Sa‘id bin ‘Amir: Gubernur yang Takut pada Hisab

Basirun
Desember 15, 2025 | Desember 15, 2025 WIB Last Updated 2025-12-15T04:08:40Z
Jakarta _Sa‘id bin ‘Amir al-Jumahi pada mulanya hanyalah seorang pemuda Quraisy. Ia adalah satu dari ribuan orang yang tertarik memenuhi panggilan para pembesar Makkah untuk menuju Tan‘im, di luar kota Makkah. Panggilan itu bukan untuk perniagaan atau perayaan, melainkan untuk menyaksikan sebuah peristiwa kejam: eksekusi Khubaib bin ‘Adi radhiyallāhu ‘anhu, sahabat Rasulullah ﷺ yang ditawan oleh kaum musyrikin.

Ketampanan, postur tubuh yang gagah, dan kecerdasannya membuat Sa‘id memiliki kedudukan terhormat di tengah kaumnya. Ia pun mendapat tempat duduk di dekat para pembesar Quraisy, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan tokoh-tokoh berwibawa lainnya.

Ketika rombongan Quraisy datang membawa tawanan mereka, Sa‘id berdiri tegak memandangi Khubaib yang diarak menuju kayu penyaliban. Di tengah sorak-sorai, teriakan wanita dan anak-anak, Sa‘id mendengar suara yang berbeda—tenang, jernih, dan penuh keyakinan.

Khubaib berkata,
“Izinkan aku shalat dua rakaat sebelum kalian membunuhku, jika kalian berkenan.”

Sa‘id memandang dengan penuh perhatian. Ia melihat Khubaib menghadap kiblat dan menunaikan shalat dua rakaat. Shalat yang singkat, namun begitu indah dan khusyuk. Setelah selesai, Khubaib menoleh kepada orang-orang Quraisy dan berkata,
“Demi Allah, seandainya kalian tidak mengira aku memperpanjang shalat karena takut mati, niscaya aku akan menambahnya.”

Kemudian terjadilah peristiwa yang tak pernah bisa dihapus dari ingatan Sa‘id. Ia melihat kaumnya sendiri menyiksa Khubaib hingga syahid. Di atas kayu salib, Khubaib mengangkat pandangannya ke langit dan berdoa,
“Ya Allah, hitunglah mereka satu per satu, binasakanlah mereka, dan jangan Engkau tinggalkan seorang pun dari mereka.”

Tak lama kemudian, Khubaib bin ‘Adi menghembuskan napas terakhirnya. Tubuhnya penuh luka, namun wajahnya memancarkan ketenangan yang tak bisa dijelaskan oleh logika dunia.

Orang-orang Quraisy kembali ke Makkah dan melupakan peristiwa itu, tenggelam dalam urusan dan peristiwa-peristiwa lain. Namun tidak demikian dengan Sa‘id bin ‘Amir. Bayangan Khubaib tidak pernah pergi dari hidupnya, bahkan sekejap pun tidak.

Ia melihat Khubaib dalam mimpinya. Ia membayangkannya ketika terjaga. Ia seakan masih mendengar doa Khubaib bergema di telinganya. Setiap kali teringat, Sa‘id merasa takut—takut kalau-kalau azab Allah turun menimpa kaumnya karena kezaliman itu.

Dari peristiwa itu, Khubaib telah mengajarkan Sa‘id pelajaran yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Ia mengajarinya bahwa hidup sejati bukanlah kemewahan, melainkan akidah dan pengorbanan di jalan Allah hingga akhir hayat. Ia mengajarinya bahwa iman yang kokoh mampu melahirkan keberanian luar biasa. Dan ia mengajarinya satu kebenaran besar: bahwa sosok yang dicintai para sahabat dengan kecintaan sedemikian rupa pastilah seorang nabi yang mendapat mandat dari langit.

Sejak hari itu, Allah membukakan dada Sa‘id bin ‘Amir untuk Islam. Ia menyatakan keimanannya, berlepas diri dari dosa-dosa Quraisy, dari berhala-berhala dan patung-patung mereka, serta mengikrarkan diri kepada agama Allah.

Sa‘id berhijrah ke Madinah. Ia mengabdikan dirinya kepada Rasulullah ﷺ, ikut serta dalam Perang Khaibar dan peperangan-peperangan setelahnya. Ketika Rasulullah ﷺ wafat, Sa‘id tetap berada di jalan kebenaran, menghunus pedangnya di masa kekhilafahan Abu Bakar dan Umar radhiyallāhu ‘anhuma.

Ia hidup sebagai teladan seorang mukmin yang benar-benar membeli akhirat dengan dunia. Ia lebih mengutamakan keridhaan Allah daripada hawa nafsu dan kesenangan sesaat. Kejujuran dan ketakwaannya dikenal oleh Abu Bakar dan Umar. Keduanya mendengar nasihatnya dan memperhatikan pendapatnya.

Pada awal masa kekhilafahan Umar, Sa‘id menemuinya dan berkata,
“Wahai Umar, aku berwasiat kepadamu agar engkau takut kepada Allah dalam urusan manusia, dan jangan takut kepada manusia dalam urusan Allah. Janganlah ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu, karena sebaik-baik ucapan adalah yang sesuai dengan perbuatan.”

Umar bertanya,
“Siapakah yang mampu melakukan itu, wahai Sa‘id?”

