Data dari berbagai laporan hanya menegaskan apa yang sebenarnya sudah lama kita tahu. Hujan ekstrem memang turun, siklon tropis memang bergerak, tetapi kerusakan terbesar justru terjadi karena tangan manusia sendiri, hutan yang ditebang, DAS yang rusak, drainase yang buruk, dan tata ruang yang tidak taat pada kelestarian alam. Dan hampir setiap tahun pola ini berulang: musim hujan datang, bencana menyusul, korban berjatuhan, lalu kita lupa. Sampai tragedi berikutnya mengetuk lagi.
Namun Islam mengajarkan kita melihat lebih dalam. Bencana bukan sekadar fenomena meteorologi; ia adalah peringatan. Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an bahwa kerusakan di darat dan laut muncul karena ulah tangan manusia, agar mereka merasakan sebagian akibat dari apa yang mereka lakukan, supaya mereka kembali kepada kebenaran. Dan itulah yang sedang terjadi: manusia berlaku semena-mena terhadap alam, lalu alam merespons dengan cara yang pahit.
Ketika hutan dijadikan komoditas, ketika tanah dijadikan ladang proyek, ketika sungai disempitkan atas nama pembangunan, itu semua bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah cara pandang. Inilah wajah sistem sekuler-kapitalis hari ini: pembangunan diukur dengan angka pertumbuhan, bukan keberkahan. Lingkungan dilihat sebagai aset ekonomi, bukan amanah dari Allah; dan manusia diposisikan sebagai konsumen, bukan khalifah yang menjaga bumi.
Islam menawarkan paradigma yang sepenuhnya berbeda. Dalam syariat, alam bukan objek eksploitasi, tetapi titipan.
Pemimpin dalam Islam bukan sekadar pejabat, melainkan penanggung jawab yang akan dimintai hisab atas setiap kerusakan yang terjadi di wilayahnya. Pengelolaan hutan, air, tanah, dan ruang hidup berada dalam kerangka menjaga maslahat manusia sekaligus menjaga keseimbangan ciptaan Allah. Tidak ada ruang bagi kerakusan, dan tidak ada toleransi untuk kebijakan yang merusak lingkungan demi keuntungan sesaat.
Jika prinsip ini dijalankan, bencana tidak akan sebesar hari ini. Wilayah resapan tidak akan berubah menjadi proyek. Sungai tidak akan dipaksa menjadi saluran sempit. Gunung tidak akan dihabisi dari akarnya. Dan masyarakat tidak akan berulang kali menjadi korban dari keputusan yang tidak memikirkan keberlanjutan.
Banjir Sumatera adalah potret bahwa kita sedang berjalan terlalu jauh dari aturan Allah. Dan setiap kali manusia meninggalkan syariat-Nya, alam akan menagih akibatnya. Tetapi ini bukan akhir. Setiap musibah selalu membawa peluang untuk berubah untuk kembali kepada sistem yang menempatkan manusia, alam, dan Sang Pencipta dalam harmoni yang benar.
Kini saatnya kita berhenti melihat bencana hanya sebagai “cobaan”. Ini adalah undangan untuk kembali kepada Allah, kepada aturan-Nya, kepada cara hidup yang menyeimbangkan pembangunan dan penjagaan bumi. Karena selama kebijakan lahir dari nafsu dan kepentingan, bukan dari syariat, maka selama itu pula alam akan terus menegur.
Umat ini pernah menjadi pemimpin dunia yang mampu menjaga manusia dan bumi sekaligus. Dan umat ini bisa kembali ke posisi itu ketika kita mau menata kehidupan dengan aturan yang diturunkan oleh Allah, bukan aturan yang dibentuk oleh kepentingan segelintir orang. Wallahu a’lam bishowab.
Selvi Sri Wahyuni, M.Pd.

