Inilah Ketika Meja Bantuan Jadi Ladang Kuasa

Redaksi
Desember 06, 2025 | Desember 06, 2025 WIB Last Updated 2025-12-06T13:24:11Z
Jakarta,detiksatu.com __ Di negeri yang saban tahun diguncang bencana, pandemi, dan tekanan ekonomi, bantuan sosial mestinya menjadi pegangan terakhir masyarakat. Namun dalam praktiknya, justru di titik paling rawan inilah integritas negara kerap diuji—dan tak jarang gagal.


Di balik tumpukan karung berlogo kementerian, di sela-sela truk logistik yang berjajar di posko pengungsian, hingga pada lembaran dana operasional pejabat, Good Corporate Governance (GCG) seperti hanya sebatas istilah seminar.

Tiga wilayah ini—bansos, bantuan bencana, dan dana operasional—menjadi cermin buram bagaimana tata kelola pemerintahan tak pernah benar-benar pulih dari cacat lama: korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketika kebijakan bersinggungan langsung dengan uang dan pengaruh politik, praktik penyimpangan seperti menemukan ruang tumbuh yang subur. Dan seperti biasa, publik hanya menjadi penonton dari drama panjang tentang negara yang kehilangan integritasnya.
Bansos: Bantuan atau Alat Kontrol Politik?

Sejak pandemi, anggaran bantuan sosial melonjak drastis. Namun lonjakan itu sejalan dengan meningkatnya dugaan penyimpangan: bansos dipotong, dikurangi kualitasnya, atau bahkan sengaja dialihkan ke jaringan politik. Catatan laporan berbagai LSM menunjukkan pola yang mengulang-ulang: paket bantuan yang seharusnya dibagikan kepada masyarakat malah dibungkus ulang dengan stiker wajah pejabat atau calon tertentu. Di beberapa daerah, bansos hanya bisa diambil jika warga tercatat sebagai pendukung kelompok tertentu.

Praktik yang lebih halus terjadi di level birokrasi: permainan data penerima. Basis Data Terpadu (BDT) kerap dimanipulasi, dimasukkan nama fiktif, atau dicantumkan keluarga pejabat. Data ganda juga sering dibiarkan sengaja agar celah markup tetap ada. Pengawasan seolah-olah berjalan, tapi faktanya lembar laporan bersih tak menjamin proses di lapangan benar.

Dalam perspektif GCG, bansos seharusnya tunduk pada prinsip transparency dan equity. Namun dua hal itulah yang justru paling sering hilang. Transparansi tebang pilih, akuntabilitas diganti dengan formalitas, dan keadilan disulap menjadi alat kontrol politik. Pemerintah boleh saja membentangkan retorika soal pemerataan bantuan, tetapi selama pendistribusian bansos berjalan tanpa pengawasan independen, kuasa akan selalu menjadi motivasi yang lebih besar daripada kemanusiaan.

Solusi yang paling mendesak adalah memutus keterlibatan aktor politik dalam proses distribusi. Bansos harus dikelola sebagai sistem teknokratis—bukan panggung pencitraan. Mekanisme digital, verifikasi berlapis, dan audit akses real time wajib diterapkan sebagai fondasi tata kelola bantuan. Namun tanpa kemauan pemerintah untuk menyingkirkan kepentingan elektoral, reformasi hanya akan menjadi cat semprot di dinding lembaga yang rapuh.

Logistik Bencana: Ketika Kesengsaraan Jadi Komoditas

Dalam dunia kebencanaan, setiap menit menentukan hidup dan mati. Namun di Indonesia, tragedi sering kali berjalan beriringan dengan penyimpangan. Logistik yang datang terlambat, bantuan telanjur rusak di gudang, atau barang yang jumlahnya tak sesuai laporan adalah cerita lama yang terus terulang.

Pada beberapa bencana besar, relawan menemukan karung beras berkutu, mi instan kedaluwarsa, atau selimut yang jauh lebih sedikit dari daftar pengiriman. Di balik itu semua ada mekanisme pengadaan yang tidak transparan: tender dipatok untuk rekanan tertentu, kualitas barang ditekan demi margin yang lebih besar, dan distribusi dibiarkan tanpa kontrol berjenjang. Di sinilah GCG runtuh: ketika responsibility dikalahkan oleh kepentingan jaringan bisnis di sekeliling pejabat.

