MBG Membaik, Rasa Aman Siswa Ukuran Keberhasilan

Redaksi
Desember 22, 2025 | Desember 22, 2025 WIB Last Updated 2025-12-22T00:57:21Z
Jakarta --Keberhasilan sebuah kebijakan publik kerap diukur dari indikator makro, serapan anggaran, jumlah penerima manfaat, atau laporan administratif. Namun, bagi saya yang juga sebagai orang tua, ukuran paling pas dan jujur adalah cerita dari anak-anak saya sepulang sekolah. Dari sanalah saya melihat adanya perubahan nyata dalam Program Makanan Bergizi Gratis (MBG), program nasional yang sempat menuai kritik tajam, namun kini mulai menunjukkan arah perbaikan.

Alhamdulilah, anak kembar saya sudah duduk di kelas 4 SDN 07 Kalibata, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Sekitar minggu kedua Desember 2025, saat pulang sekolah bercerita hal yang berbeda dari sebelumnya. Mereka mengatakan menu MBG kini lebih enak, lebih sederhana, dan yang paling penting tidak lagi menimbulkan rasa takut akan keracunan. “Sekarang aman, nggak cepat basi,” kata mereka.

Kesaksian anak-anak ini tidak muncul begitu saja, ada hal yang melatar belakanginya. Secara nasional, program MBG memang sempat menghadapi fase krusial akibat sejumlah insiden keracunan makanan di berbagai daerah pada pertengahan hingga akhir 2025. Peristiwa tersebut menjadi perhatian luas media dan memicu evaluasi serius Preaiden dan pemerintahnya. Sejumlah dapur penyedia MBG dilaporkan dihentikan sementara operasionalnya, sementara standar operasional prosedur (SOP) terkait keamanan pangan diperketat.

Pemerintah pusat melalui kementerian terkait dan lembaga pengawas pangan menegaskan bahwa keselamatan siswa adalah prioritas utama, bahkan lebih penting daripada kecepatan distribusi atau variasi menu. Dalam konteks inilah, kebijakan MBG mulai ditata ulang dari menu siap saji yang kompleks dan rentan basi, menuju menu yang lebih sederhana, higienis, dan mudah dikontrol kualitasnya.

Perubahan kebijakan tersebut kini terasa di lapangan. Berdasarkan pengalaman anak-anak saya sebagai penerima langsung MBG, menu yang dibagikan tidak lagi didominasi makanan olahan yang membutuhkan penanganan rumit. Sebaliknya, menu bergeser ke pilihan yang relatif lebih aman seperti aneka, roti tawar berbasis karbohidrat dan buah-buahan segar pisang, jeruk, salak, hingga buah naga. Menu ini tidak hanya lebih awet secara alami, tetapi juga meminimalkan resiko kontaminasi dalam proses distribusi dan cuaca.

Dari perspektif jurnalistik, perubahan menu ini memunculkan satu hal penting, bahwa negara belajar dari kritik. Kritik publik, laporan media, dan keluhan orang tua tidak dibantah secara defensif, tetapi dijadikan bahan evaluasi kebijakan. Inilah praktek tata kelola yang sehat, ketika kebijakan publik bersedia dikoreksi demi kepentingan yang lebih besar.

Dampaknya terasa nyata. Animo siswa penerima MBG meningkat, dan trauma terhadap isu keracunan perlahan mereda. Bagi seperti anak-anak saya yang masih sekolah dasar, rasa aman saat makan jauh lebih berharga daripada menu yang tampak mewah namun berisiko. Kepercayaan yang sempat goyah kini mulai berangsur pulih, setidaknya di wilayah Kalibata, Jakarta Selatan.

Aspek lain yang patut diapresiasi adalah keberlanjutan program MBG saat masa libur sekolah. Setelah pembagian rapor dan dimulainya libur SD, SMP, serta SMA, MBG tetap dibagikan. Secara kebijakan, langkah ini penting karena menegaskan bahwa MBG bukan program "sok jago" yang bergantung pada kalender akademik, tapi ini soal hak siswa sebagai warga negara.

Dari sisi pengawasan, pembagian MBG saat libur juga berfungsi sebagai mekanisme pencegahan potensi penyimpangan anggaran. Soal teknis distribusi, sekolah dan orang tua terbukti mampu berkoordinasi sesuai kondisi masing-masing. Beberapa waktu lalu istri saya berkordinasi lewat pesan whatsapp group mengatur distribusi dengan sesama orang tua murid dan para guru, apalagi sistem sekolah berdasarkan zonasi, sehingga jarak lokasi rumah siswa dengan sekolah tak jauh. Bahkan infonya dalam masa libur dua minggu ini (mulai masuk sekolah 5 Januari 2025) pihak MBG sedang merumuskan pembagian MBG yang lebih efekti dan efisien agar siswa atau orang tua murid tidak bolak-balik ke sekolah untuk menerima MBG dimas libur ini.

Saya menilai dari hal inj tidak ada persoalan berarti, karena substansinya jelas, hak anak tetap dipenuhi, negara tetap hadir.

Tentu, MBG masih menyimpan tantangan. Pengawasan mutu harus konsisten, transparansi pengelolaan anggaran perlu terus diperkuat, dan standar gizi harus dijaga agar tidak turun kualitasnya. Namun perubahan yang kini dirasakan anak-anak saya menunjukkan bahwa program ini berada di jalur yang lebih tepat dibanding fase awalnya.

Pada akhirnya, keberhasilan MBG tidak ditentukan oleh klaim sepihak atau jargon politik. Namun ditentukan oleh satu hal yang paling mendasar, dimana anak-anak merasa aman dan terlindungi saat menerima makanan dari negara. Ketika anak-anak yang dulu takut kini bisa makan dengan tenang, di situlah kita tahu bahwa sebuah kebijakan mulai bekerja sebagaimana mestinya.

_Oleh: Agusto Sulistio - Pemerhati Sospol Demokrasi, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)._

Kalibata, Jaksel, Senin 22 Desember 2025, 02:09 Wib.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • MBG Membaik, Rasa Aman Siswa Ukuran Keberhasilan

Trending Now