JAYAPURA,DETIKSSTU.COM _ GROUP Band Lucky Dube, Rabu (3/12) menggelar konser di Jayapura, Papua. Konser bukan sekadar pertunjukan musik biasa. Ia penanda sejarah kecil, sebuah momen kala nada-nada pembebasan dari Afrika melebur dalam luka sejarah Papua. Luka Sejarah itu mewujud dari sebuah aksi spontan simbolik yaitu pengibaran Bendera Bintang Kejora. Konser musik itu serta merta menguras memoro kolektif bahwa musik, identitas, dan politik tidak pernah benar-benar dapat dipisahkan. Ia melebur jadi satu.
Bagi sebagian orang, konser itu hanyalah hiburan: panggung megah, cahaya warna-warni, nostalgia lagu-lagu reggae legendaris, dan kerumunan anak muda yang bergoyak dan bersorak mengikuti irama Remember Me, Prisoner hingga Different Colours, One People. Namun bagi banyak orang Papua, momen itu memiliki makna yang jauh lebih dalam.
Musik Lucky Dube bukan sekadar lirik. Ia adalah bahasa penderitaan, tangis, dan harapan. Ia juga membuka pintu batin yang jarang disentuh diskursus publik formal: pintu tentang martabat, luka kolonial, dan ihwal urusan kemanusiaan yang dicari hingga kebebasan.
Maka ketika beberapa orang dalam kerumunan itu mengibarkan Bintang Kejora, reaksi keras aparat bukan hal baru. Tetapi suasana dinding batin penonton yang tersentuh oleh lagu-lagu pembebasan itu memperlihatkan bahwa perdebatan Papua membutuhkan lebih dari pendekatan keamanan. Papua membutuhkan pengakuan terhadap pengalaman kolektif dalam tekanan kolektif selama ini.
Di sinilah ironi itu jadi berderang: musik pembebasan dari Afrika diterima, dipeluk, dan dinyanyikan tetapi aspirasi pembebasan Papua tetap dianggap momok menakutkan dan membahayakan. Di titik ini, konser Lucky Dube Band di Jayapura menjadi ruang refleksi. Suara pembebasan dari Afrika justru membangunkan sesuatu yang mendalam dalam jiwa kolektif orang Papua, sesuatu yang tidak bisa dibungkam oleh aturan keamanan.
Afrika, Reggae, dan Luka Sejarah
Lucky Dube, Bob Marley, Peter Tosh, Burning Spear, dan sederet musisi kulit hitam lainnya lahir dari pengalaman sejarah kelam yang pahit. Sebut saja perbudakan, kolonialisme Eropa, apartheid, segregasi rasial, pengasingan, dan penindasan mental. Musik mereka lahir dari luka yang tidak pernah benar-benar sembuh, tetapi justru melahirkan kebijaksanaan spiritual dan kesadaran politik yang tajam.
Reggae bukan hanya genre musik. Reggae adalah seruan untuk membebaskan diri dari mental slavery, jeritan terhadap sistem yang menindas (dalam bahasa Rastafari: Babylon), doa untuk dunia yang lebih adil, dan deklarasi martabat manusia yang ditolak.
Karena itu, musik kulit hitam sangat berbeda dari musik populer biasa. Ia keluar dari pergumulan eksistensial. Pergumulan untuk mempertahankan kemanusiaan ketika dunia ingin menghapusnya. Dalam konteks Papua, bangsa dengan sejarah panjang kekerasan negara, marginalisasi, operasi militer, dan ketidakadilan sosial, musik seperti ini menemukan ‘honai’, rumahnya. Tidak mengherankan bila lagu-lagu Lucky Dube seakan menjadi bahasa yang mampu menjelaskan apa yang dirasakan orang Papua tetapi sulit diucapkan.
Ketika Lucky Dube menyanyikan, “….different colours, one people…” atau “I’m a prisoner, locked up but I don’t know what I’ve done…” banyak orang Papua mendengarnya bukan sebagai metafora universal. Ia adalah wujud pengalaman konkret, pengalaman hidup sehari-hari lewat musik. Reggae menjadi semacam cermin spiritual-politik yang memperlihatkan wajah penindasan dan harapan akan kebebasan.
