Menu Atas

Iklan

iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Hidup Bersinergi seperti Mata, Tangan, dan Kaki

Redaksi
Juli 20, 2025 | Juli 20, 2025 WIB Last Updated 2025-07-20T12:53:48Z
Jakarta,detiksatu.com || Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat menghindari interaksi dengan sesama. Dalam kehidupan sehari-hari, kita saling bergantung satu sama lain, baik sebagai individu, anggota kelompok, maupun bagian dari masyarakat. Namun, relasi antarmanusia tidak selalu berjalan mulus. Gesekan, salah paham, bahkan konflik seringkali muncul, justru dari perbedaan karakter dan cara pandang. Perbedaan itulah yang seringnya menjadi ujian terbesar dalam menjalin hubungan.

Wajar jika dalam suatu hubungan, kita menemui orang yang menyebalkan, egois, atau sulit diajak untuk bekerjasama. Namun, apakah semua itu dapat dijadikan alasan untuk menyalahkan mereka? Ataukah hal ini bisa dijadikan tanya pada diri sendiri, “Mengapa saya mudah kesal terhadap orang lain? Mengapa bekerjasama terasa begitu sulit?” Pertanyaan ini bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk mengajak kita melakukan sebuah refleksi diri.

Filsuf Stoik, Marcus Aurelius, pernah menuliskan refleksi menarik tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi manusia lain. Ia menyadari bahwa orang-orang yang ia temui dalam hidupnya mungkin usil, arogan, bahkan curang. Namun, ia tidak menyalahkan mereka, karena ia memahami bahwa tindakan negatif seringkali lahir dari ketidaktahuan, bukan dari niat jahat semata. Pemahaman ini lahir dari kesadaran akan batas-batas kendali diri.

Menurut Aurelius, setiap manusia pada dasarnya mempunyai unsur akal dan sisi ketuhanan. Namun, tidak semua orang mampu mengenali atau mengolahnya dengan baik. Karena itulah, menghadapi perilaku buruk seharusnya bukan dengan amarah atau kebencian, melainkan dengan pemahaman dan pengendalian diri. Kita tidak bisa mengendalikan orang lain, tetapi kita bisa mengendalikan cara merespons mereka. Di sinilah letak kebijaksanaan.

Aurelius juga menggunakan analogi yang sangat sederhana namun mendalam: hubungan manusia itu seharusnya seperti hubungan antara mata, tangan, dan kaki. Masing-masing memiliki fungsi berbeda, tetapi bekerja dalam satu kesatuan tubuh. Saat satu bagian terluka, bagian lain segera membantu, bukan menyalahkan. Kita diciptakan bukan untuk saling menjatuhkan, tetapi untuk saling menopang.

Dalam Islam, prinsip sinergi ini ditegaskan dalam firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10).

Ayat tersebut menjadi pengingat bahwa hubungan antar sesama manusia seharusnya dilandasi oleh semangat persaudaraan, bukan permusuhan.

Konflik dalam masyarakat maupun dalam diri sendiri kerap terjadi karena egoisme, minimnya empati, atau luka sosial yang belum sembuh. Jika dibiarkan, semua itu akan menjauhkan kita dari harmoni. Maka, kita perlu membiasakan sikap reflektif: mengganti reaksi dengan pemahaman, mengganti perlawanan dengan kerjasama, dan memperkuat kesadaran bahwa kita adalah bagian dari tubuh sosial yang sama. Ini bukan hal yang instan, tetapi bisa dilatih.



Seringkali, kita ingin orang lain berubah demi kenyamanan kita. Padahal, kenyamanan yang sebenarnya justru lahir saat kita mampu berdamai dengan kenyataan. Kita tidak bisa memaksa dunia menjadi seperti yang kita mau, tetapi kita bisa menata batin agar tidak mudah terombang-ambing oleh dunia. Marcus Aurelius mengajarkan, bahwa ketenangan sejati berasal dari dalam diri, bukan dari perubahan di luar.

Dalam salah satu kutipannya, Marcus Aurelius menulis: “Orang-orang yang berhubungan denganku hari ini, ada yang usil, tidak sopan, arogan, curang, iri hati, dengki. Kami dilahirkan untuk bekerjasama seperti kaki, tangan, dan mata. Saling menghalangi itu tidak alami, demikian pula marah dan saling membelakangi.”

