Indonesia memiliki hutan tropis yang luas, tetapi kehilangan tutupan hutannya selama beberapa dekade berjumlah besar. Antara 2001–2021 tercatat lebih dari 28 juta hektar hilang. Pada periode lebih dekat, data satelit Global Forest Watch menunjukkan bahwa kehilangan tutupan pohon terus berlanjut; tahun 2024 saja tercatat ratusan ribu hektar hilang.
Sejarah panjang perubahan penggunaan lahan—dari hutan alami menjadi perkebunan sawit, tambang, dan infrastruktur—telah melemahkan kemampuan daratan untuk menahan dan menyerap hujan. Laporan-laporan investigatif dan berita menyingkap kasus-kasus lokal di mana pembukaan lahan besar-besaran memperburuk banjir dan longsor ketika curah hujan ekstrem terjadi.
Organisasi seperti WALHI dan WWF serta lembaga penelitian lingkungan konsisten menekankan bahwa banjir massif sering kali bukan hanya akibat cuaca, melainkan juga karena kerusakan ekosistem: hutan yang hilang mengurangi penyerapan air, akar pohon yang mengikat tanah lenyap sehingga tanah mudah longsor, dan sedimentasi sungai meningkat sehingga kapasitas tampung berkurang. Dalam peristiwa-peristiwa banjir terbaru di Sumatra, WALHI bahkan menunjuk pada peran korporasi dan izin-izin yang mempercepat konversi hutan, sehingga dampak bencana menjadi lebih parah.
Pendapat LSM ini didukung studi ilmiah yang menunjukkan korelasi kuat antara deforestasi di daerah hulu dan frekuensi/intensitas banjir serta longsor di hilir—walau tentu saja penjelasan lengkap selalu memasukkan faktor iklim yang berubah-ubah.
Sejak era 1950-an hingga awal abad ke-21, tekanan ekonomi—perkebunan, industri kayu, tambang, dan pembukaan infrastruktur—mendorong hilangnya jutaan hektar hutan. Pengaturan lahan yang lemah, izin yang tumpang-tindih, serta pasar global untuk komoditas tertentu mempercepat konversi lahan. Meski ada tren penurunan laju deforestasi setelah puncak di pertengahan 2010-an, ancaman baru seperti perluasan tambang dan proyek infrastruktur tetap nyata.
Banjir yang saat ini melanda Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat telah menimbulkan korban jiwa sedikitnya 604 orang dan 464 orang hilang. Selain itu menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), per 30 November 2025 tercatat sekitar 2.400 rumah rusak berat, 1.800 rumah rusak sedang, dan 3.700 rumah rusak ringan. Dilaporkan juga puluhan fasilitas umum dan infrastruktur rusak, misalnya 43 fasilitas pendidikan rusak, dan 178 jembatan rusak akibat banjir/longsor di sejumlah provinsi.
Untuk mencegah banjir besar terulang di Sumatra, maka beberapa langkah yang harus dilakukan : hentikan deforestasi dan pulihkan hutan, tata ruang harus berbasis mitigasi bencana, sungai dipulihkan dan drainase diperbaiki, pengelolaan industri diperketat dan peran masyarakat diperkuat.
Prof. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB menilai akar persoalan banjir adalah kebijakan tata ruang yang lemah dan ekonomi ekstraktif. “Sumber masalah bukan di alam, tetapi di tata kelola manusia—mulai dari izin yang salah, pengawasan lemah, sampai konflik kepentingan.”
Solusinya menurut Prof. Hariadi adalah audit menyeluruh terhadap izin sawit, tambang, dan Hutan Tanaman Industri, penyesuaian ulang tata ruang berbasis risiko bencana dan memberi hak kelola hutan kepada masyarakat (hutan sosial) karena terbukti menekan deforestasi.
Sementara itu Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) yang sudah sudah puluhan tahun memonitor kerusakan hutan Sumatra menyatakan,”Banjir di Sumatra adalah akibat langsung dari deforestasi masif dan ekspansi industri skala besar yang tidak terkendali.”
Solusinya menurut WALHI moratorium pembukaan hutan alam di seluruh Sumatra, restorasi ekosistem gambut yang sudah rusak, pengawasan ketat pada perusahaan yang membuka lahan tanpa analisis dampak lingkungan memadai, dan transparansi tata ruang dan akses masyarakat atas informasi lingkungan.
Sedangkan Greenpeace Indonesia menyoroti bahwa beberapa provinsi memiliki laju kehilangan hutan tertinggi di Asia Tenggara. Kata Greeanpeace, “Sumatera telah kehilangan lebih dari 50% hutannya sejak 1985. Tanpa pemulihan ekosistem, banjir akan menjadi bencana tahunan.”
Maka solusinya menurut Greenpeace adalah mengembalikan fungsi ekologis hutan melalui restorasi besar-besaran, menghentikan praktik pembukaan hutan oleh industri yang menggunakan metode tebang habis dan meningkatkan perlindungan satelit untuk memonitor illegal logging.
Sementara itu bila ditilik dari ajaran Islam, Islam mengajarkan prinsip menjaga bumi (hifz al-bi’ah) yang sangat kuat. Pertama, Al-Qur’an melarang merusak alam sekitar. Allah berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
“Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56). Kerusakan hutan dan banjir akibat ulah tangan manusia ini termasuk bentuk fasad fil ardh.
Al-Qur’an juga menyatakan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Ruum 41)
Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia agar menjadi khalifah atau pemakmur bumi bukan perusak bumi. Allah berfirman: “Dia menciptakan kalian dari bumi dan memakmurkan kalian di dalamnya.” (QS. Hud: 61)
Para ulama juga menyatakan pentingnya menjaga kelestarian ala mini. Syekh Yusuf Al-Qaradawi menyatakan menjaga lingkungan adalah kewajiban agama karena dampaknya pada manusia dan makhluk lain. Syekh Wahbah Az-Zuhayli menyatakan dilarang menebang pohon tanpa kebutuhan yang dibenarkan karena merusak keseimbangan alam.
Rasulullah Saw bersabda,“Jika Kiamat terjadi sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit tanaman, maka tanamlah.” (HR. Ahmad) []