Dimensi Spiritual dalam Musik Pembebasan
Musik Bob Marley dan Lucky Dube bukan sekadar karya seni namun bentuk spiritualitas historis. Melalui seni, para musisi berbicara tentang cinta, perdamaian, persamaan derajat, dan kemanusiaan, tetapi bukan dari ruang steril moralitas umum.
Mereka lahir dari situasi tatkala satu ras dianggap lebih rendah, manusia diperlakukan sebagai barang, identitas dihancurkan, dan budaya dirusak. Spiritualitas musik ini tumbuh dari perlawanan terhadap dehumanisasi. Ia bukan spiritualitas untuk melarikan diri, tetapi untuk bangkit dan melawan.
Karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan, “hanya bangsa yang pernah dijajah dan punya pengalaman pahit dalam penindasan yang bisa menciptakan musik seperti ini.” Bukan kulit hitam dalam pengertian biologis, tetapi kulit hitam dalam pengalaman sejarah, kelompok yang mengalami kolonialisme paling brutal dalam lima abad terakhir. Mereka melahirkan musik yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menyembuhkan, mempertanyakan, mengkritik, dan mengajak untuk membebaskan diri.
Mengapa insiden pengibaran Bintang Kejora itu terjadi? Ini pertanyaan menarik. Dalam konteks konser Jayapura, pengibaran Bintang Kejora tidak dapat dibaca sekadar sebagai tindakan politik. Ia harus dibaca sebagai ekspresi identitas budaya, simbol pencarian martabat, dan reaksi spontan terhadap musik yang membangkitkan kesadaran paling dalam.
Lucky Dube berbicara tentang equality, dignity, dan justice. Musiknya menarik keluar memori kolektif Papua tentang perlawanan terhadap ketidakadilan. Maka ketika bendera Bintang Kejora berkibar, itu bukan sekadar simbol politik namun gerak spiritual dan historis.
Ironinya kembali terlihat, negara mengizinkan konser Lucky Dube Band, sebuah grup yang musiknya sarat pesan anti-penindasan —tetapi negara tidak mengizinkan simbol perlawanan lokal yang maknanya kurang lebih serupa. Ini seperti menerima luka Afrika sembari menolak mengakui luka Papua.
Padahal, musik Lucky Dube memualitasi hal-hal yang dihadapi Papua setiap hari, diskriminasi, kehilangan tanah, kekerasan struktural, perasaan tidak dihargai sebagai manusia setara, dan ketidaksetaraan kebijakan pembangunan. Jadi, sesungguhnya pengibaran Bintang Kejora dalam konser itu adalah resonansi, bukan provokasi. Resonansi antara dua sejarah luka yang bertemu dalam satu ruang musikal.
Ruang Kemanusiaan yang Hilang
Reaksi aparat terhadap insiden itu memperlihatkan pola lama, bahwa negara lebih cepat merespons simbol daripada substansi. Bintang Kejora dianggap ancaman, tetapi sumber ketidakadilan yang membuat orang mengibarkan bendera itu jarang menjadi fokus utama. Di sini, ruang kemanusiaan hilang.
Kita sering melupakan bahwa simbol tidak muncul dari ruang hampa. Bendera bukan hanya kain, ia adalah bahasa rasa. Ketika orang Papua berkali-kali mengibarkan Bintang Kejora, itu bukan semata tuntutan politik. Ia adalah seruan akan pengakuan kemanusiaan. Dalam konser itu, musik Lucky Dube memperkuat seruan tersebut.
Akan tetapi negara masih menganggap ekspresi itu sebagai pelanggaran. Di sini letak masalah mendasarnya. Negara melihat Papua melalui kacamata ancaman, bukan kacamata kemanusiaan. Jika aparat bisa mendengar lirik-lirik Lucky Dube dengan hati bening dan terbuka, mereka akan mengerti bahwa tuntutan Papua bukan hanya soal memisahkan diri, tetapi soal martabat yang hilang dan ingin dipulihkan.
Afrika Selatan pernah menjadi salah satu negara paling brutal dalam hal penindasan rasial. Tetapi dalam proses panjang menuju perdamaian, musik dari Miriam Makeba sampai Lucky Dube menjadi ruang dialog non-kekerasan yang sangat penting.
