Perkara Digelar, Kekuasaan Diuji Ijazah Palsu Menjadikan Asli Demi Uang Dan Jabatan

Basirun
Desember 15, 2025 | Desember 15, 2025 WIB Last Updated 2025-12-15T03:40:13Z
Jakarta,detiksatu.com __ Di tubuh Kepolisian Republik Indonesia, istilah gelar perkara terdengar administratif. Ia kerap dipahami sebagai rapat teknis: penyidik memaparkan hasil kerja, atasan mengevaluasi, lalu ditentukan langkah berikutnya. Namun dalam praktiknya, gelar perkara sering kali menjadi ruang yang jauh lebih politis daripada yang tampak di atas kertas. Di sanalah keputusan hukum bisa dibelokkan, ditegaskan, atau—dalam kasus tertentu—dipaksa untuk dibuka ke hadapan publik.

Gelar perkara adalah mekanisme internal untuk menguji proses penyelidikan dan penyidikan. Ia dilakukan berlapis: di tahap awal untuk menentukan apakah sebuah laporan mengandung unsur pidana; di tahap pertengahan untuk mengevaluasi arah penyidikan; dan di tahap akhir untuk memastikan kelengkapan berkas sebelum dilimpahkan ke jaksa. Dalam bentuk ini, gelar perkara bersifat rutin, tertutup, dan sepenuhnya berada dalam kendali struktur kepolisian.

Masalah muncul ketika sebuah perkara tak lagi bisa diselesaikan secara sunyi.

Di titik itulah muncul istilah gelar perkara khusus. Berbeda dari gelar perkara biasa, gelar perkara khusus tidak lahir dari kebutuhan prosedural, melainkan dari tekanan—baik tekanan hukum, tekanan publik, maupun tekanan politik. Ia digelar karena ada yang menggugat proses, mempertanyakan kesimpulan, atau mencurigai adanya penyimpangan.

Gelar perkara khusus, dengan demikian, bukan sekadar forum teknis. Ia adalah arena pembuktian institusional: apakah Polri bersedia membuka dapur penyidikannya sendiri.

Pengalaman paling telanjang dapat dilihat dalam perkara Ferdy Sambo pada 2022. Ketika Brigadir J tewas dan narasi awal kepolisian mulai runtuh, gelar perkara biasa tak lagi cukup. Publik mempertanyakan kejanggalan bukti, inkonsistensi keterangan, hingga dugaan rekayasa tempat kejadian perkara. Di bawah tekanan masif, Polri akhirnya menggelar serangkaian gelar perkara khusus—baik dalam konteks pidana maupun etik.

Forum-forum itu menjadi titik balik. Narasi resmi berubah. Status hukum bergeser. Perwira tinggi dicopot. Gelar perkara khusus berfungsi sebagai alat koreksi internal yang selama ini jarang terlihat bekerja secara terbuka. Dalam kasus Sambo, gelar perkara khusus bukan hanya soal prosedur, melainkan soal penyelamatan legitimasi institusi.

Contoh yang lebih mutakhir adalah rencana gelar perkara khusus dalam kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Polda Metro Jaya menjadwalkan forum itu setelah adanya permintaan dari pihak-pihak yang berperkara. Seperti pada kasus Sambo, gelar perkara khusus ini tidak dimaksudkan sebagai formalitas. Ia digelar untuk memastikan bahwa proses penyidikan—yang menyangkut figur publik dengan simbol kekuasaan—benar-benar diuji secara objektif.


Dalam dua kasus itu, satu benang merah terlihat jelas: gelar perkara khusus selalu hadir ketika kepercayaan publik berada di titik nadir.

Perbedaan antara gelar perkara biasa dan khusus, karenanya, bukan soal istilah. Ia menyangkut relasi kuasa. Gelar perkara biasa adalah ekspresi kewenangan vertikal: penyidik bertanggung jawab ke atasan. Gelar perkara khusus adalah ekspresi koreksi horizontal: penyidik dipaksa bertanggung jawab pada prinsip hukum, pengawasan eksternal, dan opini publik.

Itulah sebabnya gelar perkara khusus hampir selalu melibatkan unsur yang lebih luas. Selain penyidik dan atasan langsung, forum ini bisa menghadirkan pengawas internal, fungsi hukum, bahkan lembaga eksternal seperti Kompolnas atau Ombudsman. Kehadiran mereka bukan simbolik. Ia menandai bahwa proses penyidikan tidak lagi dianggap cukup jika hanya dinilai oleh lingkaran sendiri.

Namun di sinilah problem laten muncul. Tidak semua gelar perkara yang diberi label “khusus” benar-benar dijalankan dengan semangat keterbukaan. Ada gelar perkara yang secara formal tampak istimewa, tetapi secara substantif tetap defensif. Pihak yang berkepentingan diundang, tetapi pandangannya tidak sungguh-sungguh dipertimbangkan. Keberatan dicatat, tetapi kesimpulan tetap sama.

Jika demikian, gelar perkara khusus berubah menjadi kosmetik prosedural. Ia memberi kesan transparansi tanpa benar-benar membuka ruang koreksi.

Padahal secara prinsip, gelar perkara khusus membawa konsekuensi hukum yang nyata. Hasilnya dapat menjadi dasar pengaduan etik, bahan praperadilan, atau bahkan pintu masuk tuduhan maladministrasi. Ia seharusnya menjadi forum di mana setiap keputusan bisa ditelusuri jejak rasionalitasnya: dari alat bukti, keterangan saksi, hingga penerapan pasal.

Dalam negara hukum yang sehat, gelar perkara khusus bukan ancaman bagi penyidik. Ia justru pelindung. Dengan membuka proses, institusi melindungi dirinya dari tuduhan bekerja dalam gelap. Sebaliknya, menutup-nutupi proses hanya memperpanjang krisis kepercayaan.




Pada akhirnya, gelar perkara—baik biasa maupun khusus—adalah cermin cara negara memperlakukan hukum. Apakah hukum dipahami sebagai alat kekuasaan yang cukup diyakini oleh aparat sendiri, atau sebagai sistem yang harus bisa diuji oleh publik. Kasus Sambo dan polemik ijazah Jokowi menunjukkan satu hal: ketika perkara menyentuh saraf kepercayaan, hukum tak bisa lagi bekerja diam-diam.

Di ruang gelar perkara itulah, wibawa hukum diuji. Bukan oleh teriakan massa, bukan oleh tekanan politik, melainkan oleh kesediaan negara membuka prosesnya sendiri. Tanpa itu, hukum mungkin tetap berjalan—tetapi legitimasi perlahan menguap.[]
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Perkara Digelar, Kekuasaan Diuji Ijazah Palsu Menjadikan Asli Demi Uang Dan Jabatan

Trending Now