Menutup KUHP Lama dengan Kearifan Membuka KUHP Baru 2026 Dengan Kebaikan

Redaksi
Desember 21, 2025 | Desember 21, 2025 WIB Last Updated 2025-12-21T11:30:52Z
Refleksi Kasus Kriminalisasi RRT

dr Tifauzia Tyassuma, M.Sc

Bismillahirrahmanirrahiim

Kasus ijazah Joko Widodo, yang semestinya menjadi ruang klarifikasi terbuka dalam negara demokratis, justru berbelok menjadi rangkaian kriminalisasi terhadap Roy, Rismon, dan Tifa.

Dari sebuah pertanyaan publik tentang keabsahan dokumen, negara seakan tergelincir ke dalam logika penindakan, di mana suara kritis diposisikan sebagai ancaman, bukan sebagai bagian dari mekanisme koreksi kekuasaan. 

Di titik inilah hukum diuji: apakah ia hadir untuk mencari kebenaran dan menjaga akal sehat publik, atau sekadar menjadi alat untuk menutup diskursus yang tak diinginkan.

Jangan sampai kasus kriminalisasi terhadap RRT ini menjadi penutup yang buruk—su’ul khatimah—bagi KUHP lama, sekaligus menjadi pembuka yang kelam bagi penerapan KUHP 2026. 

Sejarah hukum tidak hanya mencatat pasal dan putusan, tetapi juga merekam niat, keberanian moral, dan keadilan yang menyertai setiap penegakan hukum. Cara sebuah sistem  hukum ditutup, KUHP Lama,  akan menentukan bagaimana ia dikenang; cara sebuah sistem hukum dibuka, KUHP Baru 2206, akan menentukan bagaimana ia dipercaya.

Semoga KUHP lama ditutup dengan husnul khatimah: ditutup dengan kebijaksanaan, kehati-hatian, dan kesadaran bahwa hukum kolonial yang diwarisi sejak awal republik bukanlah instrumen untuk membungkam nurani warga negara. Ia sudah terlalu lama menjadi saksi tarik-menarik antara kekuasaan dan keadilan.
Menjadikannya alat kriminalisasi di detik-detik akhir masa berlakunya hanya akan mengabadikan ingatan pahit bahwa hukum itu berakhir bukan sebagai penjaga keadilan, melainkan sebagai simbol arogansi kekuasaan.

Penutupan yang baik adalah penutupan yang jujur: mengakui keterbatasan, menahan diri dari penggunaan kekuasaan yang berlebihan, dan memberi ruang bagi keadilan substantif untuk bernapas. Dalam tradisi etika dan spiritual, akhir yang baik bukan ditentukan oleh seberapa keras seseorang menghukum, melainkan seberapa adil ia menimbang. Negara pun demikian. Negara yang adil dan beradab tahu kapan harus menggunakan hukum, dan kapan harus menunjukkan kebesaran jiwa.

Lebih dari itu, pembukaan KUHP 2026 semestinya menjadi fajar, bukan kelanjutan malam yang kelam. Ia diharapkan lahir sebagai hukum nasional yang lebih manusiawi, berakar pada Pancasila, konstitusi, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Namun fajar tidak akan pernah benar-benar terang jika malam sebelumnya dipenuhi tindakan represif. KUHP baru tidak boleh memikul dosa sejarah yang seharusnya telah disudahi bersama KUHP lama.

Secara filosofis, hukum adalah perjanjian moral antara negara dan rakyat. Jika pada saat peralihan sistem  hukum justru terjadi kriminalisasi terhadap suara kritis, maka perjanjian itu retak sejak awal. Kepercayaan publik runtuh bahkan sebelum pasal-pasal baru benar-benar diuji. Hukum baru pun akan dipandang bukan sebagai harapan, melainkan sebagai kelanjutan dari kecemasan lama dalam bungkus yang berbeda.

Karena itu, harapan ini bukan sekadar permohonan politis, melainkan doa peradaban: semoga KUHP lama ditutup dengan husnul khatimah, dengan keadilan dan kejernihan nurani. Dan semoga KUHP 2026 dibuka dengan niat yang bersih, tanpa bayang-bayang kriminalisasi, agar hukum benar-benar menjadi jalan menuju kemaslahatan, bukan alat kekuasaan. Dengan demikian, yang berganti bukan hanya teks undang-undang, tetapi juga arah moral bangsa.

Hasbunallah wani'mal wakil, ni'mal maula wani'man nashiir
Laa haula wala quwwata ila billah

Salam takzim
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Menutup KUHP Lama dengan Kearifan Membuka KUHP Baru 2026 Dengan Kebaikan

Trending Now