Indonesia selalu menyimpan kisah tentang laki-laki: tentang mereka yang memimpin, yang berjuang, yang jatuh dalam godaan, dan yang mencoba berdiri kembali. Dalam masyarakat yang masih kuat dipengaruhi budaya patriarki, laki-laki sering ditempatkan sebagai pusat kekuasaan, pusat pengambilan keputusan, sekaligus simbol moral sebuah keluarga dan bangsa. Karena itu, gambaran tentang laki-laki Indonesia tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan publiknya, tetapi juga oleh integritas pribadinya.
Namun, di tengah laju teknologi dan hadirnya media sosial sebagai ruang baru pembentukan citra, gambaran laki-laki kerap menjadi paradoks. Ada laki-laki yang tampak saleh, santun, dan penuh dedikasi di ruang publik, tetapi menyimpan persoalan moral di ruang privat. Ada pula yang tampil gagah di media, namun goyah ketika memegang amanah. Kisah-kisah seperti ini bukan sekadar gosip, melainkan cermin bagaimana sistem sosial dan politik kita mengatur relasi kuasa, termasuk relasi antara laki-laki dan perempuan.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pemberitaan tentang pejabat publik yang diduga tersangkut relasi gelap, aliran dana ke “teman perempuan”, serta kasus korupsi yang melibatkan figur-figur perempuan sebagai perantara kembali menyita perhatian publik. Fenomena ini membuka diskusi baru tentang hubungan antara moralitas, kekuasaan, dan patriarki. Lebih jauh lagi, hal ini mempertanyakan kembali: seperti apakah seharusnya laki-laki Indonesia bersikap, terutama ketika menghadapi godaan kekuasaan?
Citra Romantis vs Realitas Moral
Di era media sosial, citra dapat dibentuk dengan sangat mudah. Foto-foto keluarga yang harmonis, unggahan berisi nasihat, atau tayangan aktivitas keagamaan sering dijadikan “pelindung” moral seorang pejabat atau figur publik. Namun, citra hanyalah permukaan. Ketika gosip dan investigasi terbuka ke publik, tampaklah bahwa apa yang dibangun sebagai kesan sering tidak sejalan dengan realitas.
Beberapa tahun terakhir, pemberitaan dari berbagai media mengungkap dugaan relasi gelap antara pejabat dan artis, skandal seksual, hingga aliran dana mencurigakan kepada sejumlah perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan ini bukan sekadar “teman”, tetapi bagian dari pola yang lebih luas: bagaimana kekuasaan digunakan untuk memikat, melindungi, atau memanfaatkan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa citra romantis bukanlah jaminan integritas moral. Justru sering menjadi topeng untuk menutupi persoalan yang jauh lebih serius. Ketika citra ditempatkan lebih tinggi daripada kejujuran, masyarakat akhirnya lebih sering tertipu oleh kemasan daripada nilai.
Korupsi, Kekuasaan, dan Pola Relasi melalui Perempuan
Kasus-kasus korupsi di Indonesia sering memperlihatkan pola yang berulang: adanya aliran dana kepada perempuan yang dianggap “dekat” dengan pejabat tertentu. Beberapa laporan media mengungkap bagaimana uang hasil dugaan korupsi mengalir melalui jalur-jalur informal, termasuk melalui perempuan yang bukan pasangan sah pejabat tersebut.
Fenomena ini memiliki akar panjang dalam struktur patriarki. Perempuan dijadikan simbol status, alat penyalur gratifikasi, atau sekadar sarana cuci uang. Pola ini memperlihatkan betapa kekuasaan maskulin tidak hanya berdampak pada penyalahgunaan jabatan, tetapi juga menciptakan relasi yang timpang dan merugikan perempuan. Dalam konteks moral, laki-laki yang memimpin, tetapi tidak mampu menguasai dirinya sendiri, sesungguhnya tidak sedang memimpin apa pun.
Kredibilitas Pemimpin: Dimulai dari Rumah Tangga
Seorang laki-laki dapat berbicara tentang integritas, visi pembangunan, atau perubahan besar bagi bangsa. Namun, kredibilitas moral seorang pemimpin sesungguhnya terlihat dari bagaimana ia menjaga komitmen privatnya: keluarganya, pasangannya, dan sikapnya terhadap godaan kekuasaan.
Pemimpin yang setia pada pasangan menunjukkan bahwa ia mampu menjaga janji dan menghormati nilai. Sebaliknya, pemimpin yang goyah di ranah personal hampir selalu membawa kegoyahan itu ke ranah publik. Hilangnya kepercayaan publik bukan semata akibat skandal moral, tetapi juga karena masyarakat merasa dikhianati oleh sosok yang seharusnya memberi teladan.
Sejarah Indonesia mencatat beberapa pemimpin besar yang tetap setia pada satu istri dan menjalani kehidupan sederhana. Mereka tidak sempurna, tetapi integritas yang mereka tunjukkan memberikan dasar moral yang kuat bagi kehidupan publik mereka. Keteladanan seperti inilah yang perlahan mulai hilang dalam lanskap politik modern.
