Tubuh berhadas besar hanya menjadi suci dengan mandi (al ghuslu). Tubuh berhadas kecil hanya menjadi suci dengan wudhu. Najis hanya menjadi suci dengan menghilangkan bau, warna dan rasa zatnya.
Yang kerap membingungkan apabila tubuh sudah berwudhu tapi tiba-tiba terkena najis. Apakah wudhunya menjadi batal?
Untuk menjawab kebingungan ini, dapat merujuk pada kitab Kasyifatus Saja karya Syekh Muhammad Nawawi bin Umar atau akrab dengan nama Syekh Nawawi Al Bantani. Kitab ini menjelaskan ada empat hal yang membatalkan wudhu, yaitu:
Pertama, sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur). Berupa angin, cairan atau benda padat (suci atau najis, kering atau basah) kecuali manni. Karena keluar manni tak membatalkan wudhu tapi mewajibkan mandi (al ghuslu). Kategori keluar angin yang membatalkan wudhu apabila bersuara, tak bersuara dan beraroma.
Kedua, hilang akal. Berarti dalam waktu tertentu akal tak berfungsi secara sempurna. Contoh hilang akal yaitu tidur, gila, ayan, linglung, mabuk dan pingsan. Pada kasus tertentu seperti malu atau takut berlebihan dan menderita penyakit parah dapat menghilangkan akal.
Tidur membatalkan wudhu sesuai dengan hadits Rasulullah Saw:
الْعَيْنَانِ وِكَاءُ السَّهِّ، فَإِذَا نَامَتْ الْعَيْنَانِ اْنْطَلَقَ الْوِكَاءُ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Kedua mata adalah tali bagi dubur. Ketika kedua mata terpejam (tertidur), maka tali ini akan terbuka. Maka barangsiapa yang tidur, hendaklah berwudhu.” (HR. Abu Dawud).
Pengecualian tidur dengan menetapkan pantat di tanah. Karena pantat dapat menahan keluar sesuatu dari dua jalan tersebut. Dalilnya merujuk pada beberapa shahabat Rasulullah Saw, setelah shalat maghrib ketiduran dengan posisi pantat di tanah. Setelah masuk waktu shalat ‘Isya mereka terbangun dengan langsung menunaikan shalat tanpa berwudhu lagi. Melihat hal tersebut Rasulullah Saw mendiamkannya.
Yang dimaksud dengan gila yaitu hilangnya pemahaman dari kalbu bersamaan dengan tetap adanya kekuatan dan gerakan dalam anggota tubuh. Berbeda dengan pingsan yaitu hilangnya pemahaman dari kalbu bersamaan dengan terputusnya kekuatan dan gerakan dalam anggota tubuh. Ayan adalah penyakit menyerupai gila yang pelakunya umumnya menggeliatkan wajahnya ke tanah.
Ketiga, pertemuan dua kulit antara laki-laki dan perempuan non mahram yang sudah besar tanpa penghalang. Yang batal wudhunya adalah keduanya. Bertemunya dua kulit ini baik dengan syahwat atau tidak, sengaja, lupa atau terpaksa, pada yang hidup atau mati.
Khusus pada mayat yang sudah diwudhukan tak batal wudhunya apabila terkena kulit muslim lawan jenis yang memandikan, mengkafani atau mengangkat jenazahnya. Gusi dan lidah dianggap bagian dari kulit manusia, sedangkan rambut, gigi dan kuku tak dianggap bagian dari kulit manusia.
Laki-laki dan perempuan terkategori besar apabila ketika melihatnya dapat menimbulkan syahwat. Para ulama sepakat usia tujuh tahun ke atas sudah masuk dalam kategori besar. Yang tak membatalkan wudhu hanya persentuhan kulit antara mahram muabbad. Maksudnya perempuan yang haram dinikahi laki-laki selamanya karena nasab (keturunan), sepersusuan dan pernikahan. Karena mahram jenis ini bukan objek syahwat (laa mahalla asy-syahwati).
Dari nasab (keturunan) meliputi ibu hingga ke atas (nenek, buyut dan seterusnya) dari pihak ayah dan ibu; anak perempuan hingga ke bawah (cucu, cicit dan seterusnya) baik dari anak laki-laki dan perempuan; saudara perempuan sekandung, sebapak atau seibu; keponakan perempuan dari saudara laki-laki atau perempuan sekandung, sebapak atau seibu; dan bibi dari pihak ayah dan ibu yang sekandung, sebapak atau seibu.
Dari sepersusuan meliputi ibu yang menyusui hingga ke atas (dari ayah maupun ibu menyusui); anak perempuan susuan hingga ke bawah; saudara perempuan sepersusuan; keponakan perempuan dari saudara sepersusuan; bibi sepersusuan. Dikatakan anak susuan jika bayi laki-laki sebelum usia dua tahun qamariyah telah menyusu minimal lima kali susuan hingga kenyang (melepas sendiri susuan).
Dari pernikahan meliputi ibu tiri hingga ke atas (baik dari ayah maupun ibu tiri); anak tiri hingga ke bawah ketika sudah bercampur dengan istri; menantu perempuan dari anak kandung hingga ke bawah; ibu mertua hingga ke atas (baik dari ayah maupun ibu istri).
Keempat, meraba qubul dan dubur dengan bagian dalam telapak tangan atau bagian dalam jari jemari. Qubul dan dubur milik sendiri maupun orang lain yang hidup maupun mati secara sengaja atau tidak. Yang batal hanya wudhu yang meraba bukan yang diraba.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami tubuh yang terkena najis tak membatalkan wudhu. Hanya saja untuk menunaikan ibadah yang mensyaratkan kesucian, najis tersebut wajib dihilangkan dari tubuh. Tanpa mengulangi lagi wudhunya. Wallahu a’lam bish-shawab.
Reporter: Desi Ritdamaya

