Urgensi Tabayun di Era Disrupsi Informasi

Redaksi
Desember 21, 2025 | Desember 21, 2025 WIB Last Updated 2025-12-21T00:54:14Z
Dan apabila sampai kepada mareka suatu berita tentang keamanan ataupu ketakutan, mareka (langsung) menyiarkannya. Padahal apabila mareka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mareka, tentulah orang-orang yang mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui (secara resmi) dari mareka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan Rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali, sebagian kecil saja (diantara kamu). (QS An-Nisa: 83).

Jakarta,detiksatu.com  --Hari ini, kita hidup di era di mana informasi bergerak lebih cepat daripada kemampuan nalar manusia untuk mencernanya. Media sosial telah mengubah setiap individu menjadi “kantor berita” dadakan, di mana jari seringkali bergerak lebih lincah daripada proses berpikir.

Fenomena share berita tanpa verifikasi, konten viral yang belum jelas sumbernya, hingga budaya “asal sebar” demi menjadi yang tercepat (FOMO), telah menciptakan polusi informasi yang luar biasa. Akibatnya, hoaks bukan lagi sekadar berita bohong, melainkan sudah menjadi ancaman nyata yang bisa merusak reputasi seseorang hingga memicu perpecahan sosial.

Jika kita mau menilik kembali ke belakang, kekacauan informasi ini sebenarnya bukanlah persoalan baru. Empat belas abad yang lalu, Al-Qur’an melalui surat An-Nisa ayat 83 sudah memberikan peringatan keras sekaligus panduan bagi umat manusia dalam mengelola arus informasi. Ayat ini bukan sekadar teks sejarah yang kaku, melainkan sebuah “manual book” atau kompas etika bagi warga digital agar tidak tersesat dalam rimba informasi yang penuh kepalsuan.

Sabab Nuzul
Secara historis, ayat ini tidak turun dalam ruang hampa, melainkan merespons gejolak sosial yang terjadi di Madinah. Terdapat dua riwayat utama yang menjelaskan latar belakang turunnya ayat ini:

Pertama, riwayat tentang isu perceraian Nabi Saw (hoaks domestik). Imam Muslim meriwayatkan dari Umar bin Khattab ra. bahwa suatu ketika tersebar berita burung di kalangan penduduk Madinah bahwa Rasulullah Saw telah menceraikan seluruh istri beliau.


 Kabar ini memicu kepanikan dan kesedihan kolektif, karena perceraian Nabi dianggap sebagai musibah besar bagi umat. Umar kemudian mendatangi masjid dan melihat orang-orang menangis tersedu-sedu sambil membicarakan isu tersebut. Namun, saat Umar melakukan konfirmasi langsung kepada Nabi di ruang pengasingannya, Nabi Saw menjawab, “Tidak”. Umar kemudian berdiri di pintu masjid dan berteriak, “Rasulullah tidak menceraikan istri-istrinya!”


Ayat ini turun untuk menegur orang-orang yang terburu-buru menyebarkan berita emosional sebelum divalidasi oleh otoritas (Umar dalam hal ini berperan sebagai pihak yang melakukan tabayun)

Kedua, riwayat tentang kabar militer (hoaks strategis). Riwayat lain menyebutkan bahwa kaum munafik atau sebagian kaum Muslimin yang memiliki mentalitas lemah seringkali menyebarkan berita tentang kemenangan atau kekalahan pasukan Islam dalam peperangan sebelum ada rilis resmi dari pimpinan perang. Jika berita itu kemenangan, muncul sifat sombong dan kelengahan. Jika berita itu kekalahan, muncul ketakutan (khauf) yang melumpuhkan mentalitas pejuang.

Ayat ini turun sebagai instrumen “Intelijen Informasi” agar rahasia negara atau strategi militer tidak menjadi konsumsi publik yang tidak bertanggung jawab.

