun kembali infrastruktur pasca–banjir bandang karena kebutuhan anggaran mencapai empat triliun rupiah terasa seperti tamparan bagi kesadaran publik. Bukan hanya karena besarnya angka, tetapi karena kita tahu persis bahwa bencana sebesar ini tidak berdiri sendiri. Ia adalah buah dari serangkaian keputusan politik yang dibiarkan berlangsung selama puluhan tahun, penebangan hutan, tambang ilegal, korupsi perizinan, dan pembiaran terhadap praktik yang merusak ruang hidup masyarakat.

Membaca pernyataan itu, saya terdiam cukup lama. Ada rasa kesal yang sulit diungkapkan, sekaligus perasaan getir melihat bagaimana bangsa yang telah merdeka lebih dari delapan dekade masih saja bergulat dengan mentalitas yang seolah diwariskan dari masa kolonial: mental inlander.

Ketika hutan dirusak demi keuntungan cepat, ketika sungai digali tanpa kendali, ketika pejabat yang seharusnya menjaga hajat hidup orang banyak justru ikut menikmati rente dari aktivitas ilegal, maka bencana hanya tinggal menunggu waktu. Masyarakatlah yang kemudian menanggung akibatnya: kehilangan rumah, kehilangan tanah, kehilangan nyawa. Lalu setelah itu, bertanya-tanya mengapa anggaran tidak cukup untuk memulihkan kerusakan.

Masalahnya bukan hanya kerusakan fisik, tetapi kerusakan karakter. Inilah yang saya sebut sebagai amnesia post-kolonialisme, sebuah kondisi ketika bangsa merdeka lupa bahwa kemerdekaan seharusnya diikuti dengan pembentukan karakter baru, bukan meneruskan warisan mental tunduk, oportunis, dan haus gengsi yang dahulu ditanamkan kolonialisme.

Jejak Pemikiran Rosihan Anwar dan Walraven: Cermin yang Tak Pernah Kita Tatap

Rosihan Anwar pernah mengangkat kembali tulisan seorang pengamat Belanda, Walraven, tentang mental inlander. Walraven menggambarkan tipe manusia yang otokratis namun rapuh, ingin kuasa tanpa batas, tetapi mudah pecah oleh perkara sepele. Orang yang ingin dihormati, tetapi tidak mampu menghormati dirinya sendiri. Orang yang ingin memerintah, tetapi tidak memahami hakikat kepemimpinan.

Walraven bahkan menulis: “I have no patience with them.” Ia menggambarkan inlander sebagai sosok yang menginginkan pemerintahan sendiri dan menyebut dirinya Indonesier, namun tidak memahami substansi dari kebangsaan itu sendiri. Mereka tampak berani, tetapi hanya di permukaan. Mereka tampak kuat, tetapi rapuh ketika diuji. Mereka tampak modern, tetapi mentalnya masih terikat cara berpikir kolonial.

Ironisnya, setelah merdeka, kita justru membiarkan karakter inlander itu tumbuh kembali dalam bentuk baru: pejabat yang merasa istimewa, birokrat yang tidak mau diganggu kepentingannya, dan elite lokal yang memanfaatkan kuasa untuk mengamankan status sosial serta gaya hidup mewah.

Rosihan Anwar tidak sedang berkata bahwa bangsa ini tidak layak memerintah dirinya sendiri. Ia hanya mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan hanya persoalan mengusir penjajah, tetapi membangun mental merdeka. Tanpa itu, kita hanya mengganti tokoh, bukan menghapus pola pikir lama. Dan ketika mental itu bercokol di tangan pejabat yang mengatur hutan, tambang, tata ruang, dan izin usaha, maka akibatnya sangat nyata: banjir, tanah longsor, hilangnya keanekaragaman hayati, sampai kerusakan sosial yang tidak mudah dipulihkan.

Banjir Bandang Sumatera: Potret Kerusakan yang Tidak Diakui

Banjir bandang yang melanda Sumatera tidak dapat dilepaskan dari deforestasi. Banyak laporan akademik menunjukkan bahwa wilayah hulu sungai telah mengalami penebangan besar-besaran dalam dua dekade terakhir. Ditambah lagi aktivitas tambang ilegal yang menggunakan alat berat tanpa pengawasan, mengubah kontur tanah, merusak daerah resapan, dan membebani sungai dengan sedimen berlebihan.

Ketika hujan datang dengan intensitas tinggi, tanah yang gundul tidak mampu lagi menahan air. Sungai yang telah dipenuhi lumpur tidak sanggup mengalirkannya. Maka terjadilah bencana yang oleh pemerintah disebut sebagai “force majeure” padahal sebagian besar adalah hasil perbuatan tangan manusia sendiri.

Anehnya, setelah bencana terjadi, sebagian pejabat turun ke lokasi sambil membawa kamera. Kedatangan mereka tampak seperti panggung pencitraan. Ada yang berfoto di tengah reruntuhan rumah, ada yang membagikan paket bantuan sambil disiarkan langsung, ada yang sibuk memberi pernyataan bahwa pemerintah telah bekerja keras.

Namun tidak ada yang mau mengakui bahwa sebagian perizinan tambang dan pembalakan liar mendapat restu dari lembaga yang mereka pimpin. Tidak ada yang mau mengatakan bahwa kebijakan mereka telah ikut membuka jalan bagi bencana. Inilah karakter petit borjuis yang dikritik Walraven: orang-orang yang haus penghormatan, ingin disanjung sebagai penyelamat, tetapi tidak mau memikul tanggung jawab moral.

