Yudi memulai langkahnya sederhana: menertibkan pegawai negeri, aparat penegak hukum, hingga tenaga pendidik yang memakai ijazah palsu untuk mendongkrak kepangkatan dan promosi. “Pejabat-pejabat tertentu yang ijazahnya palsu,” kata Yudi suatu ketika, “maka saya berpikir bahwa tidak perlu minta petunjuk lagi pada presiden. Sudah jelas apa yang harus dilakukan.” Dalam bahasa birokrasi, itu kalimat yang lebih tajam daripada pisau bedah.
Ia lalu mencari mitra strategis di kabinet. Pilihannya jatuh pada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan—waktu itu kementerian itu juga membawahi riset dan pendidikan tinggi. Masuklah nama Anies Baswedan, menteri yang dianggapnya paling kompeten untuk mengeksekusi SE Nomor 3 Tahun 2015 tentang penataan penggunaan ijazah.
Di luar dugaan, Anies merespons cepat. “Langsung disisir,” tutur Yudi. Tenaga pendidik, aparatur sipil negara, sampai instansi TNI dan Polri terkena sapuan aturan yang sama. Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang dikecualikan. Surat edaran itu berlaku lintas sektoral. Di berbagai rapat, Anies disebut Yudi sebagai menteri yang “paling progresif” dalam membersihkan lembaganya dari gelar-gelar ilusi.
Namun kerja baik rupanya bukan jaminan umur jabatan. Pada satu pagi yang datar, Yudi dipanggil Presiden. Ia tak diberi peringatan, tak ditegur sebelumnya. Pertanyaannya lugas: Apakah saya diberhentikan karena kesalahan? Apakah ada tugas yang tidak saya laksanakan?
Jawaban Presiden waktu itu lebih datar lagi. “Semuanya baik, semuanya dilaksanakan dengan baik. Ini semata-mata masalah politik.” Tidak ada elaborasi. Tidak ada catatan kaki. Tidak ada ruang klarifikasi.
Yudi menganggapnya selesai—hingga dua tahun kemudian. Dalam obrolan santai dengan mantan kolega sesama “korban reshuffle”, muncul serpihan-serpihan dugaan. Sebagian remeh: sistem komputerisasi assessment test yang menghapus ruang titip-menitip kepentingan keluarga pejabat. Sebagian lagi menyentuh jantung politik: efisiensi anggaran rapat, atau kebijakan administratif yang memotong privilese tertentu.
Dan pada suatu percakapan ringan—yang disampaikan Yudi sambil tertawa kecil—muncul satu dugaan ganjil namun tak bisa diabaikan: “Jangan-jangan kita berdua ini diganti gara-gara itu.”
“Itu” yang dimaksud adalah penertiban ijazah.
Isu ijazah palsu milik Presiden memang belum pernah diuji oleh mekanisme kenegaraan mana pun. Ia hidup di ruang gelap, berputar di lorong-lorong publik yang tak pernah mendapatkan jawaban tuntas. Tetapi ketika dua pejabat yang paling agresif membersihkan ijazah palsu justru disingkirkan pada periode yang sama—dan keduanya mengaku tidak pernah diberi alasan profesional yang jelas—maka dugaan itu berhenti sebagai sekadar candaan.
Logika politik bekerja dengan langkah-langkah yang sering tak mau dijelaskan. Tetapi sejarah menunjukkan, keputusan istana hampir selalu punya simpul yang, bila ditarik, mengarah pada satu motif: menjaga stabilitas kekuasaan.
Jika dugaan Yudi dan Anies benar, maka penertiban ijazah bukan lagi sekadar urusan administrasi negara, melainkan ancaman eksistensial politik—mungkin terhadap orang yang paling tidak boleh disentuh.
Apakah Yudi dan Anies dicopot karena menyisir ijazah palsu hingga ke akar? Jawaban resminya tidak pernah diberikan. Namun dalam politik Indonesia, kebenaran tidak selalu disampaikan; ia sering hanya meninggalkan jejak.
Dan jejak itu, seberapa pun samar, bukanlah isapan jempol.