Dalam tinjauan kritis, Surah An-Nisa: 83 turun berkaitan dengan perilaku sebagian orang (baik kaum munafik maupun sebagian kaum Muslim yang kurang berhati-hati) yang terburu-buru menyebarkan berita terkait situasi keamanan. Berdasarkan riwayat dari Imam Muslim yang bersumber dari Umar bin Khattab ra., terdapat sebuah peristiwa di mana beredar desas-desus bahwa Rasulullah Saw telah menceraikan istri-istrinya.

Berita ini tersebar luas di masjid dan pasar, memicu kegaduhan dan kesedihan di kalangan sahabat. Namun, setelah Umar bin Khattab melakukan konfirmasi langsung (tabayun) kepada Rasulullah Saw, ternyata berita tersebut adalah hoaks belaka. Rasulullah hanya sedang mengasingkan diri sejenak di mashrubah (kamar atas).

Ayat ini turun sebagai teguran agar setiap informasi yang menyangkut kemaslahatan umum atau keamanan tidak disebarkan secara serampangan sebelum divalidasi oleh otoritas yang berwenang (Rasulullah dan para pakar).


Munasabah Ayat
Munasabah (korelasi) ayat ini sangat kuat, baik secara mikro (dengan ayat sebelum-sesudahnya) maupun secara makro (dengan tema besar surat An-Nisa), di antaranya korelasinya dengan Surah An-Nisa: 59 (ketaatan pada Pemegang Otoritas). Pada ayat 59, Allah memerintahkan umat untuk taat kepada Allah, Rasul, dan Ulul Amri.

Munasabah pada ayat 83 adalah bentuk aplikatif dari ketaatan tersebut. Mengembalikan berita kepada Rasul dan Ulul Amri adalah wujud nyata dari ketaatan birokrasi informasi agar tidak terjadi anarki komunikasi di tengah masyarakat.

Kemudian korelasi dengan Surah An-Nisa: 82 (Tadabbur vs Rumor). Tepat sebelum ayat 83, Allah bertanya, “Maka tidakkah mereka menghayati (tadabbur) Al-Qur’an?” Munasabahnya adalah: orang yang memiliki kemampuan tadabbur yang baik tidak akan mudah termakan hoaks. Kegagalan dalam mengelola informasi (ayat 83) adalah akibat langsung dari rendahnya kualitas tadabbur dan daya kritis seseorang (ayat 82).

Selain itu memebahas juga munasabah dalam tema perlindungan hukum, Surat An-Nisa banyak berbicara tentang hak-hak perempuan, anak yatim, dan keadilan hukum. Munasabah ayat 83 di sini adalah bahwa ketidakadilan hukum seringkali bermula dari fitnah dan kesaksian palsu yang bersumber dari informasi yang tidak tervalidasi. Dengan menjaga lisan dan jempol dari hoaks, kita sebenarnya sedang menjaga pilar keadilan yang diperintahkan dalam surat ini.

Tinjauan Para Mufassir (Analisis Tahlili)
Membaca kembali Surah An-Nisa: 83 di tengah gempuran informasi saat ini terasa seperti menemukan kompas di tengah badai.

Ayat ini tidak hanya sedang berbicara tentang sejarah masa lalu, tetapi sedang menuntun kita bagaimana seharusnya mengelola informasi dengan nalar yang sehat dan hati yang jernih.

Untuk memahami pesan mendalam di balik ayat ini, kita perlu menengok bagaimana para pakar tafsir (mufassir) membedah setiap sudut maknanya mulai dari cara kita bereaksi terhadap berita viral, hingga kepada siapa seharusnya kita bertanya.

Dengan menelaah pandangan para tokoh tafsir ini, kita akan menemukan bahwa Al-Qur’an sudah punya solusi konkret untuk menghadapi kekacauan informasi atau hoaks yang sering kita temui di layar ponsel kita setiap hari. .