Patriarki dan Relegitimasi Perempuan sebagai Pelengkap
Salah satu persoalan yang sering muncul dalam diskusi tentang laki-laki Indonesia adalah bagaimana perempuan ditempatkan dalam relasi sosial. Dalam budaya patriarki, perempuan kerap diposisikan hanya sebagai pendamping, pelengkap, atau penyangga citra laki-laki. Dalam beberapa kasus, perempuan bahkan diperlakukan sebagai simbol yang menunjukkan “keberhasilan” laki-laki dalam menguasai ruang sosial.
Hal ini terlihat jelas ketika perempuan dijadikan objek dalam relasi transaksional: menerima aliran dana, dijadikan figur pendamping untuk kebutuhan pencitraan, atau dilibatkan dalam hubungan yang bertujuan memperkuat posisi laki-laki dalam politik. Padahal perempuan memiliki hak untuk dinilai sebagai individu, bukan sekadar perpanjangan dari nama atau kuasa laki-laki.
Budaya seperti ini menciptakan lingkaran setan: laki-laki merasa berhak memanfaatkan kekuasaan untuk memengaruhi perempuan, dan sistem sosial memberikan ruang untuk perilaku tersebut. Akibatnya, kehadiran perempuan di ruang publik masih sering dianggap dekoratif, bukan substantif.
Belajar dari Para Lelaki Masa Lalu
Indonesia memiliki sejarah panjang tentang laki-laki yang memimpin dengan teladan moral yang kuat. Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, dan Gus Dur adalah contoh bagaimana seorang pemimpin tidak hanya diukur dari kecerdasan dan keberaniannya, tetapi juga dari sikap hidupnya. Mereka memegang teguh nilai kesederhanaan, kesetiaan, dan kejujuran dalam kehidupan pribadi. Bagi mereka, kekuasaan bukan untuk pamer atau memuaskan keinginan pribadi, melainkan untuk menegakkan martabat manusia.
Kisah-kisah mereka menunjukkan bahwa integritas bukanlah konsep abstrak. Integritas dimulai dari hal-hal kecil: dari rumah, dari sikap terhadap pasangan, dari kemampuan menolak godaan ketika tidak ada kamera yang merekam. Inilah nilai yang seharusnya menjadi fondasi bagi laki-laki Indonesia masa kini.
Menjadi Laki-Laki Indonesia di Era Baru
Laki-laki Indonesia hari ini hidup di zaman yang serba cepat, bising, dan penuh distraksi. Tantangan moral jauh lebih besar karena godaan kekuasaan semakin halus dan tersamarkan. Namun, justru di era ini, nilai-nilai lama seperti kesetiaan, kejujuran, dan sikap sederhana menjadi sangat relevan.
Menjadi laki-laki Indonesia bukan berarti menjadi seseorang yang gagah hanya di depan publik. Menjadi laki-laki Indonesia berarti mampu menjaga nilai pada saat tidak ada yang melihat. Bukan hanya sukses membangun citra, tetapi membangun karakter. Bukan hanya terlihat kuat, tetapi mampu menahan diri.
Indonesia membutuhkan laki-laki baru: laki-laki yang tidak merasa perlu memvalidasi dirinya melalui perempuan, harta, atau citra media. Laki-laki yang mampu memimpin dirinya sebelum memimpin orang lain. Laki-laki yang menghormati perempuan, bukan memanfaatkannya. Laki-laki yang memahami bahwa integritas tidak bisa dibeli atau dipoles, tetapi lahir dari pilihan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA – BUKU / JURNAL
Blackburn, S. (2004). Women and the state in modern Indonesia. Cambridge University Press.
Connell, R. W. (1995). Masculinities. University of California Press.
Djajadiningrat, R. (2011). Sutan Sjahrir: Pemikiran dan perjuangan. Pustaka Utama.
Fakih, M. (1996). Analisis gender dan transformasi sosial. Pustaka Pelajar.
Hatta, R. (2010). Hikayat cinta dan kemerdekaan: Kisah hidup Mohammad Hatta. Kompas.
Noer, D. (1999). Partai Islam di pentas nasional. Grafiti.
Wahid, Y., dkk. (2015). Gus Dur di mata perempuan. LKiS.
Wieringa, S. (2010). Penghancuran gerakan perempuan Indonesia: Politik seksualitas dan negara. Garba Media.
BERITA MEDIA.
Adinda Nurrizki. (2015, 15 Oktober). Gosip dan skandal seks artis dan pejabat di Indonesia.
https://www.merahputih.com/post/read/gosip-dan-skandal-seks-artis-dan-pejabat-di-indonesia
Espos News. (2025). Fakta modus pejabat cuci uang lewat teman perempuan, Siwi Widi juga .
https://news.espos.id/fakta-modus-pejabat-cuci-uang-lewat-teman-perempuan-siwi-widi-juga-1248740

