Mendadak ada Berita (Kaleng ?) tidak sesuai Kaidah Jurnalistik 5W+1H dari MDIS tentang "Kelulusan Fufufafa" ...?
_Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes_
Rabu kemarin (01/10/2025) beberapa media mainstream ternama nasional mendadak menurunkan berita yang berjudul "MDiS Konfirmasi G Berkuliah di Singapura, Sabet Gelar Sarjana". Berita ini terasa sangat aneh dan tidak masuk akal waras (kecuali bagi para TerMul), karena meski panjang lebar statemennya, namun lucunya tidak ada satupun nama jelas siapa yang mengatakan statemen tersebut dan apa jabatannya di MDIS (Management Development Institute of Singapore). Mengapa saya mencermati khusus berita ini, karena media-media mainstream ini tampak "(mau atau terpaksa?) memuat begitu saja" berita yang lebih bersifat seperri Pers Release tersebut
Salah satu berita yang dapat dibaca ada secara lengkap di URL nasional.kompas.com/read/2025/10/01/14164451/mdis-konfirmasi-gibran-berkuliah-di-singapura-sabet-gelar-sarjana ini memang terasa sangat membagongkan, karena sekelas media mainstream nasional ternama diatas mau memuat berita yang secara jurnalistik hampir tidak memenuhi kriteria 5W+1H yang menjadi pelajaran sangat dasar ilmu jurnalistik yang harus dipenuhi untuk sebuah kriteria berita yang benar atau akurat dan menjadi tolok ukur profesionalisme dalam kelengkapan berita. Berita yang tidak memenuhi 5W+1H dianggap tidak utuh, berpotensi menyesatkan, atau bahkan tidak layak disebut berita.
Soal 5W+1H, ini adalah prinsip dasar penulisan berita yang diakui secara universal dalam dunia jurnalistik. Singkatan ini berasal dari bahasa Inggris (1) Who / Siapa: Siapa pelaku / subjek / narasumber / tokoh utama dalam berita, (2) What / Apa: Apa yang terjadi / peristiwa utamanya, (3) When / Kapan: Kapan peristiwa itu terjadi, (4) Where / Di mana: Di mana peristiwa itu berlangsung, (5) Why / Mengapa: Mengapa peristiwa itu terjadi / apa sebabnya, dan (6) How / Bagaimana: Bagaimana kronologi atau proses terjadinya peristiwa.
Sejarah dan Asal-usul 5W + 1H sendiri memiliki akar panjang dalam tradisi retorika klasik dan kemudian diformulasikan secara modern dalam dunia jurnalistik. Sejak jaman Aristoteles (384–322 SM) ia menyebut pentingnya retorika untuk menjawab pertanyaan: "Who, What, When, Where, Why" dalam penyusunan argumentasi. Selanjutnya Cicero dan Quintilian (Romawi Kuno) mengembangkan model pertanyaan retoris untuk mengungkap fakta suatu kejadian. Dilanjut okeh Walter Lippmann & Charles Dana (Abad ke-19–20) yang mengkodifikasi prinsip ini secara modern untuk berita di surat kabar.
Dalam menulis berita yang baik, dikenal Teori "Piramida Terbalik" (Inverted Pyramid) sebagai sebuah struktur penulisan berita yang sudah muncul pada abad ke-19, dimana menempatkan 5W+1H di paragraf awal (lead) agar pembaca langsung mendapat intisari berita. Namun jika satu atau beberapa unsur tidak terpenuh seperti berita soal MDIS kemarin, maka berita bisa jatuh ke kategori tidak lengkap, dimana Informasinya kabur alias idak layak disebut berita. Ini terjadi karena berita MDIS tersebut tidak menyebut “Who”-nya atau narasumber yang jelas, bisa dikategorikan sebagai anonim bahkan tidak kredibel. Kemudian tidak ada “Why” atau “How” Pembaca tidak bisa menilai relevansi dan kebenaran peristiwa. Bahkan tidak salah jika banyak yang menyebut hanya opini institusi tanpa nama. Tidak memenuhi prinsip accountability, berpotensi misleading dan melanggar etika jurnalistik.
