Dalam tradisi keislaman, para ulama kerap mengingatkan bahwa bencana adalah tazkirah—peringatan—agar manusia kembali kepada jalan yang lurus. Banjir fisik dapat dicegah dengan tanggul dan tata kota, tetapi banjir dosa hanya dapat ditahan dengan iman dan takwa.
Istilah “banjir dosa” merujuk pada meluasnya perilaku maksiat yang dianggap biasa. Dosa tidak lagi dipandang sebagai pelanggaran moral, tetapi sebagai bagian dari budaya modern. Tayangan hiburan yang vulgar, praktik korupsi yang dianggap hal lumrah, pergaulan bebas, penyalahgunaan wewenang, natal bersama, hingga hilangnya kepedulian sosial menjadi genangan-genangan yang akhirnya membentuk banjir dosa.
Imam Ibn al-Qayyim menggambarkan dosa sebagai al-gharaq—tenggelamnya manusia dalam gelombang syahwat dan kelalaian—yang perlahan membutakan mata hati (bashirah). Ketika dosa dilakukan terus menerus tanpa rasa bersalah, hati menjadi keras seperti batu. Dalam kondisi demikian, nasihat, musibah, bahkan ayat-ayat Allah pun sulit masuk.
Fenomena banjir dosa atau banjir maksiyat bukan sekadar soal perilaku individu. Ia memiliki dimensi sosial. Ketika masyarakat membiarkan kemungkaran merajalela, kemaksiatan akan tumbuh menjadi budaya, bukan lagi penyimpangan. Nabi Muhammad ﷺ sudah mengingatkan: “Jika kemaksiatan tampak terang-terangan di suatu kaum, maka akan tersebarlah wabah dan azab yang tidak pernah muncul pada generasi sebelumnya.” (HR. Ibnu Majah)
Peringatan ini sangat relevan hari ini. Maksiat sosial seperti pembohongan publik, eksploitasi alam, keserakahan ekonomi, dan merosotnya integritas birokrasi adalah bentuk maksiat kolektif yang dampaknya jauh lebih luas daripada kesalahan perorangan.
Ulama kontemporer, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, menegaskan bahwa maksiat sosial memiliki efek berantai: merusak keadilan, meruntuhkan kepercayaan publik, dan merampas hak rakyat. Ketika sistem rusak, bencana moral tak bisa dihindari.
Dalam Al-Qur’an, azab bukan sekadar hukuman, tetapi bagian dari sunnatullah—hukum sebab-akibat. Ketika manusia melampaui batas, terjadi kerusakan yang kembali menghantam mereka sendiri.
Allah berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan laut akibat ulah tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali.” (QS. Ar-Rum: 41)
Kerusakan alam—hutan gundul, sungai tercemar, kota penuh beton—adalah contoh “maksiat ekologis” yang menghasilkan azab berupa banjir, longsor, dan iklim ekstrem. Para ahli lingkungan menyebut fenomena ini sebagai ecological backlash, sebuah istilah yang sejalan dengan konsep Al-Qur’an tentang akibat dari kezaliman manusia terhadap bumi.
Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut tidak selalu berbicara tentang azab dalam bentuk kilat atau gempa. Bisa saja azab itu berupa kerusakan sistem, krisis akhlak, dan kekacauan sosial. “Azab bukan hanya soal apa yang menyakitkan jasmani,” ujarnya, “tetapi juga apa yang merusak tatanan kehidupan.”
Para ulama menegaskan bahwa azab sering kali bertujuan mengingatkan, bukan semata-mata menghukum. Imam Al-Ghazali menyebutnya sebagai rahmat yang tersembunyi: Allah mengembalikan manusia ke jalan-Nya dengan cara yang mereka bisa rasakan.
Ketika peringatan halus tidak mempan—nasihat, ajakan, dan ayat—maka Allah menurunkan peringatan yang lebih tegas berupa musibah. Bukan karena Allah kejam, tetapi karena manusia keras kepala.
Dalam sejarah, kaum Nabi Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan kaum Saba’ menerima azab setelah maksiat mereka berubah menjadi budaya dan perlawanan terhadap kebenaran. Peringatan demi peringatan diabaikan, hingga akhirnya azab turun sebagai bentuk penyucian bumi.