M. Quraish Shihab dalam “Tafsir Al-Misbah”, memberikan penekanan pada aspek psikologi massa yang terkandung dalam redaksi “idza ja’ahum” (apabila datang kepada mereka). Beliau menjelaskan bahwa informasi, terutama yang berkaitan dengan keamanan atau ketakutan, seringkali datang secara tiba-tiba dan langsung menyentuh sisi emosional manusia. Terdapat kecenderungan psikologis di mana seseorang merasa bangga atau ingin dianggap paling tahu jika menjadi yang pertama menyebarkan berita viral.

Namun, Quraish Shihab memberikan catatan kritis bahwa dalam konteks komunikasi modern, tidak semua hal yang benar harus disampaikan ke ruang publik. Jika sebuah informasi benar namun berpotensi memicu kegaduhan atau merusak stabilitas mental masyarakat, maka menahannya adalah sebuah kewajiban etis.

Selanjutnya, Ismail bin Katsir dalam melalui “Tafsir Ibnu Katsir” meninjau ayat ini dari sudut pandang validitas riwayat dan integritas personal. Beliau mengutip hadis Nabi Saw yang menegaskan bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai pendusta hanya dengan menceritakan kembali setiap hal yang ia dengar tanpa proses penyaringan.

Ibnu Katsir sangat keras terhadap perilaku tasyi’ al-fakhisyah atau penyebarluasan berita buruk. Menurutnya, orang yang mempercepat laju peredaran hoaks sebenarnya berada dalam posisi yang sama dengan pembuat hoaks itu sendiri.

Penafsiran ini memposisikan QS. An-Nisa: 83 sebagai teguran bagi mereka yang tidak memiliki kompetensi namun bersikap seolah-olah menjadi sumber informasi utama, yang dalam era digital saat ini sering kita temui pada fenomena akun-akun anonim penyebar rumor.



Aspek metodologi verifikasi dibahas secara teknis oleh Wahbah az-Zuhaili dalam “Tafsir Al-Munir.” Az-Zuhaili membedah diksi “yastambitunahu” yang secara etimologis bermakna “mengeluarkan air dari dasar sumur”.

Filosofi ini mengajarkan bahwa untuk memahami sebuah informasi, seseorang tidak boleh hanya berhenti pada permukaan kulit atau sekadar membaca judul (klikbait). Diperlukan proses “penggalian” yang melibatkan deduksi, analisis mendalam, dan pengecekan silang.

Az-Zuhaili menegaskan bahwa otoritas informasi mutlak harus dikembalikan kepada Ulul Amri, yang dalam konteks literasi digital bisa dimaknai sebagai para pakar, ahli di bidangnya, atau institusi resmi yang memiliki perangkat validasi data. Hal ini bertujuan agar informasi yang sampai ke masyarakat telah teruji kemaslahatannya dan bebas dari unsur mudarat yang destruktif.

Lalu Ahmad Mushthafa Al-Maraghi dalam “Tafsir Al-Maraghi” memberikan tinjauan dari perspektif etika ketatanegaraan dan ketahanan nasional.

Al-Maraghi mengklasifikasikan informasi menjadi dua kategori besar: berita keamanan (al-amni) yang bisa membawa euforia berlebihan, dan berita ketakutan (al-khauf) yang bisa meruntuhkan mentalitas bangsa.

Al-Maraghi berpendapat bahwa penyebaran berita ketakutan secara prematur adalah strategi yang sering digunakan musuh untuk melemahkan barisan internal umat. Oleh karena itu, beliau menawarkan solusi berupa penguatan kedisiplinan individu.

Masyarakat harus dididik untuk memiliki self-censorship atau kemampuan mengerem diri agar tidak reaktif terhadap kabar burung sebelum ada pernyataan resmi yang kredibel. Kedewasaan dalam mengelola informasi inilah yang menjadi kunci kedaulatan sebuah masyarakat di tengah arus fitnah.

Hikmah dan Pelajaran Penting
Setelah mengupas tuntas pesan mendalam dari Surah An-Nisa: 83, melalui kacamata para mufassir, kita menyadari bahwa ayat ini adalah sebuah teguran sekaligus panduan etika yang sangat personal.