Musik membuka pintu empati. Musik menyatukan manusia dalam titik rasa yang paling dasar. Musik mengajarkan bahwa sebelum bicara politik, kita harus bicara kemanusiaan. Papua juga membutuhkan hal yang sama, ruang dialog yang tidak selalu formal, tetapi lahir dari kebudayaan, seni, dan pengalaman keseharian masyarakat.
Konser musik Lucky Dube menunjukkan betapa masyarakat Papua sangat responsif terhadap narasi pilu kemanusiaan. Mereka tidak alergi pada gagasan perdamaian namun pada ketidakadilan. Dalam konteks inilah, musik dapat menjadi jalan menuju transformasi, bukan sekadar hiburan.
Papua dan Afrika dalam Cermin yang Sama
Ketika penonton Papua menyanyikan Prisoner atau House of Exile, mereka tidak sedang bernostalgia. Mereka sedang berbicara melalui lirik-lirik itu. Menggunakan bahasa Afrika untuk menjelaskan pengalaman Papua era apartheid. Papua hari ini hidup dalam berbagai bentuk, kontrol politik yang kuat, penguasaan sumber daya oleh aktor luar, operasi keamanan berulang, marjinalisasi ekonomi dan budaya. Tidak heran bila musik pembebasan resonan. Ia sebuah gelombang emosional yang menemukan nadi baru untuk berdenyut.
Konser Lucky Dube Band merupakan kritik sosial tak terucap. Sanpa satu kata pun sesungguhnya konser itu sudah menjadi kritik sosial. Ketika ribuan orang Papua bernyanyi bersama lagu-lagu tentang equality dan justice, itu adalah kritik terhadap kebijakan yang selama ini tidak mampu memberi rasa keadilan yang merata. Ketika mereka menari mengikuti lagu Together As One itu adalah kritik terhadap pembelahan sosial yang diproduksi oleh ketimpangan pembangunan.
Ketika mereka menangis saat Remember Me dimainkan, itu adalah ratapan terhadap mereka yang hilang, yang dibunuh, atau yang pergi meninggalkan tanah kelahirannya lalu hilang tanpa jejak akibat konflik dan kemiskinan. Semua itu adalah kritik. Kritik tanpa pidato. Kritik yang lebih jujur daripada debat politik formal.
Mengakui Luka sebagai Awal Perdamaian
Insiden pengibaran Bintang Kejora dalam konser harus dibaca sebagai pesan, bukan ancaman. Pesan bahwa luka Papua belum disembuhkan, ruang ekspresi masih dipersempit, pembangunan belum menyentuh akar masalah, dan rekonsiliasi masih jauh entah ke mana dan di mana. Namun itu juga pesan bahwa orang Papua masih ingin didengar.
Musik Lucky Dube juga mengingatkan kita bahwa pemulihan martabat dimulai dari pengakuan. Di Afrika, rekonsiliasi tidak mungkin terjadi tanpa pengakuan terhadap kekejaman apartheid. Di Papua pun demikian, rekonsiliasi tidak akan pernah terjadi bila luka sejarah selalu dinafikan.
Konser Lucky Dube Band adalah peristiwa sekaligus sajian seni penting sarat pesan. Bukan karena unsur pertunjukannya, tetapi karena ia membuka kembali percakapan lama tentang Papua, percakapan yang sering ditutup oleh stigma politik. Ketika musik Afrika dimainkan, Papua mendengar dirinya sendiri.
Ketika aparat melihat ancaman, masyarakat melihat kesempatan untuk menyuarakan martabat. Ketika negara melihat pelanggaran, masyarakat melihat simbol identitas. Pun ketika Bintang Kejora berkibar, itu bukan tentang separatisme, tetapi tentang manusia yang ingin diakui sebagai makhluk sesama ciptaan-Nya.
Musik mengingatkan pula kita semua bahwa perjuangan untuk kemanusiaan adalah perjuangan universal. Mungkin itulah yang ada dalam potongan syair Lucky Dube: “….one day, we’ll all be free…” Asa itu masih hidup di Papua. Selama musik pembebasan masih bergema, asa itu tidak akan pernah padam.

