Namun, sekarang hanya bisa merindukannya. Saat kelulusan tiba aku berkeinginan menetap di pondok dan berkhidmat kepada kiai, namun keinginan orang tua berbeda. Mereka menginginkan aku supaya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Aku merasa siap menghadapi dunia luar, aku pikir bekal yang kubawa sudah cukup kuat untuk menghadapi dunia luar. Namun, ternyata dunia kampus bukan pesantren, dan aku belum siap untuk jauh dan kehilangan arah.
Menjadi mahasiswa adalah fase dimana mencari jati diri. Aku dulu menganggapnya hal kecil hanya sebuah motivasi yang biasa didengar di acara orientasi kampus.
Namun, dengan berjalannya waktu hingga beberapa semester, aku menyadari bahwa menjadi mahasiswa tidak hanya soal tugas, mengerjakan makalah, mendapatkan nilai yang bagus. Di situ ada perjalanan panjang yang penuh dengan nilai kehidupan, cerita pertemanan, kekecewaan, berbagai pengalaman positif maupun negatif, higga pencapaian kecil yang tak ternilai.
Di awal menjadi mahasiswa aku merasa bebas. Tak ada bel berbunyi untuk waktu salat, tak ada teguran ustaz ketika aku tidak mengaji, tak ada teguran pengurus bila aku tak menghafal dan mutholaah kitab. Aku mulai menikmati kebebasan itu dengan tanpa sadar. Berbaur dengan teman, mengerjakan tugas, berdiskusi santai di warung kopi, hingga hari-hariku disibukan dengan kegiatan duniawi.
Semester awal aku masih menunaikan salat tepat lima waktu. Berjalannya hari ke hari waktu salat mulai tertunda dengan sibuknya mengerjakan tugas, diskusi, bermain game dengan teman-teman, dan kesibukan duniawi lainnya. Sekali dau kali menunda waktu salat, tak sadar mulai telat dan terkadang hilang waktu tersebut.
Kitab yang dulu sering kubawa kemana-mana sekarang tergantikan dengan laptop yang berisi tugas kuliah. Malam yang dulu dengan tahajud memanjatkan doa, sekarang tegantikan oleh tidur lelap dengan kelelahan mengerjakan tugas, atau sekadar berenang dimedia sosial.
Hari demi hari sibuk dengan kegiatan duniawi, tak ada lagi rasa tenang entah apa yang ada dalam pikiran. Duduk sendirian di depan rumah dengan pancaran cahaya bulan di malam hari. Tempatku merenung sambil mengatakan pada diriku sendiri “Di mana diriku yang dulu? Apa yang harus kulakukan? apa aku salah arah?” Kata-kata tersebut berputar mengelilingi isi otak kepala.
Aku pernah mendengar suatu perkataan “ilmu tanpa iman itu bagaikan cahaya tanpa arah.” Aku sadar bahwa aku telah kehilangan arah dan membiarkan iman itu meredup di tengah-tengah sibuknya kegiatan kampus.
Semakin ke sini semakin aku mengenal bermacam-macam warna kehidupan, dari kesalahan kecil sampai kesalahan besar.
Dulu ketika di pesantren kesalahan paling besar itu tidak mengikuti taklim, membawa HP, menggembosi ban motornya ustaz, kabur keluar area pesantren. Itu pun aku merasa sangat malu apabila diketahui oleh pengurus pondok, bahkan sampai diumumkan dipermalukan dengan dipajang di tengah-tengah area pondok.
Berbeda dengan dunia kampus yang berlomba-lomba dalam melakukan kesalahan (dosa). Di pikiran mereka melakukan dosa itu suatu hal yang wajar, bahkan terlihat keren. Dengan pecaya dirinya mereka minum-minuman keras di depan orang banyak, memperlihatkan hal yang berbau negatif di media sosial, dan dengan mudahnya mempengaruhi teman lainnya untuk terjerumus ke dalamnya. Tidak ada rasa malu bahkan mereka bangga dengan apa yang mereka lakukan.
Aku pun sempat terjerumus dalam ajakan mereka, sampai di titik di sekelilingku tidak ada orang yang melakukan kebaikan. Aku masuk ruangan dengan lampu kelap-kelip, ada meja yang di atasnya berbagai macam minuman keras. Dan di situ aku sadarkan diri, belum ku sentuh barang tersebut, aku langsung masuk kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan bertawasul kepada guru-guru kami.
Dalam hati “Ya Allah apa yang aku lakukan, terlalu jauh aku mengenal dunia, bukan ini yang aku inginkan.”
Rasa syukur terus kupanjatkan. Tuhan menyadarkanku tentang rasa takut dalam menghadapi dunia ini.
Ingin ku kembali ke duniaku yang dulu, ke dalam pondok pesantren, banyak teguran, dikelilingi dengan nasihat, tidak sampai terjerumus dalam hal yang tidak diinginkan.
Pada zaman sekarang sebaik-baiknya tempat adalah pondok pesantren. Kampus juga tidak buruk, semua tergantung jalan apa yang kalian pilih. Anak pondok yang biasa disebut dengan kata santri, dengan mengatakan diri ini seorang santri.
Santri itu membawa nama baik pondoknya, nama baik gurunya. Jangan sampai apa yang kita lakukan mencoreng nama santri, apalagi sampai mencoreng nama baik guru kita. Guru kami mengajarkan bahwa pedoman yang kami pegang yaitu “مازلت طالبا” “selamanya aku adalah santri” tidak ada kata mantan santri.[]