Amnesia Post-Kolonialisme: Ketika Bangsa Merdeka Lupa Menjadi Merdeka

Mental inlander yang muncul dalam bentuk baru ini sebenarnya adalah gejala dari amnesia kolektif. Kita lupa bahwa perjuangan kemerdekaan bukan hanya soal melawan penjajah asing, tetapi membangun sistem yang adil, pemimpin yang berintegritas, dan warga negara yang sadar hak serta kewajiban.

Amnesia Post Kolonialisme terlihat dari:

1. Rendahnya penghargaan terhadap sumber daya alam.
Banyak pejabat melihat hutan sebagai komoditas, bukan sebagai ruang hidup masyarakat dan ekosistem yang harus dijaga.

2. Budaya pamer yang dilegitimasi jabatan.
Gaya hidup mewah dijadikan simbol kesuksesan, bahkan ketika berasal dari sumber yang meragukan.

3. Ketidakmampuan menerima kritik.
Padahal kritik adalah bagian dari demokrasi, bukan ancaman bagi kekuasaan.

4. Pembiaran terhadap praktik ilegal demi keuntungan kelompok kecil.
Ini membuat negara kehilangan pendapatan dan masyarakat kehilangan keselamatan.

Pada titik ini, kita tidak lagi berhadapan dengan persoalan lingkungan semata, tetapi persoalan pembentukan karakter bangsa. Selama mental inlander masih menempel pada para pengambil kebijakan, bencana akan terus terjadi dan anggaran sebesar apa pun tidak akan cukup menambal kerusakan.

Kunjungan Pejabat dan Pencitraan yang Mengabaikan Luka Warga

Dalam banyak peristiwa bencana, termasuk banjir bandang terbaru, terlihat pola yang berulang: pejabat datang, berfoto, memberikan pernyataan singkat, lalu pergi. Tidak ada dialog mendalam dengan warga. Tidak ada keterlibatan masyarakat dalam penyusunan rencana pemulihan. Tidak ada penjelasan transparan tentang bagaimana izin tambang diberikan, siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana mekanisme evaluasi akan dijalankan.

Momentum seperti ini seharusnya menjadi saat untuk membangun kepercayaan publik. Tetapi justru berubah menjadi peragaan kekuasaan. Warga yang kehilangan rumah dan anggota keluarga merasa mereka hanya menjadi latar belakang visual bagi pejabat yang ingin terlihat bekerja.

Dalam konteks ini, kritik terhadap “mental inlander” menjadi sangat relevan. Karena mental inlander modern adalah mental yang memandang rakyat sebagai objek, bukan subjek; sebagai penonton, bukan pemilik negara.

Membangun Karakter Bangsa yang Merdeka: Jalan Panjang yang Harus Dimulai Sekarang

Jika bangsa ini ingin keluar dari lingkaran bencana ekologis, maka ada tiga langkah mendesak yang perlu diterapkan:

1. Reformasi tata kelola lingkungan yang tegas dan transparan

Perizinan hutan, tambang, dan perkebunan harus dibuka kepada publik. Semua izin lama harus dievaluasi. Pejabat yang terbukti menerima suap atau menyalahgunakan wewenang harus diproses hukum tanpa pandang bulu.

2. Pendidikan karakter kewarganegaraan

Sekolah, kampus, dan organisasi masyarakat sipil harus menghidupkan kembali pendidikan politik yang membentuk warga negara yang kritis, peduli lingkungan, dan menghargai kebenaran.

3. Pemberantasan mental petit borjuis

Ini bukan soal melarang orang kaya, tetapi menghapus budaya pamer yang menjadikan jabatan sebagai alat status sosial. Pejabat publik harus tampil sederhana, bekerja tenang, dan tidak mencari popularitas dari penderitaan rakyat.

Tanpa membenahi karakter, semua regulasi hanya kertas kosong.

Penutup: Mencari Jalan Keluar dari Bayang-Bayang Kolonialisme

Bencana banjir bandang di Sumatera hanyalah salah satu cermin dari kerusakan moral yang lebih besar. Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan alam, cuaca ekstrem, atau faktor eksternal lain. Sudah saatnya bangsa ini bercermin pada dirinya sendiri.

Jika kita terus membiarkan mental inlander menguasai birokrasi, maka tidak peduli seberapa besar anggaran disediakan, kerusakan akan tetap terjadi. Negara ini butuh pemimpin yang benar-benar merdeka secara mental. Pemimpin yang berani menolak suap, menindak ilegalitas, dan berpihak pada kepentingan publik.

Karena kemerdekaan sejati bukan hanya soal mengusir penjajah, tetapi membebaskan diri dari pola pikir yang membuat kita menjadi budak di tanah sendiri.

Daftar Referensi Terverifikasi

1. Tempo – “Inlander”
https://www.tempo.co/kolom/inlander-884042

2. MUI Bogor – “Peringatkan Bahaya Mental Inlander”
https://mui-bogor.org/index.php/berita/peringatkan-bahaya-mental-inlander-lpkpu-sambangi-smkn-2-cibinong/

3. Universitas Medan Area – “Ketahui Mental Inlander”
https://bpmbkm.uma.ac.id/2022/03/04/ketahui-mental-inlander-mental-tidak-mengapresiasi-bangsa-sendiri-yang-harus-dihilangkan/

4. Sastra-Indonesia.com – “Inlander Dinilai” (tulisan Rosihan Anwar)
https://sastra-indonesia.com/2011/10/inlander-dinilai/

5. Kompas TV – “Gubernur Sumbar Blak-blakan Tidak Mampu Bangun Infrastruktur Pasca Bencana”
https://www.kompas.tv/nasional/635010/gubernur-sumbar-blak-blakan-tidak-mampu-bangun-infrastruktur-pasca-bencana-itu-tidak-kurang-rp4-t
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Inlander Modern: Bencana, Kekuasaan, dan Amnesia Post-Kolonialisme

Trending Now

Iklan

iklan