Menyeru Kebaikan tapi Lupa Diri Sendiri

Redaksi
Desember 19, 2025 | Desember 19, 2025 WIB Last Updated 2025-12-19T05:00:34Z
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 44:

أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ

“Mengapa kamu menyuruh orang lain berbuat kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab? Tidakkah kamu berpikir?”


Di tengah banyaknya ilmu agama yang mudah diakses dari pengajian, buku, hingga konten di media sosial, muncul masalah klasik: ada orang yang pandai menasehati orang lain, tetapi lupa mengoreksi diri sendiri. Mengapa demikian?

Karena ilmu agama sering kali diposisikan sebagai pengetahuan teoritis, bukan sebagai pedoman yang menuntun sikap dan perilaku. Padahal, tujuan utama dari pencarian ilmu dalam Islam adalah untuk menumbuhkan ketakwaan dan memperbaiki amal perbuatan.

Ayat ini menegur keras mereka yang fasih berbicara tentang kebaikan, namun lalai menjadikannya sebagai prinsip hidup pribadi. Teguran tersebut tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga menyentuh aspek moral dan rasional manusia.

Diriwayatkan dari Al-Wahidi dan Ats-Tsa’labi dari jalur Al-Kalbi dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas bahwasanya ia berkata, “Ayat ini turun pada orang-orang Yahudi kota Madinah, seorang dari mereka mengatakan kepada keluarga istrinya, kerabatnya, dan semua yang antara ia dan mereka ada ikatan persusuan dari orang-orang Muslim, “kokohlah di atas agamamu dan taatlah pada orang itu (Muhammad) karena apa yang ia bawa adalah sesuatu yang benar”, mereka menyuruh orang-orang untuk mengikuti Rasulullah akan tetapi mereka tidak melakukannya.

As-Suddi Mengatakan bahwa Bani Israel dahulu menyuruh orang-orang untuk menaati Allah, bertakwa kepada-Nya, dan berbuat kebajikan, tetapi mereka sendiri tidak melakukan hal itu. Maka Allah SWT mencela mereka.

Tafsir QS. Al-Baqarah ayat 44
Imam ath-Thabari dalam kitab “Jami’ Al Bayan Fi Ta’wil Al Qur’an” menjelaskan, ayat ini pada asalnya ditujukan kepada kaum Yahudi Bani Israil, khususnya para ahli kitab dan pemuka agama mereka. Mereka mengetahui kebenaran ajaran Taurat, bahkan memerintahkan orang lain untuk beriman dan berbuat baik, namun mereka sendiri tidak melaksanakannya. Imam ath-Ṭhabari juga menegaskan bahwa makna ayat ini bersifat umum, sehingga peringatan tersebut juga berlaku bagi siapa pun yang memiliki ilmu agama tetapi tidak mengamalkannya.



Kemudian Ibnu Katsir dalam kitab “Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm” menegaskan bahwa ayat ini bukan larangan untuk mengajak orang lain berbuat baik, melainkan peringatan agar orang yang menyeru kebaikan menjadi contoh pertama dalam mengamalkannya. Tanpa keteladanan, nasihat agama akan kehilangan pengaruhnya..

Al-Qurthubi dalam “Al-Jami‘ li Aḥkam Al-Qur’an” menekankan bahwa orang berilmu memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan orang awam. Menurutnya, mengetahui kebenaran tetapi tidak mengamalkannya merupakan kesalahan serius yang dapat mendatangkan dosa, karena ilmu seharusnya menjadi penggerak amal.


Selain itu, Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab “Mafatiḥ al-Ghaib” melihat ayat ini dari sisi rasional. Ia menjelaskan bahwa pertanyaan “afalā ta‘qilūn” menunjukkan bahwa perilaku tidak konsisten antara ucapan dan perbuatan bertentangan dengan akal sehat. Orang yang berpikir jernih tentu akan berusaha menyelaraskan ilmu yang dimilikinya dengan tindakan nyata.

Pesan QS. al-Baqarah ayat 44 juga diperkuat oleh hadis Nabi Muhammad Saw: “Seseorang akan didatangkan pada hari kiamat, lalu dilemparkan ke dalam neraka. Ususnya terburai, lalu ia berputar sebagaimana keledai berputar pada alat penggiling. Penduduk neraka bertanya, ‘Bukankah engkau dahulu menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemungkaran?’ Ia menjawab, ‘Aku menyuruh kepada kebaikan, tetapi aku tidak mengerjakannya, dan aku melarang kemungkaran, tetapi aku melakukannya.’” (HR. al-Bukhari, no. 3267; Muslim, no. 2989)

Hadis ini menunjukkan betapa berat konsekuensi moral bagi orang yang memiliki ilmu dan peran dakwah, tetapi tidak konsisten dalam pengamalan.

Hikmah dan Pelajaran
Apabila dikaitkan dengan realitas kehidupan saat ini, pesan QS. al-Baqarah ayat 44 terasa sangat relevan dan dekat dengan pengalaman sehari-hari. Tidak sedikit orang yang memiliki pengetahuan agama yang memadai, bahkan aktif memberikan ceramah, nasihat, atau ajakan kebaikan kepada orang lain.

Namun, dalam praktiknya, nilai-nilai yang disampaikan tersebut belum sepenuhnya tercermin dalam sikap dan perilaku pribadi. Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalan utama dalam kehidupan beragama sering kali bukan terletak pada minimnya ilmu, melainkan pada lemahnya komitmen untuk mengamalkan ilmu tersebut secara konsisten.

Hikmah penting yang dapat dipetik dari ayat ini adalah perlunya menjaga keseimbangan antara pengetahuan dan pengamalan. Dalam pandangan Islam, kualitas seseorang tidak hanya diukur dari luasnya wawasan keagamaan yang dimiliki, tetapi juga dari sejauh mana ilmu tersebut diwujudkan dalam perbuatan nyata.

Oleh karena itu, ayat ini mengajarkan setiap muslim untuk senantiasa melakukan introspeksi diri, memperbaiki amal pribadi, dan menata niat sebelum menyampaikan nasihat atau berdakwah kepada orang lain. Keteladanan menjadi unsur penting agar ajakan kebaikan memiliki kekuatan moral dan pengaruh yang nyata. Wallahu a’lam.[]
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Menyeru Kebaikan tapi Lupa Diri Sendiri

Trending Now