“Ulama Aceh sepakat meminta Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai darurat bencana nasional,” kata Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Faisal Ali, di Banda Aceh, Senin (15/12/2025).
Hal itu disampaikan berdasarkan rekomendasi hasil muzakarah ulama Aceh 2025, sekaligus doa bersama untuk korban bencana banjir dan tanah longsor di Aceh, di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, pada Ahad (14/12).
Tgk Faisal menyampaikan, penetapan tersebut dinilai penting untuk mempercepat penanganan korban, pemulihan infrastruktur, serta membuka akses bantuan kemanusiaan internasional secara terkoordinasi dan akuntabel.
Selain itu, ulama Aceh juga mendorong Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) menyusun peta jalan pembangunan Aceh pascabencana yang terintegrasi, berorientasi pada mitigasi bencana, pemulihan lingkungan, penguatan ekonomi masyarakat serta perlindungan lembaga pendidikan dan rumah ibadah.
Para ulama juga turut mendorong pemerintah daerah untuk melakukan revisi anggaran guna menyesuaikan kebutuhan penanganan banjir dan longsor.
Pemerintah pusat, diminta memberikan perhatian serius melalui dukungan anggaran serta langkah strategis jangka pendek dan panjang secara objektif dan proporsional sesuai tingkat kedaruratan.
Dalam rekomendasi lainnya, ulama menekankan pentingnya transparansi dan amanah dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan, serta penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan yang berkontribusi terhadap terjadinya bencana.
Untuk masyarakat Aceh, juga diimbau terus memperkuat solidaritas sosial, menjaga etika bermedia dan bersosial di tengah musibah, serta menghindari fitnah dan provokasi.
Tgk Faisal menegaskan, penyerahan kepada pemerintah pusat bukan berarti putus asa atau tidak bekerja. Melainkan bentuk pengakuan bahwa dalam kondisi tertentu, bencana yang besar tidak mampu ditangani sendiri daerah, sehingga membutuhkan kehadiran dan bantuan dari pusat.
Ia mencontohkan, situasi di lapangan saat bencana terjadi, ketika derasnya air bercampur batu dan material lainnya membuat masyarakat tidak dapat saling membantu.
“Dalam kondisi seperti itu, wajar jika pemerintah daerah meminta bantuan lebih besar dari pemerintah pusat,” kata Tgk Faisal.
Ulama yang akrab disapa Lem Faisal ini menuturkan, masyarakat Aceh telah berulang kali ditimpa musibah yang dahsyat. Tetapi, di setiap cobaan itu, Allah SWT menganugerahkan ketabahan dan kekuatan batin kepada rakyat Aceh untuk tetap berdiri tegak menghadapi situasi tersulit sekalipun.
Ia menegaskan, para ulama di Aceh tidak akan pernah meninggalkan masyarakatnya. Dalam setiap bencana, ulama hadir bukan hanya sebagai penyeru doa, tetapi juga penguat jiwa, penuntun moral, dan pengikat solidaritas.
Ulama berdiri bersama rakyat di tengah puing dan air mata, mengingatkan bahwa musibah adalah ujian, sekaligus panggilan untuk saling menolong dan mempererat ukhuwah.
“Ulama akan terus bersama masyarakat dan pemerintah Aceh, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota, untuk membantu masyarakat dalam menghadapi musibah,” demikian Lem Faisal
Dewan Profesor USK bersurat ke Presiden
Selain para ulama, Dewan Profesor Universitas Syiah Kuala (USK) juga menyampaikan surat terbuka ke Presiden Prabowo Subianto terkait penetapan status darurat bencana nasional untuk bencana Aceh dan dua provinsi lainnya di Sumatra.
“Surat terbuka terkait percepatan akses dan koordinasi logistik bantuan kemanusiaan internasional ini merupakan bagian dari kontribusi moral dan kemanusiaan,” kata Ketua Dewan Profesor Universitas Syiah Kuala, Prof Izarul Machdar di Banda Aceh, Senin (15/12).
Ia menjelaskan berdasarkan laporan terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan lembaga media nasional jumlah korban jiwa telah mencapai sekitar 1.006 orang, tersebar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, dengan ratusan lainnya masih hilang atau terluka.
Kemudian jumlah pengungsi dan warga terdampak mencapai ratusan ribu jiwa dan merusak atau menghancurkan puluhan ribu rumah penduduk, fasilitas umum, dan infrastruktur dasar lainnya.
Selanjutnya jaringan telekomunikasi mengalami gangguan serius dengan layanan telepon seluler yang belum berfungsi optimal dan akses internet yang sangat terbatas, sehingga koordinasi penyelamatan dan komunikasi darurat menjadi terhambat dan pemadaman listrik yang meluas dan berkepanjangan.
Karena itu pihaknya mendesak dan mengusulkan 11 poin rekomendasi strategis antara lain menetapkan status darurat bencana nasional yang komprehensif, mempercepat pembukaan jalur akses transportasi utama (bandara, pelabuhan, jalan raya) untuk masuknya bantuan kemanusiaan internasional.
Selanjutnya mendirikan Humanitarian Logistics Coordination Center di Aceh yang melibatkan BNPB, kementerian terkait, pemerintah daerah, TNI/Polri, dan perwakilan lembaga internasional untuk sinkronisasi data kebutuhan dan distribusi bantuan;
Kemudian menyederhanakan prosedur izin dan clearance bagi organisasi kemanusiaan internasional (misalnya WHO, UNICEF, UNDP, IFRC, IOM termasuk dalam efisiensi bea cukai dan karantina barang bantuan.
Perlu juga mengaktifkan sistem common logistics tracking yang terintegrasi antara pemerintah dan organisasi kemanusiaan, agar aliran bantuan dapat dipantau, direspons, dan dialokasikan secara real-time sesuai kebutuhan di berbagai titik terdampak,” katanya.
Kemudian mengoptimalkan pembentukan Aid Staging Areas atau titik konsolidasi logistik di lokasi strategis (misalnya Banda Aceh, Lhokseumawe, Bener Meriah) untuk menyimpan, memverifikasi, dan mendistribusikan bantuan baik yang masuk dari dalam maupun luar negeri, termasuk memprioritaskan pemulihan jaringan komunikasi dan internet untuk mendukung koordinasi tanggap darurat.
Mereka juga meminta mempercepat pemulihan infrastruktur listrik dan telekomunikasi sebagai prioritas
utama, mengingat ketergantungan operasional tanggap darurat, komunikasi koordinasi serta keberlanjutan ekonomi lokal pada ketersediaan energi dan konektivitas.
Ia juga menambahkan perlu mempercepat pemulihan akses rute darat yang terputus, dengan prioritas pada jalur yang menghubungkan posko utama dengan wilayah terpencil serta memastikan ketersediaan transportasi darat, laut, dan udara yang memadai (termasuk helikopter dan kendaraan berat) untuk menjangkau wilayah yang benar-benar terisolasi akibat kerusakan infrastruktur. []

