Pada 25–27 November 2025, kawasan sekitar RS M. Jamil di Padang terendam, bersama sejumlah lokasi lain seperti Gunung Pangilun, Ulak Karang, bypass di depan RS Siti Rahmah, dan Tunggul Hitam. Warga panik, ambulans diputar haluan, dan ruang perawatan darurat harus dipindahkan — gambaran dramatis dari kegawatan iklim yang tak bisa lagi dianggap sebagai “musim biasa”.
Situasi ini menurut analisis resmi dipicu oleh perkembangan Siklon Tropis 95B di perairan Selat Malaka — bibit siklon yang sejak 21 November 2025 telah memengaruhi pola atmosfer regional. Hasilnya: konvergensi massa udara, suplai uap air melimpah, dan pertumbuhan awan hujan ekstrem yang meliputi hampir seluruh Sumbar.
BMKG bahkan memperpanjang peringatan cuaca ekstrem hingga 29 November 2025, mengimbau kewaspadaan tinggi terhadap hujan lebat, angin kencang, dan potensi longsor atau banjir bandang.
Atmosfer, Iklim, dan Faktor Global: Mengapa Padang Rentan Lagi?
Apa yang terjadi di Padang bukan kecelakaan meteorologis semata — melainkan cerminan dinamika iklim global-terlokal yang kian rumit.
Studi terbaru memperlihatkan bahwa fenomena iklim seperti Indian Ocean Dipole (IOD) dan pola sirkulasi musim di Samudra Hindia berkontribusi signifikan terhadap curah hujan ekstrem di pesisir barat Sumatra.
Penelitian oleh Sudirman dkk. menunjukkan bahwa IOD dan variabilitas ENSO terkait dengan peningkatan kejadian hujan ekstrem di kawasan pesisir barat Sumatra.
Lebih jauh, penelitian teranyar pada 2025 dalam jurnal energi terbarukan mengemukakan bahwa vorteks atmosfer di Samudra Hindia timur — termasuk formasi siklon — mampu merangsang aktivitas konvektif yang meluas dari laut ke daratan di barat Sumatra. Konveksi ini memicu formasi jalur hujan intens (squall lines) yang bergerak cepat ke arah pantai dan dataran rendah.
Dengan latar ini, hujan deras, angin kencang, dan gelombang atmosfer yang tak terduga bukan lagi kejadian sporadis — melainkan bagian dari variabilitas iklim dan perubahan pola cuaca jangka panjang. Bagi Padang dan sekitarnya, itu artinya mereka hidup dalam risiko kontinu: musim hujan bukan lagi soal peningkatan curah hujan reguler, melainkan potensi bencana hidrometeorologi besar.
Kerentanan Kota dan Tata Ruang: Kombinasi Berbahaya
Risiko iklim di atas baru satu sisi. Sisi lain adalah kerentanan struktural: tata ruang yang buruk, drainase kota yang terbatas, pemukiman di zona banjir dan sungai yang sempit, serta kurangnya infrastruktur mitigasi. Ketika hujan ekstrem tiba, air tak mendapat saluran keluar yang memadai — ia menggulung permukaan jalan, masuk ke rumah, dan membanjiri fasilitas vital seperti rumah sakit atau jalur transportasi utama.
Kondisi Padang — dengan dataran rendah pesisir, sungai-sungai kecil, serta kota yang terus tumbuh padat — membuatnya sangat rentan terhadap kejadian hidrometeorologi. Saat curah hujan ekstrem bersamaan dengan angin kencang dan potensi gelombang laut, risiko air pasang, banjir rob, maupun longsor di daerah perbukitan sangat meningkat.
Fenomena semacam ini juga ditegaskan oleh studi bahwa ketika IOD negatif dan aktivitas vortex di Samudra Hindia aktif, suplai uap air meningkat drastis dan memperparah potensi konveksi hujan — sehingga daerah seperti Padang menjadi hotspot untuk hujan intens dan banjir mendadak.
Bencana Baru, Tantangan Lama: Respons dan Sistem Mitigasi
Respons terhadap bencana yang berlangsung pada November 2025 memperlihatkan bahwa struktur penanggulangan darurat di Sumbar telah aktif: Pemerintah Provinsi menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari, relawan, aparat, dan lembaga kebencanaan berkampanye intensif lewat media massa, media sosial, serta koordinasi lapangan.
Namun peristiwa ini sekali lagi menunjukkan bahwa respons tanggap darurat saja tidak cukup. Ketergantungan pada reaksi darurat tanpa mitigasi struktural — seperti normalisasi sungai, drainase kota, pengaturan pemukiman dan tata guna lahan — hanya menunda bencana berikutnya. Saat atmosfer dan iklim terus berubah secara dinamis, sistem kota juga harus berubah.
Dibutuhkan perencanaan ulang: pemetaan zona rawan, pembatasan pembangunan di dataran rendah, revitalisasi sistem drainase, ruang terbuka hijau, hingga sistem peringatan dini terpadu berbasis meteorologi dan hidrologi. Tanpa itu, setiap hujan ekstrem adalah hitungan mundur.
Refleksi Akademik: Pelajaran Iklim, Kota, dan Kesinambungan
Tragedi banjir di Padang akhir November 2025 tidak bisa dibaca sebagai fenomena tunggal. Ia harus dipahami dalam kerangka besar: interaksi variabilitas iklim global (IOD, vortex Samudra Hindia, sirkulasi atmosfer) dengan kerentanan lokal (tata ruang, infrastruktur, perencanaan kota), serta kapasitas adaptasi sosial-institusional.
Sebuah studi fenomenologis — misalnya dengan metode kualitatif plus analisis spasial — bisa menggali bagaimana warga di kawasan rawan memahami risiko, bagaimana adaptasi tradisional dan modern berjalan, serta di mana titik lemah sistem mitigasi. Kombinasinya dengan data iklim (curah hujan, kelembapan, SST, pola angin) dan peta spasial (topografi, aliran sungai, penggunaan lahan) akan memberi fondasi ilmiah bagi rekomendasi kebijakan.
Dalam perspektif jangka panjang, perubahan iklim dan variabilitas cuaca ekstrem mengharuskan: transformasi tata kota dan perencanaan wilayah di daerah rawan, penataan ulang permukiman, dan kesiapsiagaan sistemik — bukan hanya untuk mengatasi klimaks bencana, tetapi membangun ketahanan (resilience) kota dan masyarakat.
Padang, dengan sejarah dan geografisnya, kini di persimpangan: terus membangun, atau terus bertahan dalam ancaman. Pilihan itu perlu didasarkan pada data, ilmu, dan keberanian merombak kebiasaan perencanaan lama.[]