Sa‘id menjawab,
“Orang sepertimu mampu melakukannya, wahai Amirul Mukminin. Engkau memegang urusan umat Muhammad, dan tidak ada perantara antara engkau dan Allah.”

Tak lama kemudian, Umar meminta Sa‘id membantunya.
“Kami mengangkatmu sebagai gubernur Himsh,” kata Umar.

Sa‘id terkejut dan berkata,
“Wahai Umar, aku memperingatkanmu kepada Allah. Janganlah engkau menjerumuskanku ke dalam fitnah.”

Umar marah dan berkata,
“Celaka kalian! Kalian menyerahkan urusan ini kepadaku, lalu kalian berlepas diri dariku. Demi Allah, aku tidak akan melepaskanmu.”

Maka Sa‘id bin ‘Amir pun diangkat menjadi gubernur Himsh. Ketika Umar berkata bahwa ia akan diberi gaji, Sa‘id menjawab,
“Untuk apa gaji itu, wahai Amirul Mukminin? Pemberianku dari baitul mal telah mencukupi kebutuhanku.”

Ia pun berangkat ke Himsh—seorang gubernur yang hatinya tetap terikat kepada akhirat, dan seorang saksi penyaliban yang sepanjang hidupnya tak pernah lupa pada harga sebuah iman.

Beberapa waktu setelah Sa‘id bin ‘Amir memimpin Himsh, Khalifah Umar bin al-Khattab mengutus sebuah delegasi penduduk Himsh untuk datang ke Madinah. Tugas mereka adalah melaporkan keadaan pemerintahan dan kondisi masyarakat di wilayah tersebut.

Ketika delegasi itu tiba, Umar menerima mereka dengan penuh perhatian. Sebagaimana kebiasaannya, Umar meminta satu hal yang selalu ia dahulukan sebelum membahas urusan lain:

“Berikan kepadaku daftar fakir miskin di Himsh, agar mereka diberi santunan dari baitul mal.”

Delegasi itu pun menyerahkan daftar yang diminta. Umar membacanya satu per satu, hingga matanya terhenti pada sebuah nama. Ia terdiam cukup lama.

“Sa‘id bin ‘Amir al-Jumahi…”
Umar mengangkat kepalanya dan bertanya keheranan,
“Siapakah Sa‘id bin ‘Amir yang kalian cantumkan ini?”

“Gubernur kami, wahai Amirul Mukminin,” jawab mereka.

Umar terperanjat.
“Apakah benar gubernur kalian termasuk orang miskin?”

Delegasi itu saling berpandangan, lalu berkata dengan penuh keyakinan,
“Benar, wahai Amirul Mukminin. Demi Allah, sering kali di rumahnya tidak tampak api menyala. Tidak ada tanda-tanda memasak.”

Mendengar itu, Umar bin al-Khattab menangis. Air matanya mengalir membasahi jenggotnya. Ia terdiam sejenak, lalu masuk ke dalam rumahnya dan keluar membawa sebuah pundi-pundi berisi seribu dinar.

“Bawalah ini,” kata Umar lirih,
“dan sampaikan salamku kepada Sa‘id bin ‘Amir. Uang ini kukirimkan untuk meringankan kebutuhan rumah tangganya.”

Delegasi itu pun kembali ke Himsh. Setibanya di sana, mereka langsung menemui Sa‘id dan menyerahkan salam khalifah beserta pundi-pundi uang tersebut.

Begitu Sa‘id melihat pundi-pundi itu, ia menjauhkannya seolah melihat sesuatu yang menakutkan. Dari lisannya keluar kalimat,

Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.

Istrinya yang mendengar ucapan itu segera keluar dengan wajah cemas.
“Apa yang terjadi, wahai Sa‘id? Apakah Amirul Mukminin wafat?”

“Tidak,” jawab Sa‘id dengan suara berat.

“Apakah kaum muslimin kalah dalam peperangan?” tanya istrinya lagi.

“Lebih besar dari itu,” jawab Sa‘id.

“Apa yang lebih besar dari semua itu?” tanya istrinya dengan gelisah.

Sa‘id menunduk, lalu berkata dengan nada penuh kesedihan,
“Dunia telah datang kepadaku untuk merusak akhiratku. Sebuah bencana telah menyusup ke rumah kita.”

Istrinya terdiam sejenak, lalu berkata dengan tegas,
“Kalau begitu, bebaskanlah dirimu darinya.”

Sa‘id menatap istrinya dan bertanya,
“Maukah engkau menolongku melakukan itu?”

“Demi Allah, tentu,” jawab istrinya tanpa ragu.

Maka Sa‘id mengambil pundi-pundi uang itu dan menyerahkannya kepada istrinya. Ia memintanya membagikan seluruh isinya kepada fakir miskin, para janda, dan orang-orang yang membutuhkan di Himsh.

Tak satu dinar pun tersisa.

Sa‘id bin ‘Amir kembali hidup sebagaimana sebelumnya—seorang gubernur yang lapar bersama rakyatnya, berpakaian seperti mereka, dan takut kepada Allah melebihi takutnya kepada kemiskinan.

Begitulah Sa‘id bin ‘Amir.
Saksi penyaliban Khubaib.
Seorang pemimpin yang gentar kepada hisab.
Seorang gubernur yang tercatat sebagai fakir miskin.

Ia telah membeli akhirat dengan dunia—dan tidak pernah menyesal atas pilihan itu.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Sa‘id bin ‘Amir: Gubernur yang Takut pada Hisab

Trending Now