Luna: Stigma Masyarakat terhadap Pesantren, Viralitas atau Moralitas?

Redaksi
Desember 11, 2025 | Desember 11, 2025 WIB Last Updated 2025-12-10T18:49:20Z
Malang,detiksatu.com __ Beberapa waktu lalu, Sidoarjo telah menyebar kabar pilu. Berita berasal dari sebuah pesantren yang notabene-nya bukanlah pesantren kecil apalagi abal-abal— Al Khoziny, yang tahun ini genap sudah usianya mencapai satu abad. 

Siapa yang menyangka bangunan mushola itu akan roboh secara tiba-tiba saat para santri tengah melaksanakan salat asar berjamaah. Sejumlah santri sempat terjebak di antara reruntuhan bangunan yang sebelum pada akhirnya dievakuasi oleh belasan ambulan. 

Saat itu, aparat kepolisian dan tim BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) pun dikerahkan. Dibantu alat berat untuk menyisir puing-puing bangunan demi mencari para korban. Sungguh tragis sekaligus pilu, tangis keluarga pecah saat menanti kabar tentang anak atau saudara mereka yang menjadi santri di pesantren tersebut. 

Di tengah keresahan itu, pengasuh pesantren dengan tegar berkata, “Saya kira ini takdir dari Allah. Jadi, semuanya harus bisa bersabar dan mudah-mudahan diberi ganti oleh Allah yang lebih baik.”

Alih-alih mengambil sisi positif dari ucapan KH Abdus Salam Mujib pada media tersebut, sebagian warganet justru menyalahartikan yang pada akhirnya lahirlah hate comment. 

Banyak yang menilai pernyataan tersebut sebagai bentuk ketidakpedulian, padahal beliau hanya mengajarkan sikap sabar dan tawakal di tengah ujian.

“Sebagai seorang santri yang juga berasal dari Kota Udang, saya merasa terpukul atas hal demikian. Saya paham dengan apa yang mereka rasakan, saya juga memiliki adik yang seusia dengan para korban. Namun, dengan mendengar kesalahpahaman itu, membuat hati saya campur aduk antara duka, resah, dan geram, yang terasa begitu nyata.”

Sementara di tengah suasana berduka itu, terlihat hal yang lebih menyakitkan lagi. Bukan dari reruntuhan bangunan, tetapi dari komentar-komentar di media sosial. Banyak di antara mereka yang tidak pernah hidup di pesantren, bahkan tidak mengenal dunia kepesantrenan sama sekali, dengan mudahnya menyalahkan Kiai dan lembaga pesantren atas kejadian tersebut. 

Sebagian dari mereka menuduh pengurus lalai, sebagian lagi mengatakan bahwa pondok hanya memanfaatkan santri tanpa memikirkan keselamatan mereka. Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, bisa jadi mereka yang berbicara seperti itu mungkin tak pernah tahu bagaimana kehidupan pesantren sesungguhnya, yang sederhana, penuh kebersamaan, dan selalu diselimuti barokah keluarga ndalem dan asatidz.

Meski tragedi itu belum juga diselesaikan, bahkan bisa dikatakan masih “anget-angetnya” media malah memunculkan persoalan baru yang memancing kemarahan seluruh santri di Indonesia. Yakni tayangan di salah satu chanel televisi terkenal— Trans7 yang dinilai melecehkan Kiai dan sistem yang terdapat di pesantren. 

Dalam tayangan tersebut, pesantren dideskripsikan secara diskriminatif. Digambarkan bahwa pesantren seolah-olah adalah tempat yang kolot, keras, dan para Kiainya hidup bermewah-mewahan. Secara cekatan, tayangan itu pun menjadi viral di dunia maya. Hal itu menimbulkan gelombang protes besar dengan tagar #BoikotTrans7 di berbagai platform media sosial.

Ironisnya, ketika tragedi tersebut terjadi atau saat isu negatif muncul, media berlomba memberitakan. Namun, di mana mereka ketika para santri menorehkan prestasi? Di mana mereka ketika para santri berhasil memenangkan lomba? Di mana mereka ketika para santri menulis sebuah karya ilmiah, atau bahkan sampai membawa nama indonesia ke kancah internasional?

Wa asyghili dzolimin bi dzolimin.” Sibukkanlah orang-orang zalim dengan sesama orang zalim.

Sebagian masyarakat menilai tayangan itu tidak adil dan cenderung menyesatkan opini publik. Bukan kritik yang membangun, melainkan framing yang menggiring kebencian terhadap ulama dan lembaga pesantren. 

Peristiwa tersebut, tentang tragedi ambruknya pondok dan tayangan yang ada di Trans7, keduanya seakan-akan saling terhubung. Keduanya memperlihatkan satu masalah besar, masih banyak orang yang belum benar-benar memahami dunia pesantren. 

Di satu sisi, tragedi itu menjadi ujian bagi pesantren dan para santri. Di sisi lain, munculnya tayangan televisi tersebut memperkuat kesalahpahaman lama yang terus diwariskan tanpa dasar pengetahuan yang cukup.

“Sebagai santri, saya tidak menolak kritik. Saya paham bahwa setiap lembaga, termasuk pesantren, pasti punya kekurangan. Tapi yang membuat sedih adalah ketika kritik berubah menjadi caci maki, ketika empati tergantikan oleh tuduhan.” 

Rasanya tidak adil ketika mereka yang tidak tahu kehidupan pesantren ikut menilai seolah paling paham. Pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, namun di dalamnya kita juga belajar kesederhanaan, perjuangan dan juga basic life survival.

Santri diajarkan untuk menghormati ilmu, mengabdi kepada guru dan masyarakat, dan saling menolong sesama teman. Nilai-nilai ini sering luput dari pandangan luar yang hanya melihat dari permukaannya saja.

Dalam konteks ini, media sosial menjadi ruang yang begitu mudah menyulut api salah paham. Banyak orang terburu-buru berpendapat tanpa mencari tahu kebenaran. Mereka hanya melihat potongan video atau membaca judul berita, lalu merasa cukup untuk menghakimi. Padahal, di balik setiap tragedi, ada keluarga yang berduka, di balik setiap tayangan yang menyinggung, ada ribuan santri yang merasa terluka.

Saya belajar satu hal penting dari dua peristiwa ini, empati adalah hal yang semakin langka di dunia digital. Orang lebih cepat menilai daripada memahami, lebih mudah menuding daripada mendoakan.” 

Padahal, jauh dari berbagai prasangka buruk itu, dunia pesantren selalu mengajarkan untuk melihat sesuatu dengan hati, bukan hanya dengan mata. Karena itulah, semoga kedepannya masyarakat— terutama mereka yang tidak pernah mengenal pesantren secara langsung, bisa belajar menahan diri sebelum berkomentar. Cobalah melihat lebih dalam, bukan hanya dari berita atau potongan tayangan. 

Dunia pesantren memang tidak sempurna, tetapi di dalamnya tumbuh nilai-nilai luhur yang menjadi pondasi moral bangsa ini. Tragedi mushola pondok yang ambruk dan kasus viral Trans7 semestinya tidak menjadi ajang saling menyalahkan, melainkan momentum untuk memperbaiki cara kita memandang satu sama lain. 

Sebab jika empati bisa tumbuh, maka setiap peristiwa sepedih apa pun akan melahirkan pelajaran, bukan permusuhan. Dan dari sanalah, mungkin, kebaikan akan kembali tumbuh di tengah luka.[]
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Luna: Stigma Masyarakat terhadap Pesantren, Viralitas atau Moralitas?

Trending Now