Kutipan ini menekankan pentingnya pemahaman dalam kehidupan sosial. Pesan dari kutipan tersebut begitu jelas bahwa sinergi tidak memerlukan keseragaman, tetapi membutuhkan saling pengertian. Sama seperti gigi atas dan bawah yang bisa bekerja sama saat kita mengunyah, manusia pun bisa hidup berdampingan meski berbeda arah dan cara. Kita diciptakan berbeda agar bisa saling melengkapi. Bukan untuk bersaing siapa yang lebih unggul, tetapi untuk bersinergi siapa yang bisa memberi lebih banyak manfaat.

Nabi Muhammad Saw, telah mencontohkan sikap memahami dan memaafkan orang lain. Dalam sebuah hadits beliau bersabda: “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tapi yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya saat marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Menahan diri saat terganggu adalah bentuk kematangan jiwa dalam merespons perbedaan dan kesalahan orang lain. Sayangnya, di dunia nyata, banyak hubungan yang retak bukan karena masalah besar, tetapi karena ego yang tidak terkendali. Kita seringkali lebih sibuk membuktikan bahwa kita benar, daripada mencari jalan tengah. Dalam kondisi seperti ini, pengendalian diri menjadi kunci. Bukan berarti menahan emosi sepenuhnya, tetapi belajar menyalurkan dengan cara yang lebih bijak.

Penting untuk diingat bahwa manusia bukan makhluk yang sempurna. Setiap dari kita punya kelemahan, kekurangan, bahkan sisi gelap. Oleh karena itu, daripada mencari kesalahan orang lain, akan lebih baik jika kita fokus memperbaiki cara kita menyikapi mereka. Dunia tidak selalu berubah, tetapi sikap kita terhadap dunia bisa berubah. Di sanalah letak kekuatan kita sebagai makhluk berpikir.

Hidup bersinergi bukan berarti selalu sepakat atau sejalan. Kadang kita tetap berbeda pendapat, berbeda pilihan, bahkan berbeda nilai. Namun perbedaan tersebut tidak harus menghalangi kita untuk tetap menghormati dan bekerjasama. Kita bisa sepakat untuk tidak sepakat, tanpa saling membenci. Karena tujuan akhirnya adalah hidup yang lebih damai dan bermakna.

Sinergi dalam kehidupan sosial akan tumbuh seiring meningkatnya empati. Empati bukan hanya soal memahami perasaan orang lain, tetapi juga menahan diri untuk tidak langsung menghakimi. Membayangkan diri kita di posisi orang lain akan membuka banyak sudut pandang baru. Dan dari sana, lahirlah pengertian yang lebih dalam, yang menjadi fondasi kerjasama.

Kita tidak bisa menghindari orang yang menyebalkan dalam hidup ini. Namun kita bisa memilih apakah ingin terus-menerus terganggu oleh mereka, atau menjadikan mereka sebagai latihan kesabaran. Dalam filsafat Stoik, penderitaan batin seringkali bukan karena kejadian, tetapi karena penilaian kita atas kejadian itu. Mengubah sudut pandang bisa mengubah segalanya.

Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kita tidak bisa menuntut sinergi dari orang lain jika kita sendiri tidak menumbuhkan kasih sayang dan pemahaman terlebih dahulu. Sinergi lahir dari hati yang bersih, bukan dari keinginan menang sendiri.

Sinergi adalah seni menjaga keseimbangan antara perbedaan dan tujuan bersama. Ia tidak lahir dari paksaan, tetapi dari kesadaran. Kesadaran bahwa kita tidak hidup sendiri, dan bahwa kita bisa lebih kuat jika bersama. Sebagaimana tubuh tidak bisa berjalan tanpa kaki, bekerja tanpa tangan, dan melihat tanpa mata, kita pun tidak bisa hidup bermakna tanpa kerjasama.

Maka, daripada saling membelakangi, mari belajar untuk saling melengkapi. Daripada mempersoalkan perbedaan, mari kita syukuri peran masing-masing. Sebab hidup ini akan jauh lebih ringan dan bernilai jika dijalani dalam semangat sinergi, seperti mata, tangan, dan kaki. Dan inilah jalan kebijaksanaan yang diajarkan oleh akal, agama, dan hati nurani.[]

Husnul Khotimah, Staf di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Hidup Bersinergi seperti Mata, Tangan, dan Kaki

Trending Now

Iklan

iklan