Lebih parah lagi, beberapa pejabat daerah menjadikan bantuan bencana sebagai panggung politik. Kamera mendadak muncul ketika mereka membagikan paket bantuan yang sebenarnya diadakan oleh BNPB atau lembaga lain. Para pengungsi menjadi latar untuk pencitraan, sementara ribuan logistik tertahan menunggu “kesempatan tampil”. Dalam sistem yang berorientasi pada popularitas, musibah adalah panggung dan korban adalah properti visual.

Pemerintah pusat tentu memiliki kendali besar dalam memperbaiki tata kelola bencana. Mekanisme pengadaan harus dibuat transparan, dengan publik dapat melihat harga satuan, kualitas barang, dan vendor pengadaan. Setiap pengiriman harus memiliki tracking digital yang dapat diakses publik, layaknya sistem kurir komersial. Tanpa teknologi dan keterbukaan data, bantuan bencana akan terus menjadi komoditas yang diperjualbelikan.

Dana Operasional Jabatan: Celengan Rahasia Pejabat Publik

Tak ada wilayah yang lebih abu-abu dari dana operasional jabatan. Dana yang sejatinya dirancang untuk menunjang kinerja sering kali berubah menjadi celengan pribadi bagi sebagian pejabat. Karena sifatnya fleksibel dan sulit diaudit, dana ini berubah menjadi ruang gelap tempat moral diuji.

Beberapa laporan investigasi menemukan pola penggunaan yang mencolok: pembelian souvenir mewah, jamuan pribadi, perjalanan keluarga, hingga pemberian amplop “basa-basi” kepada kolega. Semua dibungkus sebagai “biaya representasi”. Dalam logika GCG, dana operasional seharusnya tunduk pada prinsip pengawasan dan pembatasan. Namun justru fleksibilitas itulah yang menjadi pintu bagi penyalahgunaan. Banyak pejabat memandang dana operasional sebagai hak istimewa, bukan beban tanggung jawab.

Pemerintah kerap berdalih bahwa sifat pekerjaan pejabat publik membutuhkan keluwesan biaya. Tetapi keluwesan bukanlah alasan untuk membiarkan potensi korupsi tumbuh. Negara-negara dengan standar tata kelola yang tinggi menerapkan batas penggunaan dana operasional, mewajibkan bukti fisik, bahkan menuntut laporan publik berkala. Jika kita ingin berbicara tentang GCG, maka dana operasional harus masuk dalam radar reformasi.

Salah satu usulan yang paling realistis adalah menerapkan cap dan kategori penggunaan yang jelas: biaya transport resmi, jamuan kedinasan yang dapat diverifikasi, dan kegiatan representasi yang dicatat dalam agenda kantor. Semua di luar itu harus ditanggung pribadi. Dana operasional juga harus diaudit ketat oleh BPK dan dipublikasi dalam laporan tahunan.

Tata Kelola Retak, Negara Goyang

Ketiga sektor ini—bansos, logistik bencana, dan dana operasional—memiliki satu benang merah: lemahnya GCG. Transparansi sering diabaikan, akuntabilitas ditekan, dan independensi hilang di tengah kepentingan politik. Pemerintah seolah bekerja dengan dua wajah: satu yang berbicara tentang integritas, dan satu lagi yang memelihara status quo.

Ketika sistem dibiarkan retak, yang menderita adalah publik. Warga miskin tak mendapat bansos, korban bencana menunggu bantuan yang tak kunjung tiba, dan negara membiayai gaya hidup pejabat yang tak pernah puas. GCG bukan hanya soal tata kelola; ia adalah soal moral negara.

Di Hari Antikorupsi Sedunia tahun ini, pemerintah punya kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pengucap retorika. Memperbaiki GCG bukan pilihan, melainkan syarat minimal agar negara tetap mendapat legitimasi moral dari rakyatnya. Tanpa itu, bantuan apa pun tidak lebih dari komoditas kuasa, dan jabatan publik menjadi ladang pribadi.

Negara tak boleh lagi menjadi sponsor penyimpangan—apalagi lewat dana yang mestinya menolong rakyat. []
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Inilah Ketika Meja Bantuan Jadi Ladang Kuasa

Trending Now

Iklan

iklan