Detailnya berita MDIS kemarin jika dibedah unsur-unsur 5W+1H-nya, akan menghasilkan rincian sbb: (1) Who: Tidak lengkap , hanya menyebut “MDIS” tanpa menyebut nama pejabat / juru bicara resmi. Ini melanggar standar jurnalistik. (2) What: Pernyataan tentang kuliah Gibran. (3) When: Tidak disebut kapan pernyataan diberikan / kapan kuliah berlangsung. (4) Where, memang disebutkan MDIS ada di Singapura. (5) Why: Tidak dijelaskan mengapa pernyataan diberikan (misal: klarifikasi publik, hasil investigasi, dsb) dan (6) How : Tidak dijelaskan proses verifikasi atau bukti yang mendasari klaim.
Tegasnya, berita MDIS seperti ini tidak memenuhi kriteria berita yang utuh dan profesional secara jurnalistik, karena unsur “Who” tidak jelas (hanya nama institusi tanpa nama individu penanggung jawab), maka validitasnya dipertanyakan dan tidak dapat dianggap sebagai pernyataan resmi yang terverifikasi. Dalam konteks etik pers, media seharusnya menyebutkan minimal jabatan, misalnya Presiden / Ketua Governing Council / Pemimpin institusi MDIS Dr Eric Kuan atau Dekan / Campus Dean Dr. R. (Rajanayagam) Darwin Joseph. Catatan: Dua nama ini fakta yang saya dapatkan dari Publikasi resmi mereka di tempat lain, bukan dari berita kemarin.
Dalam konteks hukum (misalnya sesuai UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers) tercantum jelas Pasal 5 KEJ menyebutkan: “Wartawan Indonesia harus menyebutkan identitas narasumber kecuali anonim atas permintaan khusus dan dengan alasan kuat.” Artinya, jika berita tidak menyebut siapa yang memberikan pernyataan dari lembaga, maka berita tersebut tidak memenuhi standar verifikasi dan tidak memenuhi unsur “Who”. Artinya 5W + 1H bukan sekadar format, tetapi prinsip fundamental jurnalistik yang menjamin berita bersifat faktual, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika berita seperti MDIS ini tidak mencantumkan nama narasumber yang jelas, terutama pada unsur “Who”, maka berita itu tidak memenuhi kriteria jurnalistik profesional.
Sebagai sebuah kampus yang didirikan pada 1956 (awalnya bernama SAMTAS / Singapore Association of Management and Training for Advanced Studies) dan kemudian berganti nama menjadi MDIS pada 1984 memang kampus ini sudah cukup tua, namun ternyata sekarang hanya menduduki rangking ke-46 dari 55 kampus swasta di Singapura. Bahkan namanya sempat tidak muncul di peringkat universitas dunia utama (QS/THE) sebagai universitas berbasis riset yang dikomparasikan dengan universitas lain. Beralamat di 501 Stirling Road, Singapore 148951 kampus ini sekarang malahan jadi bahan olok-olokan di social media, karena bila dibandingkan dengan Universitas Papua yang muncul di ranking 11814, MDIS terseok di diurutan 17436.
Kesimpulannya, berita (kaleng ?, bak Surat Kaleng tanpa Nama yang jelas) tentang MDIS kemarin justru makin menambah kecurigaan masyarakat waras tentang keabsahan Ijazah Fufufafa yang kini juga dipertanyakan Penyetaraan Ijazah SMA-nya karena tidak sesuai syarat UU Pemilu No. 7 tahun 2017 pasal 169 huruf r tentang syarat minimal SMA/SMK/MA sederajat bagi Calon Presiden atau Wapres. Netizen +62 bahkan banyak sekali sudah mengungkap kesemrawutan pendidikan Fufufafa bersama BIN (Badan Intelijen Netizen) selama ini. Oleh karena itu #AdiliJkW dan #MakzulkanFufufafa makin gencar disuarakan ...
)* *Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes - Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen - Kamis, 02 Oktober 2025.*