Di tengah riuhnya notifikasi dan arus konten yang tak ada habisnya, ayat ini seolah mengajak kita untuk berhenti sejenak dan melakukan refleksi diri. Terutama saat jempol kita sudah merasa “gatal” dan godaan untuk menjadi yang pertama menyebarkan sesuatu begitu kuat, Al-Qur’an menawarkan sebuah standar moral yang melampaui sekadar kecepatan jempol.

Berikut beberapa point penting dari hikmah dan pelajaran yang dapat diambil, antara lain:

a. Seni menahan diri ditengah FOMO (Fear of missing Out)

Al-Qur’an mengajarkan kita bahwa menjadi yang paling cepat membagikan berita bukanlah sebuah prestasi jika berita itu ternyata palsu. Dalam ayat ini, kita diajak untuk punya “rem” internal. Sebelum klik share, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah berita ini sudah pasti benar? Jika benar, apakah bermanfaat jika disebarkan sekarang?



b. Pentingnya Menghargai Kepakaran (Kompetensi)

Di era semua orang bisa bicara, kita sering lupa bahwa ada orang-orang yang memang ahlinya. Al-Qur’an mengarahkan kita untuk mengembalikan informasi kepada Rasul dan Ulul Amri (pakar). Artinya, untuk urusan kesehatan tanyalah dokter, untuk urusan agama tanyalah ulama yang kredibel, bukan sekadar percaya pada utas (thread) anonim yang belum jelas sumbernya.

c. Menjadi “Saringan” Bukan “Corong”

Jadilah pribadi yang menghentikan hoaks di tanganmu. Jika kita menerima berita yang mencurigakan atau berpotensi memicu kegaduhan, cukup berhenti di kita saja. Jangan menjadi corong yang memperluas jangkauan berita buruk tersebut. Ingat, satu kali klik share bisa berdampak pada ribuan orang.

d. Kesehatan Mental di Ruang Digital

Mengikuti setiap rumor dan kegaduhan hanya akan membuat pikiran kita lelah. Dengan menerapkan prinsip tabayun (verifikasi) dan tidak reaktif terhadap setiap isu, kita sebenarnya sedang menjaga ketenangan batin kita sendiri. Al-Qur’an menginginkan kita hidup dalam lingkungan sosial yang stabil dan penuh rasa aman, bukan lingkungan yang penuh curiga akibat kabar burung.

Penutup
Berdasarkan penelusuran mendalam terhadap QS. An-Nisa: 83, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an telah memberikan kerangka kerja yang sangat visioner dalam manajemen informasi jauh sebelum era digital dimulai.

Analisis terhadap sabab nuzul menunjukkan bahwa perilaku terburu-buru dalam menyebarkan berita ulbaik yang bersifat domestik maupun strategis hanya akan melahirkan kegaduhan sistemik di tengah masyarakat.

Melalui kacamata para mufassir, kita diingatkan bahwa proses verifikasi bukan sekadar urusan teknis, melainkan sebuah tanggung jawab moral dan spiritual yang melibatkan psikologi massa, validitas data,

Di era disrupsi informasi saat ini, pesan ayat ini menjadi sangat krusial bagi kita sebagai warga digital. Prinsip istinbat atau analisis mendalam adalah kunci untuk memutus mata rantai hoaks yang kian masif. Menjadi pribadi yang literat menurut Al-Qur’an berarti memiliki kemampuan untuk menahan diri dari godaan viralitas dan memilih untuk mengembalikan setiap informasi kepada ahlinya.

Dengan menerapkan etika komunikasi ini, kita tidak hanya menjaga diri dari dosa fitnah, tetapi juga berkontribusi dalam merawat kewarasan publik dan kedamaian di ruang siber. Literasi digital, pada akhirnya, adalah wujud nyata dari ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menjaga kebenaran di tengah samudera informasi yang penuh ketidakpastian.[]
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Urgensi Tabayun di Era Disrupsi Informasi

Trending Now