Zaman Kini: Banjir Dosa Lebih Dahsyat dari Banjir Air
Banjir yang kita saksikan hari ini bukan sekadar curah hujan tinggi. Para pakar hidrologi menyebutkan bahwa perubahan iklim, buruknya tata ruang, dan rusaknya hutan memperparah bencana. Namun para ulama melihat sisi lain: banjir moral yang tidak kalah berbahaya.
Ustadz Abdul Somad pernah mengingatkan, “Banjir itu bukan hanya dari langit, tetapi juga dari bumi—banjir maksiat, banjir korupsi, banjir jabatan yang diperjualbelikan. Itu semua akan kembali kepada kita dalam bentuk bencana.”
Sementara Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menulis bahwa bencana yang menimpa suatu bangsa bisa terjadi ketika keadilan mati. Ketika pemimpin zalim dan rakyat diam, maka fitnah dan kekacauan pasti datang.
Untuk menghentikan banjir moral, diperlukan gerakan yang dimulai dari diri sendiri maupun oleh masyarakat. Selain taubat individu dan masyarakat, juga penegakan amar makruf nahi mungkar harus dilaksanakan. Selain itu para pemimpin harus menegakkan keadilan di samping juga menjaga alam agar senantiasa harmonis dengan manusia.
Akibat Dosa
Menurut Imam Al-Ghazali (450–505 H) dalam Ihya’ Ulumiddin, dosa memiliki efek langsung pada hati: ia membuatnya gelap, keras, dan tertutup dari cahaya hidayah. Ia menyebut dosa sebagai “racun spiritual” yang merusak hubungan antara manusia dan Allah. “Dosa-dosa itu menimbulkan kegelapan di hati. Jika ia bertambah, maka kegelapan itu menjadi kabut pekat yang menutupi hati dari cahaya kebenaran,” kata Imam Ghazali.
Sedangkan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (691–751 H) menulis panjang lebar tentang dosa dalam Ad-Daa’ wad-Dawaa’ (Obat dan Penyakit). Baginya, dosa adalah penyakit paling mematikan yang mengundang musibah, kesempitan hidup, dan hilangnya keberkahan. “Sesungguhnya di antara akibat dosa adalah menjadikan pelakunya merasa sempit, gelisah, dan jauh dari Rabb-nya, meskipun ia memiliki seluruh dunia.” Ibnu Qayyim juga menegaskan bahwa maksiat yang dilakukan terang-terangan dapat mengundang azab kolektif.
Ibnu Taimiyah (661–728 H) dalam Majmu’ Fatawa menyatakan bahwa dosa bukan hanya merusak individu, tetapi melemahkan kejayaan kaum Muslim. Ia menghubungkan dosa dengan runtuhnya kekuatan moral dan militernya suatu umat. “Tidaklah suatu kaum dikalahkan kecuali karena dosa-dosa mereka. Dan tidaklah Allah menolong suatu kaum kecuali dengan ketaatan mereka kepada-Nya,” kata Ibnu Taimiyah.
Sementara itu Imam Nawawi (631–676 H) dalam Syarh Shahih Muslim, mengingatkan bahwa dosa dapat melipatgandakan akibat buruk bila dilakukan terus-menerus. “Dosa kecil dapat menjadi besar karena terus diulang dan disepelekan,” kata Imam Nawawi.
Sedangkan Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali (736–795 H) dalam Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam, menjelaskan bahwa musibah sering kali terkait dengan maksiat, berdasarkan hadis-hadis Nabi. “Musibah-musibah yang menimpa seorang hamba seringkali karena dosa yang telah ia lakukan,” kata Ibnu Rajab.
Imam As-Suyuthi dalam Ad-Durr al-Mantsur menjelaskan hubungan antara maksiat dengan rusaknya alam. “Kerusakan yang tampak di darat dan laut adalah akibat maksiat manusia, maka Allah memperlihatkan sebagian akibatnya agar mereka kembali.”
Buya Hamka (1908–1981) dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan bahwa dosa kolektif suatu bangsa dapat menghancurkan peradabannya. “Suatu bangsa yang tenggelam dalam maksiat akan rapuh dari dalam. Sebelum musuh datang dari luar, mereka sudah binasa oleh dosa sendiri.” []

